Kepala Daerah Di Pusaran Korupsi, Ini Penyebabnya!

oleh -424 Dilihat

KILAS BABEL.COM – Kepala daerah dalam pusaran kasus korupsi masih marak terjadi. Terbaru, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi diduga terlibat tindak pidana suap pengadaan barang jasa dan jual beli jabatan di Pemkot Bekasi. Kasus itu kini tengah diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dalam catatan KPK pada Oktober 2021 lalu, sebanyak 22 gubernur sudah dijerat lantaran terlibat korupsi. Sementara kepala daerah setingkat bupati dan wali kota sudah 122 orang yang dijerat KPK dari 542 pemerintahan kota/kabupaten.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, penyebab kepala daerah, anggota legislatif hingga pejabat pemerintahan ditangkap lembaga antirasuah disebabkan pelbagai hal. Salah satunya terkait biaya politik yang mahal.

“Soal banyaknya pejabat pemerintahan dan juga anggota legislatif baik di pusat maupun di daerah itu, termasuk kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi penyebabnya sebetulnya sudah sama-sama kita ketahui, yakni penyebab yang sistemik. Biaya politik yang mahal itu hanya salah satunya,” ujar Arsul, Kamis (6/1).

Arsul mengusulkan pembenahan ke depan dengan langkah yang sistemik. Salah satu perubahan yang menyangkut hal tersebut adalah mengenai Pilkada langsung.

Menurut Arsul, perlu dikaji kembali Pilkada asimetris. Yaitu pilkada yang tidak seluruh daerah menggelar pilkada langsung. Ada daerah yang kepala daerah dipilih oleh DPRD.

“Langkah sistemik tentu menyangkut perubahan sejumlah hal, antara lain soal Pilkada langsung. Menurut saya ide atau gagasan Pilkada asimetris itu perlu dikaji lebih dalam untuk kita terapkan,” ujarnya.

“Artinya tidak semua daerah bisa Pilkada langsung. Perlu ada parameter agar daerah tersebut dalam memilih kepala daerahnya dengan langsung atau oleh DPRD,” kata wakil ketua umum PPP ini.

Tingkat korupsi di daerah itu bisa menjadi parameter apakah pilkada digelar secara langsung atau tidak. Daerah yang korupsinya tinggi bisa digelar Pilkada tidak langsung.

“Parameter ya ya bisa bermacam-macam termasuk penilaian tingkat korupsinya. Atau misalnya jika ada korupsi di daerah tersebut yang masih tinggi tingkatannya maka iya daerah tersebut tidak bisa Pilkada langsung,” kata Arsul.

Politik Berbiaya Tinggi

Sementara, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadil Ramadhani menilai, berulangnya kasus korupsi kepala daerah ini bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, mengkonfirmasi perbaikan sistem dan pelajaran dari kasus-kasus serupa masih belum terjadi.

“Sistem yang masih menyisakan ruang bagi kepala daerah untuk melakukan praktik korupsi,” kata Fadil.

Berikutnya, adalah faktor personal dari kepala daerah itu sendiri. Penyebabnya karena integritas personal seorang pemimpin tersebut.

Menurutnya, solusi untuk mencegah kepala daerah korupsi adalah membangun sistem pemerintahan daerah yang lebih memperkecil korupsi.

“Kemudian juga menelusuri alasan kepala daerah untuk korupsi. Salah satunya politik biaya tinggi,” kata Fadil.

Pengawasan Kurang Maksimal

Sedangkan, Peneliti Transparency International Indonesia Alvin Nicola mengatakan, penyebab maraknya kepala daerah korupsi menegaskan bahwa pemberantasan korupsi masih seringkali meninggalkan ‘residual risk’. Yaitu risiko-risiko yang tetap termanifes meski ada efek kejut penegakan hukum seperti misalnya OTT.

“Hal ini karena kultur dan perangkat birokrasi daerah itu sifatnya tidak dinamis, jadi meskipun kepala daerahnya hilang, birokrasi di bawahnya stagnan. Kerja pengawasan yang dilakukan APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah) misalnya juga masih dipandang tidak maksimal,” tuturnya.

Kedua, adalah faktor patronase politik. Ada kecenderungan bahwa kelindan jaringan antara politisi, birokrasi dan pengusaha tetap kuat walaupun basis elektoralnya antara petahana maupun cakada baru berbeda. Pada akhirnya, sistem pengawasan yang kurang berkualitas tidak mampu membendung banjir konflik kepentingan, siapapun kepala daerahnya.

Menurut Alvin, faktor individual atau personal lebih kecil dibandingkan sumbangan dari faktor kelompok yaitu patronase politik.

“Cara yang bisa dan perlu didorong adalah pembenahannya harus dimulai oleh partai dengan benar-benar serius melakukan demokratisasi internal. Kedua, memperkuat kewenangan dari Inspektorat di Pemda yang tidak dibawah posisinya dari kepala daerah,” pungkasnya. (ge2)

 

Sumber : merdeka.com

Foto : Ilustrasi

Editor : Meta

No More Posts Available.

No more pages to load.