Toleransi Dalam Relasi Bernegara

oleh -219 Dilihat
Dr. Muhadam. (ist)

Oleh :

Dr. Muhadam Labolo

(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)

 

KILAS BABEL.COM – Rilis survei tingkat toleransi dikalangan mahasiswa oleh PPIM UIN Jakarta menunjukkan 30,16% mahasiswa memiliki sikap toleransi beragama rendah (27 Des 2020). Angka itu akumulasi dari 24,89% rendah dan 5,27% sangat rendah.

Menariknya, angka toleransi mahasiswa di sekolah kedinasan lebih tinggi dibanding perguruan tinggi negeri dan swasta. Meski begitu, secara umum tingkat toleransi di kalangan mahasiwa masih lebih tinggi.

Sikap minoritas itu bermakna bahwa penghargaan dan penghormatan terhadap perbedaan keyakinan belum selaras dengan esensi yang diajarkan oleh religi itu sendiri. Indikasi itu seakan mengkonfirmasi cara beragama kita, khususnya relasi horizontal yang kerap menimbulkan kecurigaan antar dan internal beragama. Intoleransi dalam relasi beragama.

Toleransi dalam sedikit literasi dipahami sebagai kesadaran akan keberagamaan di sekeliling kita. Dalam arti luas, toleransi tak hanya dialamatkan pada kesadaran berupa penghormatan dan penghargaan terhadap pola relasi beragama antara penganut keyakinan berbeda, pun terhadap kemajemukan apa saja sebagai kekayaan Tuhan.

Menolak keragaman sama halnya menolak sunnatullah. Kita tak pernah memilih menjadi apa saat sebelum dilahirkan. Dengan kehendak-Nya, kita menerima perbedaan itu, entah suku, ras bahkan agama. Pendek kata, kita secara faktual adalah perbedaan dan karenanya pantas untuk diterima dengan kesyukuran, bukan dengan penghindaran, diskriminasi, apalagi kebencian.

Penghormatan atas perbedaan pilihan keyakinan perlu ditempatkan secara bijak dalam pergaulan sosial. Jika seseorang mengklaim bahwa istri atau suaminya paling cantik-tampan, itu sah saja. Namun di tengah sistem sosial, kita pun perlu menghargai klaim yang sama oleh suami atau istri orang lain. Toleransi semacam itu diperlukan dalam konteks pergaulan sosial. Toleransi bukan pula mencampur adukkan ritual beragama.

Sikap toleransi bertujuan menghindari absolutisme keyakinan berlebihan hingga mengecualikan semua yang berbeda disekeliling kita. Sementara klaim sepihak bukan tak boleh, namun dapat dipakai dalam kepentingan domestik. Identitas diperlukan tidak saja oleh komunitas homogen, juga dalam kepentingan yang bersifat ritual-religi. Tujuannya mencapai kemaslahatan dan kebahagiaan kolektif.

Dalam kaitan religi itu, toleransi dibangun berdasarkan hubungan moralitas. Sejarah peradaban Madinah adalah contoh, dimana minoritas Muslim hidup berdampingan dengan mayoritas non Muslim selama bertahun-tahun. Fakta itu mendorong konsep Negara Madani (622-632 M) yang pernah populer di era Cak Nur. Dasar toleransi dalam konteks ini berbeda dengan toleransi dalam masyarakat Barat, sekalipun mungkin memiliki tujuan yang sama.

Toleransi dalam perspektif Barat dikonstruksi berdasarkan hukum pasar yang bersifat transaksional dan fairness. Pasar tak membutuhkan perbedaan ras dan agama. Sejauh kita saling suka terhadap komoditas yang diperdagangkan, pasar mempersilahkan untuk saling menukar. Pasar hanya mensyaratkan trust dan kenetralan, tak lebih dari itu (C. Colhoun, 1992).

Dalam konteks kita, toleransi diperlukan untuk menghargai setiap pilihan agama masing-masing. Pondasinya jelas, Ketuhanan yang Maha Esa. Negara berkewajiban melindungi keyakinan setiap warga negara. Di negara sekuler seperti Amerika sekalipun, agama rasanya masih dihargai ketika seorang presiden terpilih di sumpah sembari meletakkan tangan di atas Bibel.

Bahkan di sejumlah negara otoriter, negara tetap berkepentingan terhadap agama lewat kebijakan insentif guna mengendalikan otoritas agama agar sejalan dengan orientasi negara. Negara menoleransi rumah ibadah dan komunitasnya sejauh relasi keduanya saling memahami. Negara tak perlu jauh memasuki halaman keyakinan beragama. Apalagi sampai mengatur perkara prosesi ritualitas yang bersifat teknis. Demikian sebaliknya, agama tak mesti memaksakan diri masuk ke dalam urusan bernegara.

Hubungan simbiotik itu tidaklah berarti memisahkan sepenuhnya agama dari ruang bernegara (sekularisasi). Faktanya agama tak dapat dihindari dalam praktik bernegara, sekalipun tidak dalam status negara agama. Lihat saja ketika Walikota London (Sadiq Khan) dan Walikota South Portland (Dhalac) terpilih. Inggris & Amerika mengangkat sumpah keduanya berdasarkan keyakinan Islam di atas kitab suci Al`Quran. Dalam fakta semacam itulah agama hadir atas kehendak negara lewat janji spiritualitasnya.

No More Posts Available.

No more pages to load.