Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILAS BABEL.COM – Birokrasi di klaim tak netral. Tak netralnya sulit diidentifikasi, kecuali pada momen keramaian politik di setiap transisi kekuasaan. Setidaknya demikian judul buku provokatif terbitan Kompas Gramedia, Ketidaknetralan Birokrasi Indonesia, Studi Zaman Orde Baru sampai Orde Reformasi (2014). Penulisnya seorang birokrat JPT Madya yang kebetulan menjabat Gubernur Gorontalo, Hamka A Hendra Noer.
Dengan pendekatan kualitatif-deskriptif buku itu menggambarkan bagaimana birokrasi Indonesia dengan gamblang dipolitisasi. Politisasi tak hanya di pusaran kekuasaan, demikian pula di level local government. Bedanya, relasi di daerah lebih emosional, didominasi oleh local strongman, partai politik dan organisasi masyarakat.
Sejujurnya, buku ini justru memperlihatkan bagaimana kuatnya intervensi partai politik pada birokrasi. Birokrasi terdistorsi lewat campur tangan partai politik yang terlalu jauh. Efeknya wajah birokrasi seakan tak netral sekalipun umumnya tak seburuk yang dibayangkan. Masih banyak birokrat hidup dalam keteguhan prinsipnya, melayani pemerintah & masyarakat.
Birokrasi memang di desain detail oleh Weber (1894) tanpa membayangkan bahwa politik dapat berkubang enteng didalamnya. Sama halnya Hegel (1821) yang mendambakan birokrasi sebagai jembatan penghubung antara kepentingan negara di satu sisi dan kepentingan masyarakat di sisi lain. Negara diwakili pemerintah, masyarakat direpresentasikan oleh partai politik.
Dalam faktanya, idealisme keduanya tak seindah imajinasi. Marx (1848) mengkritik Hegel yang terlalu ideal tanpa melihat senyatanya bahwa negara yang diwakili pemerintah itu tak lain kecuali kumpulan kelas sosial yang mengendalikan birokrasi sebagai instrumen bagi kepentingan kelompok (oligarki). Kritik itu berangkat dari fakta empirik, bukan semata ide rasionalitas yang dibayangkan.
Dua pemikiran di atas meletakkan birokrasi sebagai kelompok netral sekaligus bagian dari kekuasaan. Di Indonesia sendiri, ide Weber dan Hegel menjadi semangat yang dibingkai lewat sistem netralitas Aparat Sipil Negara. Kendati begitu, realitas senyatanya memperlihatkan sebaliknya, kritik Marx lah yang dapat ditangkap dalam kasus-kasus di sekeliling kita. Birokrasi tak berdaya di bawah kendali politisi.
Komposisi birokrasi di Indonesia terdiri dari kelompok sipil yang hampir mencapai 4 juta orang. Tentara mencapai 400 ribu, dan polisi yang mendekati 500 ribu personil. Jumlah itu sekalipun minim dianggap efektif mempengaruhi kurang dari 200 jt pemilih. Pengaruh itu mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Birokrasi secara hirarkhis bergantung instruksi dan disposisi. Semua dapat dieksekusi mulai menerangi pelita hingga mematikan CCTV.
Birokrasi mungkin tak seluruhnya terlibat dalam arus ketidaknetralan itu. Tidak sebagai institusi kecuali person to person. Tren unfairness itu didominasi oleh eselon puncak yang menginginkan simbiosis mutualisme. Birokrasi mengendalikan sumber daya lapangan, sementara politisi mengendalikan jabatan yang memungkinkan masa depan birokrat melejit sempurna. Dalam relasi itulah terjadi sesi pertukaran untuk kepentingan yang disepakati.
Sisanya, birokrat eselon terbawah dan fungsional yang notabene bergantung penuh pada kalimat, mohon petunjuk dan arahan lebih lanjut. Lewat penguasaan pada top manajer dengan sendirinya politisi menguasai kelas midle dan low manajer. Pada ujungnya semua pelayanan yang bersentuhan dengan publik diasumsikan dapat diapakanlah, kata orang Medan.
Birokrasi pada dasarnya bergantung pada karakteristik rezim. Orde Baru yang sentralistik mempengaruhi style birokrasi. Gus Dur pernah bercerita bagaimana pola pendekatan birokrasi dimasa orde baru dan orde reformasi. Pendekatan represif lewat tekanan kekuasaan jauh lebih efektif dibanding era reformasi yang pendekatannya lebih demokratis dengan mengandalkan pertukaran sumber daya, baik jabatan maupun money politics.
Kenetralan birokrasi bergantung dimana Ia diposisikan. Seperti warna apa saja ketika berada di tengah mayoritas warna tertentu. Eksistensi dirinya bergantung pada kemampuan mempertahankan warna integritasnya lewat spirit politik negara, bukan politik kekuasaan. Dengan begitu birokrasi dapat membedakan mana kepentingan negara yang diformalisasikan melalui aturan main, dan mana titipan belanja modal yang dipaksa membonceng lewat atribusi jabatan.
Kemampuan memilah dua kepentingan itulah yang sulit. Sulit bagi birokrat yang takut kehilangan posisi, sekalipun mudah saja bagi birokrat yang profesional dan berintegritas. Mereka jumlahnya sedikit dan semakin langka. Tapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Mereka mampu beradaptasi tanpa kehilangan netralitas di setiap pergantian rezim berkuasa. Hidupnya pun biasa-biasa saja.
Buku setebal 359 halaman dengan lebih dari 600 daftar pustaka itu tentu saja kitab yang baik untuk dibaca. Namun bagi saya, Ia lebih tepat menjadi pemandu tidak saja bagi kalangan birokrat, lebih lagi kaum politisi, agar keduanya mampu menjaga jarak bagi upaya mencipta birokrasi yang profesional dan netral di satu pihak, juga politisi yang negarawan di sudut yang lain.
Sayangnya, buku ini tak menunjukkan lorong sempit sebagai jalan keluar bagi birokrasi yang tercemar ketidaknetralan tadi. Maksud saya, agenda struktural dan kultural apa yang mesti dilakukan guna menetralisir birokrasi dari ancaman politisasi yang kian hari kian vulgar. Barangkali Jepang, Korea Selatan, Perancis, dan New Zealand sedikit negara yang dapat menjadi pilot project netralitas birokrasi.
Foto : istimewa
Editor : Rakha