Oleh : Drs. Rusman Somad, M.Si
(Fungsional Analis Kebijakan Ahli Madya Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung)
KILAS BABEL.COM :
Apa resolusi untuk pendidikan kita di tahun 2022? Apakah hadirnya Kurikulum Paradigma Baru menjadi resolusi ? Hanya waktu yang akan menjawabnya. Namun, menarik jika kita mengurai sedikit tentang kurikulum paradigma baru yang menjadi penegas bagi Mendikbudristek, Nadiem Makarim, akan pameo ganti menteri ganti kurikulum. Sepertinya tidak afdhol rasanya jika hanya menghadirkan program-program revolusioner semacam Merdeka Belajar, Kampus Merdeka, hingga guru dan Sekolah Penggerak. Meskipun kurikulum paradigma baru bukan pemaksaan tetapi kepada penawaran, namun tetap saja, ada nama kurikulum baru yang hadir di tengah-tengah proses belajar mengajar siswa kita?
Memasuki tahun 2022, Mendikbudristek, Nadiem Makarim telah mengumumkan sejumlah program “unggulan”. Satu yang menarik perhatian adalah rencana penggantian kurikulum. Kalau rencana tersebut benar terjadi, itu artinya genap sudah “koleksi” kurikulum pendidikan kita menjadi 12.
Sebelumnya, sudah ada 11 kurikulum yang menghiasi kamar pendidikan nasional, mulai dari Kurikulum 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013, 2015. Kalau dirata-rata, 76 tahun umur Indonesia dibagi 11, maka diperoleh angka 6,9 tahun.
Artinya, rata-rata umur kurikulum tersebut kurang dari 7 tahun. Apakah bisa dikatakan kurikulum tersebut hanyalah seumur jagung dan masih prematur? Tentu inilah yang harus menjadi PR bagi para peneliti pendidikan kita ke depan. Maklum saja, beberapa pihak memandang, idealnya dalam pengembangan kurikulum memerlukan waktu untuk berproses minimal 10 tahun. Apa sebabnya? Karena perlu pematangan implementasi, mulai dari kajian mendalam, adaptasi dan orientasi, persiapan, sosialisasi, uji coba, dan akhirnya implementasi secara holistik dan diharapkan tidak parsial.
Kalau kita cermati, kurikulum pendidikan yang menjadi jantungnya pendidikan kita, pada dasarnya memiliki kemiripan urgensi dan tujuan. Hanya saja, tradisi negeri ini menggiring setiap pergantian tampuk tertinggi di pendidikan, untuk merename, mengganti nama kurikulum sebagai entitas dan identitas masa jabatan mendikbud. Benarkah? Pertanyaan itu pasti muncul.
CBSA mirip dengan Kurikulum 2013, dimana siswa yang didorong lebih aktif dan partisipatif, guru sebatas fasilitator. Sebenarnya hampir semua kurikulum yang pernah aktif menghendaki alias berfokus pada siswa sebagai central teaching and learning. Tidak terkecuali pada kurikulum paradigma baru, yang lebih berorientasi pada pencetakan output sekolah yang lebih spesialis, bukan generalis.
Mendikbudristek dalam satu kesempatan mengatakan bahwa kurikulum nanti jauh lebih merdeka. Menarik kita nantikan. Apakah benar kurikulum nanti lebih “spesialis” ketimbang kurikulum-kurikulum sebelumnya yang lebih generalis? Untuk menilai itu, mari kita telisik lebih dalam tentang Kurikulum (Paradigma) Baru.
Mengenal Kurikulum (Paradigma) Baru
Tidak lengkap rasanya, jika kita menginginkan adanya resolusi untuk pendidikan di tahun 2022 tanpa mengenal apa itu kurikulum paradigma baru. Setidaknya ada beberapa perubahan “nama” dan “esensi” yang menonjol dibandingkan kurikulum 2013.
Pertama, bergantinya istilah KI dan KD pada dua kurikulum edisi sebelumnya, menjadi istilah Capaian Pembelajaran (CP). Pilihan frase Capaian Pembelajaran memang kelihatannya lebih fleksibel, tidak kaku, karena mengakomodir semua ranah tujuan pembelajaran, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Capaian Pembelajaran berafiliasi dengan standar isi, standar proses, dan standar penilaian (evaluasi) dalam mendukung profil pelajar pancasila (PPP) sebagai struktur pokok kurikulum paradigma baru. Capaian Pembelajaran, memungkinkan penilaian terintegratif, satu kesatuan dari ketiga ranah tujuan pembelajaran. Setiap asesmen yang dilakukan guru, nantinya “wajib” hukumnya mengacu pada Capaian Pembelajaran yang ditetapkan, di masing-masing ranah.
Kedua, jenjang SD “sunah” untuk pembelajaran tematik. Pada kurikulum-kurikulum sebelumnya, istilah pembelajaran tematik identik dengan jenjang Sekolah Dasar (SD). Tetapi, pada kurikulum paradigma baru, dengan tagline merdeka belajarnya, mengijinkan jenjang SD kelas atas, IV, V, VI untuk tidak berbasis tematik. Tidak harus menggunakan pendekatan tematik dalam setiap pembelajaran. Dengan kata lain, sekolah diberikan keleluasaan, tidak ada sekat-sekat tema-tema yang ditentukan, tetapi lebih kepada pembelajaran berbasis mata pelajaran, kembali seperti dahulu sebelum era tematik datang.
Ketiga, kembalinya mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi). Pandemi Covid-19 sepertinya memberikan berkah tersendiri bagi dunia per-TI-an. Wajar jika kemudian, mata pelajaran TIK yang “dilenyapkan” dan “disenyapkan” pada kurikulum sebelumnya, kembali hadir dengan nama barunya Informatika. Rencananya, informatika akan diajarkan mulai jenjang SMP, dan boleh diampu oleh guru yang background-nya bukan TI, bisa diampu oleh guru umum.
Kalau benar guru umum boleh mengampu, maka konsekuensinya jelas, yakni memfasilitasi mereka dalam pelatihan pemanfaatan IT bagi pembelajaran, agar lebih fasih dan terampil. Serta, menimbang kembali guru IT yang mafhum betul seluk-beluk perteknologian yang begitu dominan perannya di saat situasi tak wajar seperti pandemi Covid-19, dengan pembelajaran onlinenya.
Keempat, penilaian berbasis proyek. Sekolah diberikan keleluasaan untuk menerapkan model-model pembelajaran interaktif, inovatif, dan kreatif, yang mendukung pada penguatan profil pelajar pancasila. Evaluasi tidak lagi pada level kognitif LOTS, tetapi lebih kepada HOTS, anak bisa menganalisis, mengevaluasi, serta mengkreasi, serta berlandaskan pada nilai-nilai karakter positif dalam implementasi sikap terpuji.
Kelima, “bersatunya” IPA dan IPS. Inilah gebrakan yang mungkin masih pro dan kontra dalam implementasi kurikulum paradigma baru nantinya, dimana untuk mata pelajaran IPA dan IPS jenjang SD kelas IV, V, dan VI yang selama ini berdiri sendiri, akan melebur menjadi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Sosial (IPAS). Meleburnya IPA dan IPS menjadi IPAS diklaim bisa menjadikan peserta didik lebih siap mengikuti pembelajaran IPA dan IPS, dan tak lagi ada diskriminasi label anak IPA dan anak IPS.
Sekilas nampak bahwa kurikulum paradigma baru memberikan harapan pada pendidikan nasional yang lebih terarah dan jelas. Namun, perlu pengkajian lebih dalam lagi apakah masyarakat pendidikan, utamanya para siswa, para guru, siap melaksanakan kurikulum baru ini? Jangan sampai, program andalan menjadi recehan, manakala tidak ada sustainability (keberlanjutan) dari program-program yang dicanangkan pada kurikulum baru. Bisa jadi, stagnasi capaian output pendidikan kita yang cenderung statis, bahkan ada degradasi dikarenakan gonta-gantinya “sperpart” yang ada pada kurikulum pendidikan kita.
Perubahan dan adaptasi memang suatu keniscayaan, begitupun dengan pendidikan kita, yang tak boleh lagi berpatok pada gaya kolonial dalam pembelajaran, tetapi lebih kepada selera milenial.
Output pendidikan dengan prestasi akademiknya, juara kelasnya, sudah saatnya dilenyapkan dan berganti pada keterampilan dan keahlian abad 21, yang menuntut seseorang menjadi sosok generalis, yang kreatif, inovatif, produktif, kompetitif, dan melek teknologi.
Dan, semoga kurikulum paradigma baru mengakomodir “kebutuhan” lulusan pendidikan, agar tak banyak lagi mereka yang menjadi pengangguran yang intelek. Semoga!