KILAS BABEL.COM – Geliat tambang timah di sebagian besar Kepulauan Bangka Belitung tak hanya menghadirkan dinamika ekonomi yang manis, tapi di sisi lain juga menghadirkan duka lara bagi generasi selanjutnya.
Bayangkan, dari total wilayah, 123 ribu hektare diantaranya merupakan lahan kritis yang menyimpan pekerjaan rumah besar bagi seluruh elemen. Hal tersebut ditanggapi serius oleh berbagai pihak, mulai dari pegiat lingkungan, pemerintah daerah, pemerintah pusat hingga masyarakat.
Penjabat Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Babel) Ridwan Djamaluddin, ketika menjadi pembicara di Seminar Nasional dengan Tema “Timah Indonesia dan Penguasaan Negara”, yang diselenggarakan Babel Resources Institue (BRINST), di Hotel Santika Bangka, Jumat (22/7) memaparkan kewajiban sistemasi, hingga aspek yang sangat berpengaruh dengan lingkungan.
Ridwan juga menyampaikan, sejauh ini tercatat dalam laporan yang diterima Ditjen Minerba ESDM, terdapat seluas 123 ribu hektare lahan kritis yang diakibatkan oleh aktivitas tambang ilegal.
Hadir melalui Zoom Meeting, Pj gubernur yang juga Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyambut baik seminar ini untuk membangun persamaan persepsi tentang penguasaan oleh negara, terhadap sumber daya timah, terkhususnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
“Ini akan ada biaya yang harus kita keluarkan untuk memulihkan kondisi lingkungan, yang juga harus menjadi titik berat perhatian, karena kita tidak ingin mewariskan lahan kritis ini untuk anak-cucu kita,” katanya.
Walaupun sering terbentur dengan permasalahan lingkungan, Ridwan juga menegaskan bahwa timah belum tergantikan. Artinya, dalam jangka panjang komoditi ini masih dibutuhkan oleh dunia. Oleh karena itu, pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar kepada timah, dan menyadari tata kelola pertimahan belum ideal.
“Untuk penguasaan, yang ingin kita wujudkan dalam waktu dekat untuk memantau aliran material ini yang akan diintegrasikan dengan simbara (sistem informasi batubara dan mineral),” jelasnya.
Sebagai bisnis, pemerintah tak menampik selalu ada dampak negatifnya. Seperti ada smelter yang tidak punya IUP, tapi bahan bakunya ada terus. Juga kerap ditemukan IUP tapi tidak pernah ada kegiatan.
“Dampak seperti ini harus kita bangkitkan kesadaran penuh, bahwa keberadaan timah yang ada di negara kita ini, khususnya Babel jangan sampai menimbukan efek-efek negatif seperti itu,” katanya.
Oleh sebabnya, lanjut Ridwan, untuk menegakkan hukum, sudah dibentuk satuan tugas pertambangan ilegal oleh pemerintah, guna menegakkan regulasi agar komoditas ini memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.
“Dalam kapasitas saya sebagai Pj gubernur, yang dilakukan saat ini adalah menata kegiatan pertambangan ilegal agar dapat menjadi legal. Artinya, bagi masyarakat yang ingin terlibat dalam industri ini perlu untuk melakukan perizinan,” katanya.
Pada acara yang juga menghadirkan anggota Komisi VII Bambang Patijaya, Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak SDA, dan Kekayaan Negara Dipisahkan Dirjen Anggaran Kemenkeu Kurnia Chairi, Direktur Eksekutif Energy Watch, Ridwan menyebutkan, langkahnya tersebut telah sesuai dengan aturan yang ada.
“Pemerintah Babel menyediakan tempatnya sampai tiga bulan ke depan. Jadi dalam hal ini pemerintah telah memberikan jalan untuk melaksanakan Undang undang, bahwa apa yang dilakukan sesuai dengan peraturan,” katanya. (SP)
Foto : ilustrasi/NET
Editor : Rakha