Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Relasi pusat dan daerah tak jarang mengalami ketegangan. Ketegangan itu tampak pada personifikasi satu-dua kepala daerah versus pemerintah pusat. Pada 2018, Gubernur Kaltim menolak melantik Sekda hasil sidang TPA pemerintah. Kasus yang sama terjadi pada 2021 oleh Gubernur Papua, bahkan terbentuk dualisme pejabat sekda. Awal Desember 2022, Gubernur Sulteng menolak salah satu sekda terpilih yang ditetapkan presiden (Mercusuar Palu, 9 Des 2022).
Dalam konteks berbeda, ketegangan semacam itu merembes pula ke kabupaten/kota. Di level itu, titik tikai dipicu oleh ketakseimbangan alokasi dan distribusi sumber daya. Saat pandemi, beberapa kepala daerah menolak distribusi bantuan yang dipandang tak sensitif terhadap kebutuhan lokal. Alokasi pusat dinilai sepihak dan tak menghargai pendapat daerah hingga bantuan nyasar pada warga yang sama berkali-kali. Sementara banyak warga belum tersentuh. Tak sampai disitu, ketegangan terjadi pula antar lapis pemerintahan.
Ketegangan tampak lewat dialektika formal. Ambil contoh relasi antara Bupati Kepulauan Meranti dengan Gubernur Riau yang notabene wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam sebuah forum, Bupati bahkan memperlihatkan protes keras terhadap kebijakan pemerintah yang diwakili pejabat kementrian keuangan (Bantenraya.com, 10 Des 2022). Konon, sejarah ketegangan itu muncul deras pasca perubahan sistem politik otoriter ke demokrasi. Daerah mendapatkan momen paska reformasi.
Demokrasi memang bukan sistem terbaik. Namun hanya demokrasilah yang mampu menjanjikan kebebasan pada warganya untuk mengekpresikan pendapat, memberi peluang yang sama, serta membuka ruang yang lebar bagi partisipasi warga. Kita sulit menemukan hal itu dalam sistem otoriter, monarki, bahkan teokrasi yang penuh dogma dan batasan. Namun sebaik apapun prinsip itu bukan pula tanpa batasan. Agar kebebasan, persamaan, partisipasi, bahkan keadilan sebagai esensi pokok yang ingin dicapai tak saling bertabrakan, dibutuhkan sistem hukum sebagai aturan main yang disepakati bersama.
Di negara-negara demokrasi, ketegangan antar pemangku otoritas tak hanya terjadi secara vertikal, juga horisontal. Sebabnya relatif sama, soal pembagian kewenangan yang tak mencapai titik keseimbangan (equalibrium). Konflik kewenangan antara DPD dan DPR sebagai bagian dari bikameral MPR-RI pun tak kunjung usai. Realitas itu menunjukkan bahwa relasi antar dan inter institusi pemerintahan perlu ditata sebelum melahirkan preseden buruk, pembangkangan daerah dan masyarakat sipil secara masif.
Hubungan kewenangan sebenarnya telah diatur lewat rezim pemerintahan daerah. Malangnya, kewenangan tersebut seringkali diganggu dengan alasan kepentingan strategis nasional. Eksesnya, kewenangan daerah menyusut akibat resentralisasi. Penyusutan itu tampak di berbagai urusan seperti sumber daya mineral dan pertambangan. Undang-undang cipta kerja dan pertambangan umpamanya. Ironisnya, pembonsaian kewenangan kurang diimbangi alokasi dan distribusi sumber daya yang seimbang. Tak eloknya, daerah dipaksa mengemis kendati dari sanalah risorsis sumber daya itu bermula.
Akibatnya, daerah tak hanya kembali bergantung sepenuhnya pada isi perut pemerintah, juga terkesan dihisap sebagaimana praktik orde baru. Otonomi sesungguhnya pemberian diskresi yang luas dan bertanggungjawab guna mengatur dan mengurus rumah tangganya masing-masing. Gejala resentralisasi selain tak memperlihatkan konsistensi, juga meninggalkan problem kegagalan mengatur dan mengurus daerah. Tak ketinggalan menyisakan hutang-piutang akibat beban mekanisme demokrasi lokal yang sedari awal padat modal.
Rasanya penting mengurangi keretakan relasi pusat dan daerah dari dua isu utama di atas. Pada aspek politik dalam negeri, pemerintah perlu menata ulang alokasi pejabat karier setingkat sekda sesuai kebutuhan lokal. Di tingkat kabupaten/kota misalnya, nominasi sekda patut menjadi pilihan utama, kecuali berhalangan tetap. Dan itu cukup menjadi kewenangan gubernur. Sementara di tingkat provinsi sebagai daerah otonom sekaligus wilayah dekonsentrasi, alokasi pejabat sekda menjadi wewenang gubernur dan pemerintah. Disini perlu ditata prosedur yang jelas agar tak saling menolak hingga merugikan sekda terpilih. Bila mungkin, cukup calon tunggal yang diajukan sebagaimana birokrat militer dan kepolisian.
Sementara mekanisme dropping sebaiknya ditata kembali sesuai amanah pasal 18 ayat (4) UUD ’45. Selain daerah asimetrik, pilihan mekanismenya hanya dua, dipilih langsung atau oleh DPRD. Pola dropping selain menyalahi logika daerah otonom dimana kepala dan anggota dewannya dipilih, juga memperlihatkan bagaimana pengaturan penjabat di daerah terjebak dalam semangat UU 5/74 dimana semua sub entitas pemerintahan secara vertikal diasumsikan sebagai wilayah dekonsentrasi.
Terakhir, kesenjangan fiskal akibat perbedaan sumber daya sebenarnya telah di atur pula lewat rezim hubungan keuangan pusat dan daerah (UU No.1/2022). Secara teknis, tambahan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat menjadi strategi prioritas guna mengurangi ketidakseimbangan fiskal (fiscal imbalance). Dengan begitu, problem ketimpangan alokasi sumber daya dapat ditekan sejauh mungkin. Disini, fungsi formula tak hanya menciptakan stabilisasi, juga menyentuh esensi penting dari politik anggaran itu sendiri, yakni memenuhi harapan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Editor : Rakha