KILAS BABEL.COM – Diterimanya Informasi Data Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) tahun 2021 oleh masyarakat dari Pemerintah Kota Pangkalpinang meninggalkan kesan yang kurang mengenakkan. Kenaikan besaran PBB daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Pangkalpinang mengundang reaksi keras dari sebagaian kalangan masyarakat.
Bahkan dalam forum group discussion (FGD) yang digelar Pemerintah Kota Pangkalpinang terkait Penetapan SPPT PBB P2 Tahun 2022, bertempat di Bangka City Hotel, Jumat (11/2), interupsi dan permohonan klarifikasi dari masyarakat serta RT/RW mewarnai sepanjang jalannya diskusi.
Klimaks diskusi tersebut pecah setelah Sarimin, salah satu Ketua RT di wilayah Kota Pangkalpinang mempertanyakan besaran tagihan PBB P2 atas namanya yang naik 12 kali lipat dari tahun sebelumnya.
Sarimin mengaku, tahun sebelumnya, ia hanya membayar PBB P2 sebesar Rp217.000,-. Baginya, nominal tersebut masih bisa dijangkau mengingat dibayarkan hanya satu tahun sekali. Namun ketika mendapat daftar tagihan dari Badan Keuangan Daerah Kota Pangkalpinang tertanggal 9 Februari 2022, dirinya kaget bukan kepalang. Di lembar tagihan tersebut, tertera nominal tertagih yang cukup besar yakni Rp 2.673.450,-.
“Sampai shalat tidak khusyuk saya Pak, mikir ini (tagihan PBB P2*red). Yang harus dibayar Rp 2 juta 600ribu. Astagfirullahaladzim. Sakit Hati Pak. Kalian (PNS pemkot*red) enak-enak. Gaji Besar…set, set… ATM. Bayar! Sedangkan kami bagaimana? gaji cuma satu juta setengah,” ungkap Sarimin dengan nada emosi.
Pria paruh baya ini menilai, besaran PBB P2 yang dinaikkan Pemerintah Kota Pangkalpinang terlalu besar. Ia juga bingung, bagaimana nominal yang naik sangat siginifikan tersebut bisa muncul. Yang pasti, lanjut Sarimin, jangan sampai Pemkot dalam menetapkan besaran PBB hanya berdasarkan tembak nominal semata tanpa dasar penghitungan yang jelas.
Sarimin mengaku, sebagai seorang RT dan sebagai seorang warga, dirinya sangat taat dalam membayar pajak. Ia juga mengatakan, sejak masyarakat menerima tagihan PBB P2, banyak yang melapor kepada dirinya atas kenaikan yang cukup besar. Bahkan Sarimin mengaku, ada warga yang menangis lantaran membengkaknya tagihan PBB P2.
“Warga kami mengeluh, menangis. Susah mau ngomong, Astagfirullah,” ucap Sarimin.
Undang-Undang HKPD Amanatkan Kenaikan PBB P2 Maksimal 0,5%
Tarif pajak bumi dan bangunan perkotaan dan pedesaan atau PBB-P2 resmi naik menjadi maksimal 0,5 persen seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau UU HKPD. UU HKPD disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu (5/1/2022) dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada hari yang sama.
Sesuai namanya, UU itu mengatur berbagai ketentuan desentralisasi fiskal dan asas otonomi pemerintah. Salah satu ketentuan UU HKPD, yakni Pasal 41 berisi tarif baru PBB-P2 yang merupakan pajak terhadap lahan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan. Tarif baru naik dari sebelumnya yang berkisar 0,1 persen—0,3 persen.
“Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5 persen,” tertulis dalam Pasal 41 ayat (1) UU HKPD, dikutip Jumat (11/2).
Dalam pasal 41 ayat (2), Pemerintah mengatur bahwa tarif PBB-P2 untuk lahan produksi pangan dan ternak lebih rendah dari tarif lahan lainnya. Ketentuan tarif PBB-P2 secara umum maupun untuk lahan pangan dan ternak ditetapkan kemudian oleh peraturan daerah (perda).
UU tersebut mengatur bahwa tahun pajak PBB-P2 adalah jangka waktu satu tahun kalender dan penentuan perhitungan pajaknya adalah menurut keadaan objek per 1 Januari. Tempat PBB-P2 terutang adalah di wilayah daerah yang meliputi letak objek pajak terkait.
Pemerintah juga mengatur bahwa dasar pengenaan PBB-P2 adalah nilai jual objek pajak (NJOP), di mana NJOP tidak kena pajak adalah paling sedikit Rp10 juta bagi setiap wajib pajak. Jika wajib pajak terkait memiliki lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, maka NJOP tidak kena pajak hanya berlaku terhadap salah satu objek untuk setiap tahun pajak.
Cara Menghitung PBB P2 Sesuai UU Nomor 28 Tahun 2009
Mengutip dari rumahkeadilan.co.id, membayar Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaaan dan Perkotaan (PBB P2) sudah merupakan hal yang lumrah dilakukan para wajib pajak, begitu juga dengan salah satu istilah yang tidak asing di dalam PBB P2 yakni Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Dalam proses transaksi jual beli properti/rumah, pemahaman terkait NJOP merupakan hal yang penting. Karena dengan memahami NJOP, baik penjual maupun pembeli bisa mengetahui besarnya dana serta pajak yang akan ditanggung dari transasksi jual beli properti/rumah.
Pengertian NJOP
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 40 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) disebutkan bahwa NJOP merupakan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan terbaru, atau NJOP pengganti. Secara sederhana NJOP merupakan taksiran harga rumah dan bangunan yang dihitung berdasarkan luas dan zona rumah serta bangunannya.
Perhitungan NJOP
NJOP merupakan dasar pengenaan pajak bagi PBB P2 yang ditetapkan oleh Kepala Daerah setiap 3 (tiga) tahun sekali, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sekali sesuai dengan perkembangan wilayah. Besarnya NJOP sendiri ditetapkan berbeda-beda pada setiap daerah di Indonesia. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dan penjelasan UU PDRD, penetapan NJOP dapat dilakukan melalui 3 (tiga) pendekatan penilain:
- Pendekatan Data Pasar atau Perbandingan Harga (Market Data/Sales Comparison Approach) yakni pendekatan dengan cara membandingkan objek pajak lain yang sejenis yang nilai jualnya sudah diketahui dengan melakukan penyesuaian yang dipandang perlu. Persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam penerapan, pendekatan ini adalah tersedianya data jual beli atau harga sewa yang wajar. Pendekatan data pasar terutama diterapkan untuk penentuan NJOP tanah, dan untuk objek tertentu dapat juga dipergunakan untuk penentuan NJOP bangunan.
- Pendekatan Biaya (Cost Approach) yakni pendekatan dengan cara memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan baru objek yang dinilai dan dikurangi penyusutan. Perkiraan biaya dilakukan dengan cara menghitung biaya setiap komponen utama bangunan, material, dan fasilitas lainnya.
- Pendekatan Kapitalisasi Pendapatan (Income Approach) yakni pendekatan dengan cara menghitung atau memproyeksikan seluruh pendapatan sewa/penjualan dalam satu tahun dari objek pajak yang dinilai dikurangi dengan kekosongan, biaya operasi, dan/atau hak pengusaha. Selanjutnya dikapitalisasikan dengan suatu tingkat kapitalisasi tertentu. Pendekatan ini pada umumnya diterapkan untuk objek-objek komersial, yang dibangun untuk usaha/menghasilkan pendapatan seperti hotel, apartemen, gedung perkantoran yang disewakan, bandar udara, pelabuhan, tempat rekreasi, dan lain sebagainya.
Dalam penentuan NJOP, penilaian berdasarkan pendekatan kapitalisasi pendapatan dipakai juga sebagai alat penguji terhadap nilai yang dihasilkan dengan pendekatan lainnya. NJOP hasil penilaian dengan berbagai pendekatan di atas, dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu NJOP Bumi, NJOP Bangunan Objek Pajak Umum, dan/atau NJOP Bangunan Objek Pajak Khusus. Selain adanya NJOP sebagaimana demikian, terdapat juga NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (4) dan ayat (5) UU PDRD yang besarnya paling rendah sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Perhitungan PBB P2
PBB P2 merupakan pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Berkaitan dengan perhitungan PBB P2, tarif PBB P2 ditetapkan dengan peraturan daerah pada masing-masing daerah di Indonesia paling tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen). Besaran pokok PBB P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PBB P2 dengan NJOP setelah dikurangi dengan nilai NJOP Tidak Kena Pajak sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Contoh perhitungan PBB P2:
Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa:
- Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp. 300.000,00/ m2;
- Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp. 350.000,00/ m2;
- Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp. 50.000,00/ m2;
- Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp. 175.000,00/m2.
Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:
1 | NJOP Bumi: 800 x Rp. 300.000,00 | = | Rp. 240.000.000,00 |
2 | NJOP Bangunan | ||
a. Rumah dan garasi
400 x Rp. 350.000,00 |
= |
Rp. 140.000.000,00 |
|
b. Taman
200 x Rp. 50.000,00 |
= |
Rp. 10.000.000,00 |
|
c. Pagar
(120 x 1,5) x Rp. 175.000,00 |
= |
Rp. 31.500.000,00 +
|
|
Total NJOP Bangunan | = | Rp. 181.500.000,00 | |
NJOP Tidak Kena Pajak | = | Rp. 10.000.000,00 – | |
Nilai jual bangunan kena pajak | = | Rp. 171.500.000,00 + | |
3 | NJOP Kena Pajak | = | Rp. 411.500.000,00 |
4 | Tarif pajak efektif yang diterapkan dalam Peraturan Daerah 0,2% | ||
5 | PBB P2 terutang 0,2% x Rp. 411.500.000,00 | = | Rp. 823.000,00 |
(mg2/bond)