Oleh : AZYUMARDI AZRA
KILAS BABEL.COM – Mau ke mana pengembangan sains, riset, dan inovasi Indonesia? Pertanyaan ini menyeruak kehidupan publik dengan pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Sejak badan ini dibentuk, semula sebagai bagian Kemenristek dalam Kabinet Kerja Jilid II yang akhirnya disebut Kabinet Indonesia Maju (23 Oktober 2019), pertanyaan terus muncul dari banyak peneliti, akademisi, dan lembaga penelitian milik pemerintah di kementerian, lembaga, dan perguruan tinggi negeri.
Sejauh ini, belum ada penjelasan cukup memuaskan dan meyakinkan dari pejabat BRIN dan pemerintah lain terkait pengembangan sains, riset, dan inovasi. Meski berbagai diskusi, seminar dan dengar pendapat dilakukan, masalah BRIN masih jauh dari selesai dan tampaknya bakal terus berlanjut.
BRIN resmi berdiri sejak 24 April 2021. Empat hari kemudian, (28 April 2021) Kemenristek bentukan Presiden Sukarno pada 1962 dilikuidasi.
Padahal, Kemenristek menjadi pusat dan lokus pengembangan riset, teknologi, dan inovasi, khususnya sejak BJ Habibie diangkat Presiden Soeharto sebagai braintrust dan motornya menjadi kepala Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi (BPPT) sekaligus menristek dalam lima kabinet Presiden Soeharto (1978-1998).
Selanjutnya, struktur dan fungsi riset eks Kemeristek diintegrasikan ke dalam Ditjen Dikti, Kemendikbud menambah beban kementerian yang sudah kedodoran mengurus pendidikan dan kebudayaan, khususnya pada masa sulit pandemi Covid-19.
Apakah riset dan inovasi Indonesia bisa lebih maju dengan BRIN? Banyak kalangan masyarakat, khususnya akademisi dan peneliti merasa skeptis dan pesimistis.
Suara dan kegelisahan atau sikap seperti itu dialami dan dirasakan penulis Resonansi, yang menjadi narasumber tiga webinar nasional tentang BRIN serta masa depan penelitian dan inovasi Indonesia.
Terakhir (28 Oktober 2021) adalah webinar yang diselenggarakan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) dan Universitas Nasional (Unas) dengan pembicara Sofian Effendi, mantan rektor UGM, dan R Siti Zuhro, peneliti senior LIPI.
Apa pun lembaga riset yang ada, maju mundurnya riset dan inovasi tak hanya bergantung pada lembaganya. Penelitian dapat ditingkatkan BRIN yang baru dibentuk, yang menggabungkan banyak institusi penelitian negara.
Atau (pernah) ditingkatkan institusi penelitian lain yang pernah ada, dengan berdiri sendiri sebagai lembaga penelitian nonkementerian (LPNK seperti LIPI, BPPT, BATAN, LAPAN) atau dalam lingkup kementerian.
Mereka dalam sejarah masing-masing melakukan banyak riset rutin atau riset untuk menemukan inovasi dan invensi. Namun, kini LPNK dan lembaga penelitian lain bakal dilikuidasi, tenggelam ke dalam sejarah.
Apa pun lembaga penelitian, besar atau kecil, tersentralisasi atau terpencar-pencar, kemajuan dalam riset dan inovasi bisa terwujud hanya jika lembaga itu memiliki otonomi lebih besar dibandingkan lembaga birokrasi negara lain.
Lembaga penelitian—meski milik negara yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan—mesti tidak sama dengan lembaga pemerintah yang penuh belenggu birokrasi dan administrasi, apalagi jika birokrasinya tak ubah seperti pabrik.
Otonomi lembaga riset, baik LPNK maupun non-LPNK dan di kementerian jelas hilang atau berkurang signifikan dengan penyatuan atau sentralisasi mereka dalam BRIN.
Sentralisasi berbagai lembaga/badan penelitian Indonesia ke dalam BRIN tampak menjadi awal malapetaka riset Indonesia hari ini dan ke depan.
Adanya otonomi lebih besar juga berlaku bagi saintis, peneliti, atau mereka yang bertugas menjalankan penelitian dan berusaha menemukan inovasi dan invensi.
Otonomi bagi sumber daya riset dan inovasi mesti berlaku di setiap dan seluruh institusi riset nonkementerian dan perguruan tinggi. Tanpa otonomi, peneliti, saintis, dan mereka yang berusaha menghasilkan inovasi dan invensi pasti tidak dapat bergerak dan berkarya maksimal.
Tak perlu diskusi panjang lebar, hanya dengan otonomi atau kebebasan akademis-saintifik, peneliti dan saintis bisa mengembangkan kreativitas dan melakukan terobosan keilmuan dan inovasi, melampaui imajinasinya sendiri ataupun imajinasi orang lain.
Banyak sekali invensi dan inovasi yang mendorong kemajuan sains, teknologi, dan industri memberi kontribusi penting dan signifikan bagi peradaban umat manusia.
Karena itu, campur tangan dan intervensi kekuasaan politik dan ideologi negara, apalagi politik partisan yang diwakili partai politik atau kelompok politik tertentu terhadap lembaga penelitian semacam BRIN mengakibatkan retardasi sains, riset, dan inovasi.
Intervensi itu bisa terjadi melalui Ketua Dewan Pengarah BRIN yang sekaligus ketua umum PDIP. Dengan intervensi politik dan ideologisasi, tidak bisa diharapkan riset dapat menghasilkan terobosan keilmuan, apalagi membuahkan invensi dan inovasi.
Riset dan inovasi sepatutnya tidak menjadi wahana dan sarana untuk kepentingan politik partisan, yang boleh jadi dalam rangka mempertahankan status quo kekuasaan atau hegemoni politik tertentu.
Sumber : republika.id
Foto : katadata/detik.com
Editor : Rakha