KILAS BABEL.COM – Mulai kemarin, Rabu (19/1/2022), pemerintah menetapkan kebijakan satu harga minyak goreng untuk semua jenis kemasan sebesar Rp 14 ribu per liter. Kebijakan satu harga itu dikhususkan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga serta usaha mikro dan kecil.
Kebijakan satu harga akan diawali melalui penjualan toko ritel modern yang menjadi anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Untuk kebijakan satu harga di pasar tradisional, akan diterapkan sepekan setelah penerapan di toko ritel. Hal itu karena dibutuhkan penyesuaian administrasi di pasar tradisional lebih kompleks daripada ritel.
Pemerintah menyiapkan 250 juta liter volume minyak goreng per bulan dan akan disediakan untuk kebutuhan selama enam bulan. Kebijakan tersebut dikeluarkan dengan dana sebesar Rp 7,6 triliun untuk membiayai selisih harga pasar minyak goreng.
Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (AIMMI) meminta pemerintah agar mempersiapkan dengan matang kecukupan subsidi untuk minyak goreng. Pasalnya, volume permintaan domestik maupun ekspor bakal melonjak tinggi. Di samping itu, harga dipastikan mengalami lonjakan signifikan.
Ketua AIMMI, Adi Wisoko, mengatakan, momen bulan Ramadhan akan tiba pada April-Mei mendatang atau kurang dari tiga bulan lagi. Selama Ramadhan, Adi menuturkan, konsumsi masyarakat akan mengalami peningkatan dan mengangkat permintaan terhadap minyak goreng.
“Keperluan minyak goreng akan luar biasa, dan ini perlu dari sekarang mesti kita pikirkan, karena bila terlambat saya tidak tahu akan seperti apa kenaikan harga,” kata Adi, Rabu (19/1/2022).
Harga keekonomian minyak goreng berada di kisaran Rp 17 ribu sehingga pemerintah memberikan subsidi sekitar Rp 3.000 per liter. Total anggaran subsidi yang diberikan pemerintah sebesar Rp 7,6 triliun untuk 1,5 miliar liter minyak goreng selama enam bulan ke depan.
“Meskipun harga sudah ditetapkan Rp 14 ribu per liter, apakah itu bisa menjangkau konsumsi yang tinggi pada bulan-bulan itu? Ditambah lagi ada ekstra pembelian dari internasional,” kata Adi.
Ia menekankan, permintaan dari negara-negara muslim terhadap minyak goreng ke Indonesia akan meningkat lebih banyak. Karenanya, segala antisipasi harus disiapkan sejak dini. “Ini fakta dari pengalaman kami yang sudah mengamati,” ujarnya.
Ketua Umum Aprindo Roy N Mandey berpesan agar konsumen seluruh wilayah Indonesia tidak perlu panic buying atau khawatir atas ketersediaan minyak goreng di toko ritel modern. Alasannya, stok minyak goreng menjadi komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat dengan harga yang stabil dan terjangkau.
“Berbelanjalah dengan normal dan wajar sesuai kebutuhan serta tetap komit dan wajib disiplin melaksanakan protokol kesehatan 3M pada saat ini, dalam masa pandemi yang sedang kita tanggulangi bersama. Jadi selain kebutuhan pokok kita (minyak goreng) dapat terpenuhi, kesehatan kita tetap terjaga,” tutur Roy.
Sementara itu sejumlah pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) merasa bersyukur karena minyak goreng satu harga mulai diberlakukan.
“Bersyukur sekali akhirnya bisa produksi lagi, karena kemarin sempat berhenti produksi, tidak kuat sama harga minyak yang terlalu tinggi,” kata salah satu pelaku UKM di Kelurahan Bukit Besar Kecamatan Girimaya, Iwan kepada latansanews.com, Kamis (20/1/2022).
Iwan mengatakan usaha miliknya sempat bertahan saat harga minyak goreng mulai merangkak naik dengan tetap mempertahankan harga jual. Namun lama kelamaan pemilik usaha warung tersebut terpaksa menaikkan harga jual, yang pada akhirnya memengaruhi daya beli konsumen.
“Lama-kelamaan marginnya semakin tipis, makanya memutuskan untuk berhenti produksi,” ujar Iwan.
Dengan pemberlakuan minyak goreng satu harga, Iwan yang memiliki banyak pelanggan buruh harian mengaku akan menggenjot kembali produksinya.
Hal yang sama disampaikan Wanti, warga Kampung Keramat Pangkalpinang, yang menjual produk aneka gorengan. Ia mengaku bahagia karena harga minyak goreng dapat kembali terjangkau.
Ia dan komunitas pedagang gorengan lainnya ramai-ramai menaikkan harga, mengikuti melonjaknya harga minyak goreng.
“Semua rata-rata naik Rp 500. Kami juga menyiasatinya dengan lebih menghemat menggunakan minyak goreng dan bahan lain, seperti tepung terigu yang juga naik,” ujar Wanti.
Tekanan Inflasi
Pemerintah mengakui tekanan inflasi global sudah mulai berdampak terhadap bahan pokok di dalam negeri, seperti pada harga minyak goreng. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan ada beberapa tekanan dari harga komoditas yang merembes ke dalam negeri.
“Ada beberapa tekanan dari harga komoditas yang merembes ke dalam seperti CPO atau crude palm oil alias minyak sawit yang merembes ke harga minyak goreng,” ujarnya saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada Rabu (19/1/2022).
Sri Mulyani menyebut terganggunya rantai pasok CPO di dunia bisa berdampak pada harga komoditas di dalam negeri, sehingga bisa menyebabkan kenaikan harga makanan di Tanah Air. “Makanya kita harus hati-hati,” ungkapnya.
Kendati demikian, Sri Mulyani mengungkapkan tingkat inflasi dalam negeri masih terjaga dan terkendali pada awal tahun ini, sehingga fokus yang dilakukan pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. “Supaya kita bisa bertahan dan bisa ditahan dari presser harga yang bisa terjadi periode 2022,” katanya.
Pada November 2021, minyak goreng telah menjadi komoditas yang memberikan andil pada peningkatan inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi November 2021 sebesar 0,37 persen yang disumbang permintaan minyak goreng hingga 0,8 persen.
Indonesia adalah produsen minyak sawit dunia dengan produksi tahunan mencapai lebih dari 46 juta ton setiap tahun. Meski demikian, Indonesia tidak mampu mengendalikan harga ketika terjadi lonjakan harga CPO global yang turut berdampak pada naiknya harga berbagai produk turunannya, salah satunya minyak goreng.
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indoensia (GIMNI), Sahat Sinaga, mengungkapkan, saat ini tingkat konsumsi produk sawit oleh konsumen dalam negeri terus mengalami peningkatan namun belum mendominasi. Pada 2019 lalu, persentase konsumsi domestik sekitar 31 persen dari total produksi. Adapun pada 2021, konsumsi dalam negeri mengalami peningkatan menjadi 35 persen karena adanya program bahan bakar biodiesel B30. Memasuki 2022, konsumsi masyarakat dalam negeri diperkirakan naik menjadi 37 persen.
“Kami melihat, kita adalah produsen terbesar di dunia. Tapi, kita bisa menjadi price leader (penentu harga) apabila konsumsi domestik sudah mencapai 60 persen dari total produksi kita,” kata Sahat dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR, Rabu (19/1/2022).
Sahat mengatakan, jika tingkat konsumsi hingga tahun ini masih berkisar 37 persen, akan sulit bagi Indonesia untuk menjadi penentu harga. Sebab, mayoritas produksi dikonsumsi oleh pasar internasional. Konsumsi domestik setidaknya harus mencapai 60 persen. Itu sebabnya, harga saat ini masih sangat tergantung pada situasi global.
Terlepas dari situasi konsumsi domestik yang masih rendah, Sahat memaparkan kinerja ekspor sawit terus menunjukkan perkembangan positif dari sisi nilai tambah.
Tercatat pada tahun 2019 lalu, sebanyak 22 persen ekspor merupakan produk hulu dengan nilai tambah rendah dan 78 persen produk hilir bernilai tambah tinggi. Memasuki 2021 ekspor produk hulu turun kembali menjadi 10 persen dan sisanya produk hilir. Dengan kata lain, kinerja ekspor sawit terus mengalami diverisifkasi ke produk bernilai tambah tinggi.
“Ini tentu juga menggembirakan karena devisa kita semakin tinggi dan juga pendapatan petani menjadi tinggi,” ujarnya. (ge2)
Sumber : berbagai sumber
Foto : jpnn.com dan republika.com
Editor : Rakha