Memikirkan Ulang Masa Depan Desentralisasi

oleh -130 Dilihat
Prof. Muhadam. (Ist)

Oleh :

Prof. Muhadam

(Penulis, Peneliti dan Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri / Anggota Dewan Pakar ADIPSI)

 

KILASBABEL.COM – Lebih dua tahun melewati tenggang waktu berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemda (Oktober, 2016), persoalan daerah kian tak jelas masa depannya. Alih-alih menyelesaikan masalah yang menjadi salah satu tujuan revisi beleid tersebut, Pemda terkungkung dalam ketakberdayaan menjalankan otonomi yang menjadi spirit desentralisasi sejak awal.

Tiga alasan utama revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mulanya sarat kandungan dan semangat otonomi sebagai big-bang dan rentang jalan panjang UU Nomor 22 Tahun 1999; pertama, terdapat sejumlah pasal yang bertentangan dengan amanah konstitusi sehingga diperlukan revisi agar kebijakan tetap sinkron.

Kedua, pemisahan pengaturan yang lebih independen atas rezim pemilukada dan desa dari rezim pemerintahan daerah. Ketiga, perlunya efisiensi agar Pemda dapat menjalankan otonomi untuk kepentingan publik.

Dengan tiga tujuan tersebut kita membayangkan pemerintahan daerah semakin simpel mengatur urusannya, yaitu terbaginya urusan pemerintahan baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.

Sayangnya, puncak produk UU Pemda No. 23/2014 mengatur bahkan yang bukan menjadi urusannya. Meski demikian setidaknya dua tujuan awal terjawab yaitu penyesuaian sejumlah pasal yang dianulir MK, serta pemisahan pengaturan pemilukada dan desa.

Namun tujuan ketiga yang berimplikasi langsung dalam pengelolaan Pemda tampak jauh panggang dari api. Dengan menggunakan empat prinsip utama dalam koridor UU 23/2014 yaitu eksternalitas, akuntabilitas, efisiensi dan strategis nasional, implementasi atas UU tersebut contraproductive.

Pertama, eksternalitas. Dampak suatu urusan kini menjadi dilema bagi kepala daerah. Melubernya urusan kab/kota ke provinsi dengan ‘asumsi provinsi punya uang banyak tapi tak punya kerjaan‘ menciptakan implikasi negatif yang mencemaskan.

Satu contoh daerah yang merasa dirugikan misalnya, kepala daerah di Sarmi merasa gelisah dan tak dapat berbuat banyak akibat tekanan publik dan APH dimana pembalakan hutan menjadi salah satu urusan pemerintah di daerah.

Faktanya sentralisasi atas nama pusat meninggalkan problem deforestasi, infrastruktur, flora dan fauna, hilangnya pekerjaan masyarakat lokal, serta menipisnya kebutuhan domestik akibat ekspor. Itu baru satu contoh dari satu urusan pada satu kabupaten.

Kedua, prinsip akuntabilitas, dimana satu urusan yang lebih dekat dengan level pemerintah tertentu menjadi tanggungjawabnya. Prinsip ini sukar diterapkan ketika urusan yang selayaknya dikelola di depan mata justru menjadi urusan pemerintah, kecuali dampak negatifnya.

Bisa dibayangkan bila visi dan misi seorang kepala daerah yang ingin mewujudkan pengelolaan pendidikan menengah (SMU dan SMK) di wilayahnya secara berkualitas terganjal hanya karna bukan kewenangannya. Padahal urusan itu jelas-jelas ada di depan mata. Pemda mengalami gejala rabun senja.

Belum lagi jika kepala daerah ingin mewujudkan kawasan pariwisata yang kompetitif. Tentu saja kandas hanya karena regulasi teknis pembentukan organisasi Pemda nyatanya membatasi secara kuantitatif dengan dasar efisiensi. No function but exist.

Di sejumlah daerah seperti Maluku Tenggara terjadi gejala obesitas OPD. OPD semacam dinas tenaga kerja dan badan litbang seperti onggokan parasit yang menyedot biaya dan energi birokrat menjadi sia-sia. Ini salah satu bentuk pemborosan APBD.

Ketiga, prinsip efisiensi. Implikasi atas kegagalan prinsip kedua pada dasarnya selain melahirkan pembengkakan struktur OPD kabupaten/kota, masif pula membebani pembentukan struktur baru di level provinsi.

Logika waras menggambarkan bahwa ketika urusan di kab/kota menguap ke provinsi maka OPD di kab/kota mengecil dan OPD di provinsi membesar. Implikasinya terjadi efisiensi di kab/kota dan inefisiensi di provinsi.

Faktanya di luar nalar. OPD di kab/kota maupun provinsi bersamaan mengalami obesitas dan inefisiensi di luar prediksi pembuat kebijakan. Provinsi yang katanya ‘punya uang banyak tanpa pekerjaan yang jelas’ kini mengemis mencari alternatif bagi urusan yang melimpah dari kab/kota.

Prinsip terakhir adalah strategis nasional. Prinsip ini ibarat blanko kosong, sebab tak ada satupun pemaknaan yang jelas (clear cut) dalam kebijakan sehingga Pemda paham mana yang mesti disentuh dan mana tak boleh dieksploitasi dengan alasan urusan ‘orang atas’.

Kondisi itu menjadi alasan pembenaran bagi apapun yang diinginkan pusat di daerah terkait kepentingannya lewat tameng kebijakan strategis nasional. Contoh kasus PIK 2 yang berlarut-larut tanpa penyelesaian.

Malangnya, ketika urusan KTP didefenisikan sebagai urusan dalam lingkup kebijakan strategis nasional, seluruh organisasi dan perangkat daerahnya mulai eselon terendah sampai kepala dinas wajib mendapat rekomendasi pusat.

Padahal jelas-jelas organisasi dan ASN-nya sesuai UU Pemda menjadi kewenangan dan pembinaan Pemda. Bahkan sejumlah pengaturan lex spesialis seperti UU ASN dikesampingkan hanya untuk melaksanakan satu pasal pada UU Pemda yang bersifat generalis seperti kompetensi pemerintahan.

Ironisnya Pemda alpa dibina. Pada saat yang sama terancam oleh sistem pengendalian terpusat, khususnya manajemen keuangan dan kepegawaian seperti rotasi eselon tertentu yang sementara dirancang dalam revisi UU Manajemen ASN.

Simpulan; pertama, kebijakan desentralisasi gagal menjawab tujuannya melalui prinsip-prinsip yang justru menjadi dasar pembentukannya.

Kedua, menguatkan kembali apa yang pernah disampaikan saksi ahli Ryaas Rasyid di sebuah persidangan MK, UU ini semakin menjauhi esensi, historisitas, serta tujuan desentralisasi itu sendiri, atau praktis dikatakan terjadi amputasi total atas kebijakan otonomi daerah yang terlihat dari gejala resentralisasi.

Ketiga, kebijakan Pemda kehilangan semangat politik hukum desentralisasi. Bagian tersisa hanya semangat administrasi yang kontradiktif dengan prinsipnya sendiri di tingkat praktikal. Prinsip strategis nasional justru dimanfaatkan oligarki untuk mengeksploitasi kepentingannya di daerah.

Keempat, pentingnya memikirkan ulang kebijakan desentralisasi untuk mengembalikan semangat otonomi daerah. Dengan begitu kita setidaknya dapat mengurangi munculnya perasaan frustasi. Dalam jangka panjang dapat berujung pada upaya memikirkan skema lain, seperti keinginan mengubah bentuk pemerintahan ke sistem federasi untuk tidak menyatakan secara eksplisit merdeka. (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.