Kilas Babel – Ugur Sahin masuk ke dalam jajaran orang terkaya di dunia versi Forbes. Kekayaan Sahin meroket usai perusahaan besutannya BioNTech berhasil membuat vaksin virus corona bersama Pfizer.
Dikutip dari Forbes, Sahin mengawali karirnya sebagai dokter bukan pengusaha. Masuk ke dalam deretan orang terkaya bukanlah cita-citanya. Sahin kini ada di urutan ke 727 dengan total kekayaan US$8,6 miliar.
Lahir di Turki, Sahin dibesarkan di Jerman, tempat orang tuanya bekerja di pabrik Ford. Sahin menempuh pendidikan menjadi dokter. Dia kemudian melanjutkan pendidikan dan menjadi profesor hingga peneliti yang fokus pada imunoterapi.
Dia sering berkolaborasi dalam pekerjaannya dengan sang istri seorang ahli imunologinya, Ozlem Türeci. Keduanya bersama-sama mendirikan Ganymed Pharmaceuticals pada 2001.
Perusahaan ini berfokus untuk mengembangkan antibodi monoklonal melawan kanker. Türeci memimpin sebagai CEO dan perusahaan tersebut didukung oleh miliarder kembar identik Thomas dan Andreas Strüngmann.
Namun, Ganymed diakuisisi pada 2016 oleh Astellas Pharma dalam kesepakatan senilai US$1,4 miliar. Pada 2008, Sahin kembali membuat perusahaan baru yakni BioNTech.
Miliarder Strüngmann bersaudara kembali menjadi penyandang dana utama perusahaan tersebut. Türeci, yang menjalankan Ganymed tahun menjadi penasihat ilmiah perusahaan dan bergabung dengan BioNTech sebagai kepala petugas medis setelah Ganymed dijual.
Sahin membangun BioNTech untuk menggunakan onkologi imun sebagai solusi penyakin kanker. Perusahaan ini , meluncurkan lebih dari 20 program pengembangan yang berbeda selama bertahun-tahun.
Namun, BioNTech menjadi terkenal karena pekerjaannya menggunakan messenger RNA untuk mengembangkan vaksin kanker, termasuk yang dipersonalisasi yang dikenal sebagai iNest. Idenya adalah membuat pabrik obat atau vaksin dari tubuh manusia dan memprogram sel untuk memproduksi protein terapeutik.
Dalam perjalanannya, BioNTech bermitra dengan Pfizer dalam vaksin flu dan mendapat dukungan keuangan dari Bill and Melinda Gates Foundation.
Pada akhir pekan Januari 2020, Sahin membaca sebuah artikel di The Lancet tentang virus dan meramalkan kepada Thomas Strüngmann bahwa sebuah pandemi akan datang. Pandemi ini akan membuat sekolah harus tutup.
“Setelah akhir pekan, Sahin mendatangi timnya dan meskipun sebagian besar dari mereka berada di onkologi, dia mengalihkan sebagian besar timnya ke vaksin,” kata Strüngmann dalam sebuah wawancara.
Pada Februari 2020, Sahin memanggil Kathrin Jansen, kepala penelitian dan pengembangan vaksin untuk Pfizer. Keduanya saling mengenal dengan baik karena dua tahun sebelumnya BioNTech telah bermitra dengan Pfizer untuk mengembangkan vaksin flu berbasis mRNA.
Sahin memberi tahu Jansen bahwa BioNTech telah menemukan kandidat vaksin untuk Covid-19 dan bertanya apakah Pfizer tertarik untuk bekerja dengannya.
“Uğur, kamu bertanya? Tentu saja kami tertarik,” jawab Jansen.
Pada pertengahan Maret, BioNTech mengumumkan kemajuan pesat pada kandidat produknya BNT162 dan kolaborasinya dengan Pfizer.
Raksasa obat AS setuju untuk mendanai semua pengembangan awal dan biaya produksi, hingga US$1 miliar yang mencakup pembayaran di muka US$185 juta ke BioNTech.
Pfizer juga siap membayar US$563 juta lagi ke BioNTech jika semuanya berjalan lancar. Pfizer membawa kapasitas manufaktur, regulasi, dan penelitiannya yang besar ke dalam proyek. Saham BioNTech melonjak sejak saat itu.
Satu hal yang membuat kemitraan BioNTech dengan Pfizer berbeda dari upaya vaksin Moderna adalah mereka tidak bergantung pada pendanaan pemerintah. Moderna mendapatkan hingga US$483 juta dari Otoritas Penelitian dan Pengembangan Biomedis Lanjutan pemerintah federal.
Ketika saham perusahaannya melonjak pun, Sahin memutuskan untuk tidak menjual saham BioNTech miliknya.
Hal ini sangat kontras dengan penjualan saham besar dari beberapa ilmuwan dan pengusaha terkemuka yang langsung menjual saham di perusahaan bioteknologi lainnya ketika saham meroket, seperti Moderna.
Langkah ini pun mencerminkan pendekatan Sahin terhadap kehidupan dan bisnis. Dia adalah seorang CEO yang tinggal di sebuah apartemen sederhana di kota Mainz, Jerman.
Dia bahkan mengendarai sepedanya untuk bekerja dan tidak memiliki mobil. Dia menggambarkan dirinya di halaman LinkedIn-nya sebagai profesor onkologi translasi di University Medical Center Mainz.
Dia dilaporkan mempelajari aspek bisnis bioteknologi dari video online dan membaca buku Business Plans for Dummies. Namun pada akhirnya.
Langkah Sahin tidak menjual saham BioNTech dalam 18 bulan terakhir membuat dia sekarang jauh lebih kaya, setidaknya di atas kertas, mengingat lonjakan harga saham BioNTech yang terus berlanjut.
Sahin yakin teknologi mutakhir perusahaan akan mengarah pada pengembangan terapi dan vaksin untuk penyakit lain.
“Tujuan kami sejak awal adalah membangun pendekatan industri baru untuk obat-obatan presisi yang dapat memenuhi kebutuhan medis di berbagai bidang penyakit,” pungkas Sahin. (mg2)
Sumber : cnnindonesia.com
Foto : Heberturk
Editor : Leona