Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILAS BABEL.COM – Relasi kemitraan dewan lokal dan kepala daerah bertumbuh pasang-surut. Dinamikanya bergantung sistem pemerintahan daerah yang diterapkan selama ini. Bila tekanannya executive heavy sebagaimana praktik UU 5/1974, dewan lokal tak berkutik. Jika tekanannya legislative heavy seperti UU 22/1999, kepala daerah pun seperti lembu. Konsep kemitraan pun kabur di ranah implementasi.
Titik tengkarnya bersentuhan dengan fungsi dan tugasnya. Dewan lokal membuat produk berskala lokal, menganggarkan dan mengawasi kepala daerah. Kepala daerah menjalankan semua produk dewan lokal termasuk perintah pusat. Produk dewan lokal bentuknya Perda. Sifatnya mengikat setingkat lokal, bukan badan legislatif nasional yang sifatnya luas (DPR RI).
Titik tengkar itu sekaligus peluang bagi titik temunya. Semakin tinggi voltase tekanan dewan lokal semakin takut kepala daerah di impeachment. Eksesnya, dewan lokal menikmati bulan madu panjang di setiap akhir tahun anggaran, laporan menjadi formalistik, disamping pemerintahan daerah tak efektif karena terus tersandera. Ini marak pasca berlakunya UU 22/1999 tentang Pemda.
Sebaliknya, semakin lemah tekanan dewan lokal, semakin leluasa kepala daerah menentukan masa depan Pemda. Dampaknya Pemda lebih kreatif, lincah, dan fleksibel. Tapi ekses negatifnya korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Upaya mengembalikan modal pilkada jamak ditemukan dengan menginjak ujung kaki Organisasi Pemerintah Daerah (OPD). Open bidding tak lebih dari open dompet.
Sebenarnya, di titik tengah relasi keduanya relatif harmonis. Namun bukan berarti baik-baik saja. Publik tak jarang mendakwa bahwa keakuran mereka bermakna selingkuh. Jelas, bahwa relasi keduanya dalam bentuk apapun penuh konsekuensi. Sikap dewan lokal sebagai represent, stand for bagaimanapun kata Ndraha (2002) bisa searah, bisa berseberangan, bahkan dalam banyak kasus mengingkari basis konstituennya sendiri.
Dalam konteks itu, relasi dewan lokal dengan kepala daerah bisa berkembang konstruktif, dominatif, kolutif, konfliktual dan klienteisme (Romly, 2022). Tentu saja relasi konstruktif mungkin lebih ideal. Namun realitas politik lokal memperlihatkan lebih banyak dominasi, kolusi, konflik dan patron. Dominasi kepala daerah sangat terasa hingga dewan lokal hanya kebagian tukang stempel.
Relasi kolutif terlihat dengan alasan alokasi, distribusi dan stabilisasi penting untuk menjaga keseimbangan. Proyek pun dibagi tak seimbang. Belum termasuk block grant dana alokasi khusus yang tak jarang keteteran serapannya. Uniknya, pola relasi pragmatis semacam itulah yang membuat hubungan keduanya eksis hingga kini. Maknanya, relasi itu diterima, dan produktif melahirkan simbiosis mutualisme.
Di luar itu, hubungan konfliktual disebabkan oleh ketiadaan mekanisme baku dalam penyusunan rencana daerah. Uang pokir dan protokoler dewan lokal yang kini dipangkas sebesar-besarnya menjadi isu utama. Dewan lokal menganggap ada diskriminasi sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Di sisi lain klientalisme lokal turut melengkapi relasi keduanya. Dengan semua konsesi yang diberikan kepala daerah pada dewan lokal, mudah baginya memperoleh loyalitas. Gejala ini menguat apabila kepala daerah merangkap ketua partai yang notebene mengontrol mayoritas anggotanya di dewan lokal. Ini membuat dewan lokal tak banyak bersuara.
Agar relasi keduanya dinamis tanpa mengurangi fungsi yang diemban, perlu sebuah mekanisme baku setingkat SKB atau Perda yang mengatur pola relasi dalam kaitan pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan. Legasi itu setidaknya membuka kanalisasi, mengurangi titik tengkar, serta menjaga relasi kemitraan agar tetap hangat dan konstruktif.
Foto : istimewa
Editor : Rakha