Oleh :
Drs. Rusman Somad, M.Si
(Fungsional Analis Kebijakan Ahli Madya, Dinas Pendidikan Provinsi Kep. Babel)
Dunia pendidikan di tanah air dikejutkan dengan kesepakatan bersama antara Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Ke depan, pengangkatan guru hanya akan dipenuhi lewat jalur pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK atau P3K), jadi bukan berstatus pegawai negeri sipil (PNS).
Pemerintah berpandangan, apabila guru berstastus PNS setelah empat sampai lima tahun bertugas, biasanya memutuskan untuk mengurus pindah tugas ke tempat atau lokasi yang dianggap nyaman, terutama bagi daerah yang jauh dari perkotaan. Hal ini dianggap akan menghancurkan sistem distribusi guru secara nasional.
Karena itu, pengangkatan guru menjadi PNS diubah menjadi P3K. Kebijakan pemerintah ini pun langsung menjadi epicentrum pro dan kontra. Mendikbud Nadiem Makarim pun mengklarifikasi via akun Instragam-nya, bahwa Kemdikbud akan tetap mengangkat guru PNS. Namun faktanya, tahun ini sebanyak satu juta guru hanya akan diangkat lewat jalur P3K. Tak satu pun diangkat lewat jalur PNS.
Sesuai regulasi, aparatur sipil negara (ASN) terdiri atas dua, yaitu PNS dan P3K. Hal itu tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam UU tersebut, ASN adalah profesi bagi PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Disebutkan, PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Sedangkan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Peraturan Pemerintah (PP) tentang manajemennya pun sudah terbit, yaitu PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Sedangkan manajemen P3K diatur dengan PP Nomor 49 Tahun 2018.
Pegawai ASN bertugas untuk melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh pejabat pembina kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas, dan mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pegawai ASN berperan sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
ASN berhak memperoleh gaji, tunjangan, dan fasilitas cuti, jaminan pensiun, jaminan hari tua, perlindungan dan pengembangan kompetensi. Pada sisi lain, P3K hanya berhak memperoleh gaji dan tunjangan, cuti perlindungan dan pengembangan kompetensi. Kewajiban ASN dimulai dari setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah; menjaga persatuan dan kesatuan bangsa; melaksanakan kebijakan yang dirumuskan pejabat pemerintah yang berwenang, menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab; menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan; menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan rahasia jabatan sesuai dengan ketentuan sampai bersedia ditempatkan di seluruh wilayah NKRI.
Perbedaan yang sangat tajam antara PNS dan P3K adalah, PNS dapat menduduki semua jenis dan jenjang jabatan. Sementara P3K hanya boleh menduduki jabatan tertentu. Jika PNS berhak atas pensiun, tidak demikian dengan P3K. Mereka tidak punya jaminan hari tua yang layak. Salah satu kelemahan P3K lainnya adalah evaluasi P3K setiap tahun. Pemerintah langsung bisa mengevaluasi dan memutuskan kontrak kerja ketika dianggap miss dari kepentingan dan kebutuhan pemerintah tanpa diberi pesangon.
Sejak dari awal jalur P3K dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan guru-guru honorer, bukan untuk menghapus dan menggantikan jalur PNS. UU mengamanatkan bahwa negara wajib memenuhi kebutuhan guru, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Bagi guru honorer, kebijakan P3K adalah kompromi yang luar biasa. Sebenarnya mereka tidak mau menerima skema P3K. Ini termasuk opsi yang tidak adil, karena pengabdiannya sudah lama dan selama ini tidak memperoleh hak yang pantas.
Status PNS menjadi impian bagi semua tenaga honorer. Guru butuh kesejahteraan, karier, dan jaminan hari tua jika sudah tidak bekerja lagi. Hal ini tidak semuanya bisa dipenuhi lewat P3K. Selain itu kebijakan ini dampaknya membuat generasi yang akan datang tidak berminat menjadi guru, padahal sekarang, guru sebagai profesi yang banyak diminati. Semuanya berkat perjuangan PGRI dalam mengawal lahirnya UU 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD).
Sementara itu, dibandingkan dengan negara ASEAN, Indonesia adalah yang paling rendah kesejahteraannya. Seharusnya sistem manajemen tata kelola gurunya yang diperbaiki, bukan guru yang disalahkan. Yang paling mengerikan apabila di masa yang akan datang orang-orang terbaik tidak mau menjadi guru, maka kondisi pendidikan terancam mengalami degradasi. Untuk itu kebijakan P3K sebagai skema tunggal lalu menghapus jalur calon pegawai negeri sipil (CPNS) bagi para guru, harus dipertimbangkan lagi di kemudian hari. Semoga!