Nasib Korea Selatan Tahun 2750

oleh -316 Dilihat
Made Sukma Wardana. (ist)

Oleh :

Made Sukma Wardana

(Praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri)

 

KILASBABEL.COM – Berdasarkan channel youtube Fuad Naim, setengah penduduk korea tinggal di Seoul dan sekitarnya (hanya di kota) sedangkan wilayah Korea lainnya terutama Korea Selatan sepi sehingga sekolah pun ditutup yang mengakibatkatkan harga di Seoul mahal.

Parahnya lagi masyarakat urban di Seoul sedikit niat untuk meneruskan keturunan sehingga ada ancaman penduduk Korea Selatan akan punah. Tingkat kelahiran warga Korea Selatan sangatlah rendah bisa mencapai 0 persen atau hanya 1,1 anak per wanita.

Riset yang dilakukan oleh Institut Brookings dan Majelis Nasional Seoul, jika saat ini populasi warga Korea sekitar 50,2 juta orang. Maka akan menurun drastis di akhir abad ini menjadi 20 juta orang saja, dan jumlah ini tidak dihitung dengan jumlah imigran yang datang ke Korea.

Hal ini diperparah dengan dengan usia menikah yang semula rata-rata pada usia 25 tahun, kini bergeser di usia 35 tahun. Jika tidak ada program serius dari pemerintah untuk menanggulangi masalah ini, tidak menutup kemungkinan orang asli Korea akan mengalami kepunahan pada tahun 2750.

Dapat dilihat adanya depopulasi ini menurut saya karena pengaruh pemerintah dan peluang perusahaan yang hanya ingin merekrut pegawai berfokus karir tanpa menikah. Di sisi pemerintah juga harga rumah yang sangat mahal dengan gaji yang hanya disediakan di kota-kota besar Seoul.

Kebijakan pemerintah yang menghapuskan peraturan perzinaan juga menjadi salah satu alasan. Kelayakan teknologi di Korea juga membuat kejahatan criminal terutama hidden camera berada dimana-mana yang menimbulkan efek depresi sehingga ketakutan menikah masyarakatnya.

Dilihat dari 2 alasan utama yakni takut mengurus anak dan faktor finansial. Dapat menjadi alasan kebijakan politik untuk menanggulangi depopulasi penduduk di Korea Selatan.

Solusi masalah politik finansial.

Korea Selatan bisa berkaca dari berbagai negara, yakni Singapura perihal masalah finansialnya. Untuk program skema bonus bayi ini, pemerintah Singapura menghabiskan anggaran sekitar US$ 13 miliar per tahun untuk meyakinkan warganya yang sibuk bekerja agar memiliki anak.

Mereka juga menawarkan setiap orang tua dana sebesar US$ 15 ribu untuk anak, insentif pajak, dan perpanjangan cuti hamil. Sedangkan di Korea Selatan programnya hanya menjanjikan mengurangi separuh biaya kuliah dan melemahkan persepsi bahwa gelar sarjana diperlukan untuk sukses.

Pemerintah Korsel harus penuh mendukung kegiatan peningkatan populasinya. Dengan adanya penerapan dari pemerintah Singapura yang memberikan insentif, warga Korea Selatan yang dulunya rajin bekerja bisa jadi akan memiliki penurunan etos kerja. Namun dampak positifnya pemerintahan Korea Selatan tidak akan mengalami depopulasi. Mungkin solusinya pemberian insentif bersifat cukup, tidak terlalu besar.

Solusi masalah peraturan hukum yang berlaku untuk meminimalisir ketakutan mengurus anak. Dari segi ketakutan, Korea bisa mengadopsi peraturan di Rusia, yang dimana pada 2007 pemerintah mencanangkan Conception Day setiap 12 September.

Langkah ini diharapkan dapat memberi waktu bagi karyawan untuk libur dari pekerjaan dan menghasilkan bayi. Tak hanya itu, bagi wanita yang beruntung melahirkan pada Hari Nasional Rusia, 12 Juni, akan mendapatkan lemari es, uang, bahkan mobil. Karena Korea Selatan terlalu memporsir waktu akibat peraturan yang ada.

Dampak positif dari penerapan peraturan ini pastinya akan peningkatan populasi di Korea, namun bisa jadi akan menurunkan eksistensi Korea sebagai negara teknologi yang sangat canggih, karena penurunan jam kerja dan motivasi kerja dari karyawannya sediri.

Bila dilihat peta persebaran umur usia produktif di Indonesia lebih banyak ketimbang di Korea. Pastinya niat Korea Selatan membuat peraturan boleh berzina dan legaliasi arbosi ada alasannya untuk kemajuan negara sesaat namun bukan jangka panjang.

Sedangkan di Indonesia, memikirkan jangka panjang, karena dengan membuat berbagai insentif kepada anak sekolah dan tingkat kehidupan yang layak, akan ada banyak rentang umur yang produktif. Walaupun perlahan namun lebih manusiawi dibandingkan menggejot masyarakatnya untuk bekerja dengan alasan peraturan yang begitu ketat.

 

Editor : Putra Nalendra

No More Posts Available.

No more pages to load.