KILAS BABEL.COM – Samsuddin Jadab atau yang akrab disapa Gus Samsudin mengakui sapaan ‘Gus’ di depan namanya tak ada kaitan dengan keluarga kiai atau wawasan agama yang dia miliki.
Samsudin mengaku sapaan Gus yang ia peroleh itu berasal dari sebutan orang Jawa. Menurutnya, dalam bahasa Jawa, Gus berarti anak laki-laki, Cah Bagus berarti anak baik.
“Nama Gus sendiri kalau di dalam orang Jawa, Gus itu anak laki-laki, Cah Bagus,” kata Samsudin, dikutip dari cnnindonesia.com, Minggu (14/8).
Nama Samsudin menjadi viral belakangan ini lantaran dituduh melakukan praktik layaknya dukun di Padepokan Nur Dzat Sejati miliknya di Blitar, Jawa Timur. Samsudin juga terlibat cekcok dengan Youtuber bernama Marcel Radhival atau Pesulap Merah yang kerap memecahkan praktik gaib.
Merespons hebohnya Gus Samsudin itu, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur mengecam keras pencatutan gelar Gus dalam nama yang bersangkutan.
Bendahara GP Ansor Jawa Timur Muhammad Fawait mengatakan apa yang dilakukan Samsudin bisa menyesatkan masyarakat.
“Orang yang melakukan praktik perdukunan menyebut dirinya kiai atau Gus. Hal itu untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat. Tapi ujung-ujungnya mencari keuntungan pribadi. Ini tentu merugikan kiai dan Gus yang benar-benar asli,” kata Gus Fawait, awal Agustus lalu.
Menurut Gus Fawait, orang yang mendapat gelar ‘Gus’ harus jelas nasabnya. Baginya, tak sembarang orang bisa menyandang sebutan itu. Dia mengatakan gelar Gus tak boleh dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
“Ini yang harus diluruskan. Kalau kiai atau ulama itu harus jelas sanad keilmuannya. Sedangkan Gus harus jelas nasabnya. Jadi masyarakat jangan mudah percaya pada orang yang mengaku kiai atau gus. Lihat dulu sanad dan nasabnya,” kata Gus Fawait.
Bagaimana sebetulnya istilah atau yang berhak mendapatkan panggilan ‘Gus’ menurut Nahdlatul Ulama (NU)?
Pengasuh Pesantren Asrama Queen Darul Ulum Rejoso, Peterongan, Jombang HM Zahrul Azhar Asumta atau Gus Hans mengatakan definisi ‘Gus’ adalah sebutan untuk putra seorang kiai.
Ia menilai bahwa orang yang bukan keturunan kiai tapi dipanggil ‘Gus’ sama saja dengan ‘Gus’ naturalisasi.
“Sebutan ‘Gus’ untuk seseorang yang bukan putra kiai adalah Gus jadi jadian, Gus naturalisasi, baik ciptaan media maupun panggilan seenaknya dari para pengikut atau pengagumnya,” kata Gus Hans dikutip di laman resmi NU, Minggu (14/8).
Gus Hans menyayangkan bila panggilan ‘Gus’ dikapitalisasi untuk menipu atau mencari keuntungan materi. Ia juga menyayangkan ketika praktik pengobatan alternatif dibungkus dengan atribut agama atau panggilan ‘Gus’ agar laris. Ada juga orang yang mendadak ‘Gus’ saat menjelang pemilu agar orang lebih percaya.
“Saat ini, siapa saja bisa mengaku ‘Gus’ untuk mendapatkan privilege yang bisa dikapitalisasi,” jelas Gus Hans.
Senada, pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamiliyyah Cibarusah Bekasi Jawa Barat, Farhan Sahlani Kamil menegaskan istilah Gus ditunjukkan untuk menghormati putra seorang kiai.
“Secara umum panggilan gus ditujukan untuk menghormati seorang putra Kiai. Tradisi ini datang dari keluarga pesantren Jawa Timur yang kemudian banyak diadopsi di daerah lain. Yang jelas, panggilan itu datang dari kontruksi sosial, tidak bikin-bikinan sendiri,” kata Farhan di laman resmi NU.
Farhan mengatakan sebutan gus telah mengalami pergeseran makna. Artinya penyematan ini bisa diperuntukkan orang yang alim, kiai muda yang baru merintis pesantren, atau pendakwah yang berpegang pada ajaran Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja).
“Bagi saya, tidak masalah untuk melaqabkan Gus kepada orang yang betul-betul ‘alim dalam bidang agama, kiai muda yang sedang berjuang di bidang pendidikan pesantren, dan lain-lain selama ia masih memegang tradisi-tradisi ulama,” kata Ketua GP Ansor Kecamatan Cibarusah itu.
Sumber : cnnindonesia.com
Foto : detik.com
Editor : Rakha