KILAS BABEL.COM – Gula aren atau masyarakat Bangka menyebutnya gula kabung merupakan gula yang terbuat dari bahan baku air nira diperoleh dari pohon enau atau kabung. Hasil olahan nira yang diolah menjadi gula merah ini biasanya dapat diolah menjadi bahan baku pembuatan kecap manis, wedang jahe, bubur kacang hijau dan lainnya.
Proses pengambilan nira diawali dengan pengetokan atau pemukulan tangkai tandan bunga dari pangkal pohon kearah tandan bunga. Hal tersebut dilakukan selama satu bulan atau sampai bunga berguguran.
Syamsul (53), pembuat gula kabung dari Kecamatan Sungai Selan Kabupaten Bangka Tengah, Sabtu (5/2) menjelaskan, proses pembuatan gula dimulai dengan rentang waktu pada minggu pertama yakni dua kali dalam seminggu. Setelah itu dilanjutkan satu minggu sekali hingga adanya tandan bunga dari tandan yang berguguran. Proses pemukulan ini dilanjutkan untuk melemaskan pori pori atau jalur air nira yang akan keluar. Agar keluarnya lancar dan lebih deras.
“Setiap melakukan pengetokan diakhiri dengan mengayunkan tandan yang bertujuan untuk meratakan hasil dari pemukulan atau meratakan pelemasan jalur dari air nira. Proses pemukulan dilakukan kurang lebih 30 menit,” ungkap Syamsul.
Setelah itu, lanjut Syamsul, dilakukannya proses penyadapan, yaitu proses pengambilan air nira dari pohonnya. Pohon enau yang siap disadap niranya ditandai dengan mengeluarkan aroma harum. Aroma itu berasal dari tanda bunga jantan yang berdampingan tumbuh dengan tanda bunga betina.
“Untuk mengambil air nira, biasanya pohon aren disadap dua kali sehari, yakni pada pagi dan sore hari. Nira yang diambil pada pagi hari hasilnya lebih banyak ketimbang nira yang dipanen pada sore hari,” bebernya.
Pria yang sudah 30 lebih tahun menggeluti bidang ini menambahkan, jumlah hasil panen nira tergantung pada tingkat kesuburan tanah dan perawatannya. Jika dalam satu hari panen air nira sepuluh liter dalam satu pohon, maka pada pagi hari akan menghasilkan tujuh liter air nira, sedangkan panen sore hari menghasilkan tiga liter nira.
“Perlu diketahui, air nira sangat mudah menjadi masam, karena zat gula yang terkandung mudah terfermentasi oleh bakteri. Untuk mensiasati agar nira tidak mudah terfermentasi. Biasanya kami perajin gula merah, menggunakan satu kilogram kayu nangka yang telah dicincang seperti kripik yang direndam dalam satu liter air masak hingga kecoklatan,” jelas Syamsul.
Air nira yang telah terkumpul kemudian disaring terlebih dahulu agar lebih bersih. Lalu dibawa ke tempat pemasakan. Air nira yang telah disaring ini akan direbus di atas wajan yang besar dan dengan api yang sedang. Cairan gula harus sering diaduk selama proses rebus nya.
Ayah lima anak ini menuturkan, lama pemasakan sekitar 4-5 jam, tergantung pada bentuk tungku dan besarnya api. Sebaiknya pilihlah tungku dengan dibuat dengan bentuk standar tungku hemat bahan bakar dan wadah masak yang permukaannya luas, serta kayu api yang kering. Selain kayu api, bisa dipakai sekam padi dan tandan kosong sawit.
“Air kabung yang sedang dimasak jangan lupa untuk sambil sesekali diaduk, agar tidak gosong dan mencegah hasil gula terasa pahit. Ketika mendidih, nira yang sedang dipanaskan ini akan mengeluarkan buih. Untuk mencegah meluapnya buih nira saat dimasak, taburkan dua butir daging buah kemiri yang telah dihaluskan pada setiap wajan. Cara lainnya adalah dapat menggunakan dua sendok minyak kelapa,” jelas Syamsul.
Jangan lupa, lanjutnya, untuk membuang buih yang keluar saat nira sudah mendidih. Pembuangan buih ini berguna agar ketika dicetak, gula dapat mengeras dan tidak menghitam.
Setelah direbus beberapa lama, cairan gula akan berubah warna secara perlahan menjadi warna cokelat. Cairan gula yang sudah berubah warna kecokelatan pun akan mengeluarkan letupan – letupan kecil seperti magma.
Untuk menguji apakah nira yang telh sudah bisa dicetak atau belum kata Syamsul, caranya larutkan sedikit nira yang dimasak ke dalam air bersih dingin. Jika air nira langsung membeku, maka gula merah siap untuk di cetak. Jika nira, belum cukup siap untuk dicetak, menyebabkan gula aren nantinya mudah berjamur. Nira yang telah menjadi cairan gula tersebut kemudian dapat dituangkan ke dalam cetakan. Cetakan dapat menggunakan bambu atau batok kelapa.
Selanjutnya gula aren yang sudah membeku di cetakan, dibiarkan satu malam hingga dingin, baru bisa dibungkus. Jika gula aren dibungkus dalam keadaan panas, membuat gula menjadi lembab dan mudah berjamur.
“Cara tradisional membungkus gula aren biasanya menggunakan daun pisang, upih pinang dan perangkat alami lainnya. Akan tetapi, perajin yang lebih modern akan membungkus gula aren menggunakan plastik bertuliskan dengan merk dagangnya. Setelah itu, tunggu sampai gula merah menjadi dingin. Gula merah atau gula aren yang telah dingin dapat ditiriskan ke tempat yang terpisah untuk kemudian dibungkus dan dikonsumsi,” pungkas Syamsul. (bond)
Foto : istimewa
Editor : Leona