Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILAS BABEL.COM – Kemandirian bangsa terus diuji. Diuji lewat kelangkaan minyak goreng hingga minyak bumi (solar). Minyak goreng bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak. Maklum, harga diri seorang Emak dihadapan keluarga bergantung pada bahan pokok itu. Anak dan suaminya tak peduli, bila waktunya makan semua tersedia lewat proses minyak goreng.
Dulu, minyak bumi umumnya dipakai sebagai bahan bakar. Konsumennya mayoritas kelompok berkenderaan. Kini bahan bakar alternatif diperoleh lewat tumbuh-tumbuhan. Satu diantaranya kelapa sawit. Bumi tak selamanya sanggup mendekomposisi tulang-belulang menjadi minyak. Butuh ratusan tahun dan tak dapat diperbaharui. Beda bahan bakar nabati yang dapat ditumbuh-kembangkan hanya dengan berkebun Sawit.
Bahan bakar nabati salah satunya dapat menghasilkan biodisel. Energi dan tumpuan hidup manusia di masa depan. Hebatnya, Indonesia adalah negara penghasil Sawit tertinggi di dunia dengan 43,5 juta ton per tahun. Jauh melampaui Malaysia & Thailand dengan pertumbuhan 3,61% pertahun. Dunia jelas bergantung pasokan pada Indonesia. Bila serius, energi itu dapat mengantarkan kita ke pintu gerbang kemakmuran.
Di sumatera bagian Selatan, sepanjang mata memandang yang tumbuh hanya Sawit. Kiri-kanan jalan dari Bengkulu, Kepahyang, Lubuk Linggau, Musi Rawas dan Musi Rawas Utara dipenuhi rumpun palma itu. Malangnya, sebuah video menampilkan ledakan antrian minyak goreng di salah satu pusat perbelanjaan Lubuk Linggau. Di tempat lain terjadi hal yang sama, rebutan minyak goreng di toko swalayan, bahkan menimbulkan korban jiwa.
Kelangkaan tersebut menimbulkan pertanyaan, dimanakah kemandirian bangsa sesuai visi Nawacita. Secara teknis, dimanakah kehadiran pemerintah dalam mengontrol sepak terjang subkultur ekonomi hingga mencemaskan subkultur sosial. Dua soal itu seakan mendorong kita merenungkan kembali visi dan eksistensi pemerintah terkait tanggung jawab alokasi, distribusi dan stabilisasi pasar.
Tanggung jawab itu adalah kemampuan mengatur tetesan sawit dari hulu hingga hilir. Sebanyak sawit di Sumatera Selatan misalnya hanya tersedia 1 pabrik pengubah CPO menjadi minyak goreng. Tumpahan besar dengan mudah di lego ke luar negeri. Apalagi jika kewajiban 20% minimal konsumsi domestik tak di kontrol dengan tegas. Para pelaku meraup untung seraya menyuap pengambil kebijakan agar dilisensi. Jadilah kejahatan yang dilegalisasi. Hasilnya tak ada yang dapat disentuh kecuali penimbun minyak goreng kelas teri. Mereka kambing hitam.
Sawit, tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Tanaman hutan ini menghasilkan ragam kebutuhan seperti cokelat, keju, margarin, lipstik, sabun, sampo, hingga kue kering. Secara ekonomi nilainya relatif tinggi ketimbang di peras menjadi minyak goreng. Dapat dipahami jika arus perdagangan sawit ke pasar luar negeri lebih kompetitif dibanding melepas sawit di swalayan dalam wujud minyak goreng.
Ibarat produk bahan bakar, nilai tertinggi mulai pertamax plus hingga pertalite. Di pasar, nilai ekonomi Sawit bergantung kebutuhan. Bila di produk untuk cokelat dan keju tentu nilainya lebih tinggi dibanding bermetamorfosis ke emak-emak dalam rupa minyak goreng. Di sini berlaku hukum besi, hanya mereka yang mampu yang dapat mencicipi minyak goreng kelas premium. Sisanya, menyaring minyak curah yang umumnya murah tak terkontrol.
Dalam logika ekonomi rasional itu, para pelaku membawa komoditi ke pasar yang menjanjikan profit besar. Dampaknya kelangkaan domestik. Tentu realitas pasar semacam itu tak bisa dibiarkan selamanya. Eksesnya ketidak-adilan sosial. Di situ soal pertaruhan nasionalisme. Sayangnya kapitalisme tak mengenal nasionalisme. Kekenyangan di luar sana, tapi kelaparan di rumah sendiri. Tikus mati dilumbung padi. Di sini pentingnya kehadiran pemerintah lewat invisible hand dalam menjaga keseimbangan pasar kata Marx.
Bila pasar tak menciptakan keseimbangan ekonomi, dampaknya seleksi alam, struggle for life, survival of the fittest, dan konflik (Ndraha, 2002). Dalam konteks ini subkultur sosial yang paling dirugikan, sebagaimana kritik keras Mark Twain (1830-1910), bahwa ketika orang kaya merampok orang miskin di sebut bisnis. Namun, saat orang miskin melawan tak jarang disebut kejahatan. Dalam dilema kriminal itulah negara tak jarang turun tangan, merepresi semua tindakan masyarakat yang dinilai anarkis dan mengancam stabilitas.
Foto : istimewa
Editor : Putra Nalendra