Oleh :
dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILAS BABEL.COM – Sastra klasik Iliad karya Homeros tentang Perang Troya mungkin punya korelasi dalam kasus belakangan ini. Helena, dalam epik itu dikonotasikan sebagai wanita tak bermartabat. Ia begitu gampang jatuh cinta pada Paris yang kabur meninggalkan penguasa Sparta, Menelaos. Insiden itu memicu serangan Akhaia ke kota kecil Troya.
Berbeda dengan itu, filsuf stoikisme sekelas Gorgias justru membangun retorika sebaliknya. Helena bukanlah tersangka utama, tapi korban. Atas bujuk rayu Paris, ia dengan mudah kehilangan akal sehat. Tak hanya itu, peran Eros sebagai Dewa Asmara turut mempercepat kepasrahan Helena. Tentu saja tak ada satupun yang dapat melawan kehendak Dewa Eros.
Untuk membuktikan kedua asumsi di atas, kita membutuhkan bukti (evidence). Semakin banyak semakin baik, agar akal kita tetap sehat dari persangkaan dan spekulasi liar. Tanpa bukti kita hanya membangun opini di atas narasi yang terus melimpah. Apapun itu, perbuatan atau fakta jauh lebih kuat dari kata-kata (facta sunt potentiora verbis).
Semua fakta mesti di rajut dengan akal sehat. Kumpulan bukti akan menghubungkan satu dengan yang lain. Di situ terbentuk narasi kronologis paling rasional. Rekayasa dapat terbentur oleh fakta dari susunan barang bukti. Semakin jeli penuntut mengurai benang kusut, semakin benderang hakim memutus perkara untuk semua penerima manfaat keadilan, korban dan tersangka.
Terlepas dari rekonstruksi teknis itu, kaum stoa berpendapat bahwa godaan jahat manusia adalah hasrat, ketakutan, kesenangan dan rasa sakit yang berlebihan (Sholeh, 2022). Semua yang berlebihan dapat merusak kesadaran manusia dalam relasinya dengan Alam, Akal dan Allah. Keempat hal itu hanya dapat ditepikan lewat akal sehat. Manusia menjadi sempurna karena akal budinya.
Hasrat berlebih menjadikan manusia kehilangan rasionalitasnya. Dalam pandangan spiritualitas, ia dapat bermetamorfosa menjadi hewan, bahkan lebih rendah dari itu (Al Araf,179). Kata Aristoteles, sebab rasionalitaslah yang membedakan evolusionalistik manusia dengan hewan (zoon politicon). Tanpa itu, kita sejatinya hewan dengan kekhasannya, rakus, kejam, dan buas.
Ketakutan berlebihan dapat membentuk sindrom phobia. Dampaknya tak hanya mengacak kestabilan mental individu. Dalam skala luas, phobia menjadi ancaman paling menakutkan bagi kehidupan kolektif berbangsa dan bernegara. Ironisnya, phobia bukan semata ancaman bagi kaum minoritas, kini melanda kelompok mayoritas beragama. Islam phobia misalnya.
Kesenangan bertujuan membahagiakan manusia. Hedonisme menjanjikan manusia hidup tuna sengsara. Di titik tertentu manusia hidup dalam fantasi, namun pada titik sebaliknya mengubah manusia menjadi mahluk konsumtif, individualistis, boros, pemalas dan koruptif. Semua perilaku itu menjauhkan manusia sebagai mahluk sosial (homo socius). Ia hidup soliter sambil mengeksploitasi tanpa peduli kelaparan di sekelilingnya.
Sementara rasa sakit berlebihan melahirkan api amarah dan dendam. Dalam kegelapan akal budi Ia dapat mengubah manusia menjadi monster. Mereka yang awal dikasihi dapat dimusuhi dan dibunuh. Paris, Helena dan Menelaos hanya contoh prajurit, istri dan perwira yang digoda hasrat. Dengan akal sehat pula Aristoteles mengingatkan kita, bahwa mereka yang mencintai berlebihan akan berakhir dengan membenci berlebihan.
Foto : istimewa
Editor : Rakha