Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILAS BABEL.COM – Kejahatan merajalela di hampir semua sektor. Ironinya, meresap ke pori-pori para penegak hukum. Mereka pembasmi terdepan kejahatan. Tempat dimana setiap warga berharap untuk dilindungi, bahkan institusi terakhir yang tak dapat dibubarkan sekalipun kejahatan terus bertumbuh dan subur berkembang (Mahfud, 2022). Kini polisi tak hanya memburu penjahat, tapi menangkap polisi yang diduga penjahat.
Kejahatan bukan perkara baru. Ia telah hadir sejak azali. Jauh di tempat yang diidamkan setiap manusia, surgawi. Adam & Hawa di usir karena kejahatan kecil di tengah hidup yang serba berkecukupan. Dari situ dapat dipahami mengapa kejahatan tumbuh justru di tempat yang paling membahagiakan, tempat yang paling nyaman, bahkan tempat paling steril dan nirmala, bukan sebaliknya.
Kejahatan kolektif hanya mungkin bila tumbuh sebagai kesepakatan dalam masyarakat. Ia bermula dari konsensus satu dua orang dan diam-diam. Lama-lama menjadi permakluman bersama. Dalam jangka panjang berubah menjadi kebiasan dan budaya. Akhirnya, kejahatan tak lagi ditakuti dan dihindari, lambat laun menjadi bagian dari sistem sosial. Bahkan punya dasar yuridis bila diformalisasi lewat representasi sebagian masyarakat.
Contoh. Dulu, suap bukanlah kejahatan korupsi. Dalam sejarahnya, suap hanyalah satu diantara kecakapan psikomotorik yang digunakan untuk memudahkan relasi pada semua aspek. Hampir tak ada pertukaran kepentingan yang tak membutuhkan suap. Polis di Athena misalnya, negara kota tempat tumbuhnya demokrasi, memperlihatkan semua pertukaran kepentingan di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial hingga militer menyertakan ahli suap agar aman dan damai (Priyono, 2018).
Dalam masa selanjutnya, suap tak hanya metode untuk memudahkan, juga melunakkan dan menaklukkan. Agresi dalam peperangan dapat dihentikan lewat suap. Disini fungsi suap meluas dalam relasi kuasa antar penguasa, tak cuma urusan individu dan kelompok. Suap penanda taklukan, loyalitas, kepatuhan, bahkan simbol keterjajahan oleh yang lebih kuasa. Suap bergeser menjadi alat negosiasi keamanan dan perlindungan berwujud upeti.
Dalam dunia modern, upeti mengalami pergeseran makna yang tak biasa. Ia dinilai metode tuna etik dalam pertukaran kepentingan. Relasi dalam masyarakat hukum ditentukan oleh rasionalitas kepentingan, lebih lagi di sektor publik. Hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah didasarkan oleh konstitusi sebagai wujud kontrak sosial. Disana termaktub hak dan kewajiban. Mana ruang privat dan mana ruang publik.
Dalam hubungan itu menimbulkan konsekuensi mana yang gratis dan mana pula yang berbayar. Bila Ia menjadi hak mesti diberikan oleh yang berkewajiban, tanpa memungut sepersenpun. Sebaliknya, jika Ia menjadi kewajiban, patut ditunaikan sekalipun mesti dengan membayar. Bila yang satu menuntut hak maka yang lain bertindak sebagai kewajiban. Demikian sebaliknya dalam relasi hukum pemerintahan (Ndraha, 2002).
Dengan demikian semua ditentukan berdasarkan konsensus formal, bukan keinginan orang perorang. Disitu kita dapat membedakan mana tarif retribusi dan mana beban pajak. Di luar semua itu dinilai pungutan liar, suap atau upeti yang dalam norma identik dengan gratifikasi. Pergeseran makna dan bentuk itulah yang kini di sebut kejahatan korupsi. Walau begitu, suap tak pernah mati ketika pertukaran kepentingan berhadapan dengan patologi birokrasi.
Ibarat surga, birokrasi menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan untuk pertukaran kepentingan. Ada larangan dan kewajiban, sekaligus kemewahan dan fasilitas dari yang sederhana sampai yang paling mewah, tergantung birokratnya ada di eselon berapa. Apesnya, kita tak hidup sendiri, sekantor dengan setan yang hadir di setiap pertukaran kepentingan, mengimingi rupa-rupa kesenangan. Ada promosi tahta, harta & wanita.
Dalam pikiran yang terus mencari jawaban, ditambah tafsir nilai yang semakin adaptif, kita sering meredefenisi makna jahat dan baik lewat sistem hukum. Ini membenarkan bahwa kejahatan dan kebaikan hanyalah teks yang kontekstual di pikiran manusia. Dengan alasan tertentu manusia merekayasa tujuan awal guna memperkaya, memudahkan, melunakkan, menaklukkan, bahkan menjajah. Realitas kejahatan kini terus berubah di tengah konsensus nilai yang juga semakin longgar.
Memahami itu, Latif (2022) mengajak kita merenungkan catatan Fernanda Pirie dalam The Rule of Laws, (2021), yang mengupas sejarah 4000 tahun usaha manusia menertibkan dunia. Visi ketertiban ternyata beragam. Sistem hukum dasar yang dikembangkan di Mesopotamia, China dan India berbeda dalam bahasa, logika, dan tujuan. Mesopotamia menekankan keadilan, China pada soal disiplin, dan India pada tertib kosmos. Visi hukum keadilan lebih akomodatif terhadap hak (rights), sedangkan visi hukum disiplin dan tertib kosmos lebih menekankan pada kewajiban.
Foto : istimewa
Editor : Rakha