Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILAS BABEL.COM –
Secara teori, muasal kedaulatan dari Tuhan, tradisi, dan rakyat. Dari Tuhan melahirkan teokrasi, tradisi (raja) mencipta monarki, dan rakyat memproduk demokrasi. Sejauh ini ketiganya eksis dengan mayoritas pilihan demokrasi. Di luar itu terdapat paham kedaulatan negara dan hukum yang bersifat normatif.
Teokrasi hidup dalam kesakralan pemimpinnya, Vatikan misalnya. Sudan meninggalkan model ini pasca konflik lebih 20 tahun. Monarchi eksis di tengah modernisasi, bahkan berkelindan dengan teokrasi. Arab Saudi dan Brunai misalnya. Di Inggris, walau monarkhi tak populer bagi kawula muda, namun lebih 40% masih menyukainya.
Diluar keduanya, lebih 80% negara di dunia menggunakan demokrasi, termasuk Indonesia. Setidaknya dilandasi oleh semangat konstitusinya. Persoalan yang selalu kita utak-atik adalah mekanisme apa dalam sistem politik demokrasi itu yang kompatibel saat ini. Apakah langsung atau tidak dalam kontestasi pemilihan presiden dan kepala daerah. Apakah proporsional tertutup atau terbuka dalam pemilihan legislatif. Pilpres tentu jauh lebih pasti mekanismenya dibanding pilkada.
Pasal 18 point (4) menyatakan bahwa pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota itu dipilih secara demokratis. Artinya, pilihan mekanismenya hanya dua. Dipilih langsung oleh rakyat atau tidak langsung oleh wakilnya (DPRD). Basis otonominya dari komunitas masyarakat sekalipun formalnya seakan diberi negara.
Karenanya tak ada negara dalam negara (state in state). Tujuannya menegaskan bahwa kita negara kesatuan, bukan federalisme. Secara berjenjang negara punya kedaulatan (dignity), daerah punya otonomi, individu punya privasi (Ndraha,2002).
Sejak 2005, pasal 18 UUD 45 itu diterjemahkan ke dalam mekanisme pilkada langsung. Sementara praktek pilkada tak langsung dipakai untuk mekanisme penggantian kepala daerah yang berhenti di tengah jalan dengan berbagai asbab. Keduanya dapat dipakai bergantian tergantung konteksnya. Normal atau abnormal.
Mekanisme pilkada tak langsung sebenarnya telah dipraktekkan sejak 1945 sampai 2004. Perubahan mekanisme itu terjadi ketika MK memutus bahwa rezim pilkada bagian dari pemilu, sekaligus upaya menyamakan pola pemilihan presiden, termasuk pertimbangan sistem perencanaan di tingkat teknis. Simpulnya, kedua mekanisme itu tetap dipakai sekalipun dalam konteks yang berbeda. Sampai disitu rasanya tak ada yang keliru.
Dengan pemahaman konstitusional itu, mekanisme dropping penjabat pusat ke level provinsi dan kabupaten/kota sebenarnya yang keliru. Karena pilihan legasinya jelas, dipilih langsung atau tidak langsung. Oleh sebab DPRD masih ada, tidak sedang absen sebagaimana kepala daerah, maka sejogjanya merekalah yang memilih siapa penjabat kepala daerah di daerah otonom masing-masing.
Sebenarnya, menimbang susunan luar pemerintahan daerah provinsi menurut UU 23/2014 terdiri dari daerah otonom dan daerah administrasi (fused model), maka penjabat gubernur dapat saja ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagaimana praktek UU 5/74. Namun seseorang baru menjadi ex officio wakil pemerintah pusat jika terpilih dulu sebagai kepala daerah otonom.
Dengan demikian tetap saja alokasi penjabatnya dipilih duluan oleh rakyat atau oleh DPRD, bukan di dropping. Perlu disadari bahwa kabupaten/kota adalah daerah otonom murni, bukan daerah administrasi sebagaimana provinsi. Konsekuensinya alokasi penjabat kepala daerah idealnya dipilih DPRD jika tidak dipilih langsung, termasuk dalam kasus pengisian penjabat kepala daerah sambil menanti pilkada serentak 2024.
Berkenaan pasal 201 UU 10/2016 tentang Pilkada yang menunjuk penjabat setingkat madya dan pratama sebetulnya dibangun dengan asumsi bahwa semua susunan luar pemerintahan di daerah itu adalah wilayah administrasi. Itu jelas keliru, peninggalan rezim UU 5/74, dimana provinsi sampai camat dan lurah adalah kepala wilayah administrasi.
Dengan asumsi itu bisa dipahami mengapa sampai saat ini pemerintah tak mengubah aturan main soal alokasi penjabat kepala daerah setingkat JPT madya dan pratama. Sementara UU 5/74 telah berubah sebanyak tiga kali. Saya pikir disitu sumber persoalan dimana beleid tadi tak konsisten dengan spirit konstitusi.
Menyadari kealpaan itu, DPR semestinya merevisi Pasal 201 kedalam mekanisme dipilih oleh DPRD, bukan mengangkat birokrat sipil, Polri dan TNI sebagai kepala daerah. Tanpa perubahan itu, pengisian penjabat kepala daerah bagaimanapun tak dapat dihindari sarat kompetisi antara birokrat sipil dan non sipil yang ditunjuk lewat mekanisme internal pemerintah. Dalam realitas itulah masyarakat sungguh-sungguh meragukannya.
Foto : istimewa
Editor : Rakha