KILASBABEL.COM – Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sampai saat ini masih harus menghadap berbagai permasalahan terkait sumber daya manusia diantaranya stunting dan perkawinan anak.
Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, angka prevalensi stunting sudah menurun yaitu sebesar 19,93 persen pada tahun 2019 menjadi 18,696 pada tahun 2021 (SSGI 2021).
Demikian disampaikan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan Pencatatan Sipil dan Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (DP3ACSKB) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Asyraf Suryadin saat menjadi pembina upacara di SMK Negeri 2 Pangkalpinang, Senin (28/11).
“Istilah stunting ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Stunting bukanlah penyakit, tapi suatu kondisi gagal pertumbuhan dan perkembangan pada balita akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu yang lama pada 1000 hari pertama kehidupan,” ujar Asyraf.
Dijelaskan Asyraf, anak stunting ini memiliki ciri tubuh yang lebih pendek dari anak seusianya, mudah terserang penyakit dan adanya gangguan dalam perkembangan otak yang mempengaruhi tingkat kecerdasannya.
Karena gangguan ini, katanya, maka anak stunting ketika mereka dewasa menjadi tidak cukup produktif dan cenderung menjadi beban dalam keluarga.
“Bisa kita bayangkan kondisi bangsa ini jika generasi muda kedepan banyak yang stunting, kita tidak bisa merebut bonus demografi yang akan kita peroleh hingga tahun 2045, dimana pada waktu itu jumlah usia produktif lebih banyak dari usia non produktif,” katanya.
Oleh karena itu, dikatakan Asyraf, permasalahan stunting ini perlu menjadi perhatian bersama. Dan yang perlu diketahui, lanjutnya, bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap angka stunting di Babel ini adalah tingginya angka perkawinan anak.
Di tahun 2020, ungkap Asyraf, angka perkawinan anak di Bangka Belitung sebesar 18,76 persen dan pada waktu itu, Babel berada di peringkat pertama nasional. Sementara di tahun 2021, posisi Babel sudah sedikit menurun ke peringkat 5 dengan persentase 14,05 persen.
“Namun kita tidak boleh berhenti sampai disitu karena angka ini masih di atas rata rata nasional yaitu sebesar 9,23 persen,” imbuhnya.
Menurut Asyraf, Ada berbagai faktor yang melatar belakangi perkawinan usia anak diantaranya karena faktor ekonomi. Contohnya, katanya, anak dinikahkan dengan harapan dapat mengurangi beban ekonomi keluarga.
Kemudian, lanjut Asyraf, faktor sosial budaya, dimana anak menikah karena malu jika tidak laku atau perawan tua dan perempuan dianggap tidak perlu sekolah tinggi tinggi. Disamping itu, tradisi turun temurun dalam keluarga, putus sekolah dan akhirnya harus menikah karena takut zina serta faktor married by accident.
“Kondisi ini juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti faktor pendidikan seperti kurangnya penerapan nilamoral dalam keluarga, pendidikan kesehatan reproduksi masih dianggap tabu dalam keluarga sehingga kadang remaja justru mencari informasi di luar yang belum tersaring, faktor kemajuan teknologi komunikasi, dimana teknologi dan sosial media justru sering disalahgunakan pemanfaatannya, bukan untuk belajar tapi cari jodoh, situs pornografi, melakukan transaksi-transaksi yang ilegal seperti yang viral baru baru ini booking order dan sebagainya,” bener Asyraf.
Karena itu, dikatakan Asyraf, perkawinan anak tidak memberi dampak positif bagi semua pihak. Katanya, perkawinan usia anak menyebabkan hilangnya kesempatan bagi anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal.
“Ya Anak yang harusnya masih bermain dan belajar akhirnya terpaksa putus sekolah, bekerja dan mengurus rumah tangga. Belum lagi remaja putri yang akan melahirkan di usia anak berisiko mengalami perdarahan, kejang (pre-eklamsia) dan kematian akibat organ reproduksi yang belum siap untuk proses persalinan. Perkawinan usia anak juga berisiko terhadap stunting. Remaja putri yang harusnya masih memerlukan nutrisi penuh harus berbagi dengan bayi yang ada dalam kandungannya,” katanya.
Untuk itu, lanjutnta, dalam upaya pencegahan perkawinan anak, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah melakukan berbagai upaya promotif dan preventif antara lain melalui regulasi, advokasi dan KIE kepada stakeholder terkait, melakukan promosi di media massa, melakukan pengembangan dan penguatan jejaring melalui kerja sama dan mou dengan lintas sektor, lembaga masyarakat/organisasi kemasyarakatan, akademisi, dunia usaha dan media.
Asyraf menambahkan, upaya pencegahan perkawinan anak dan stunting harus dilaksanakan secara masif dan bersinergi agar diperoleh hasil yang optimal. Pihaknya berharap kedepan SMK Negeri 2 Pangkalpinang sebagai tempat anak-anak memperoleh pendidikan dapat mencetak alumni-alumni yang berkualitas dan pastinya terhindar dari perkawinan usia anak.
“Untuk itu, kami mengajak seluruh siswa dan guru di SMK Negeri 2 ini untuk bersama sama mendukung upaya pencegahan perkawinan anak dan stunting dengan terus mensosialisasikan informasi ini kepada remaja, orang tua dan keluarga agar angka perkawinan anak di bangka belitung terus menurun. Setop perkawinan anak,” tukasnya.(bond)
Editor : Putra Nalendra