Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Diceritakan kembali oleh Jansen Sinamo dalam buku 8 Etos Keguruan (2002). Suatu ketika di masa lalu, bangsa binatang sakit hati karena dilecehkan bangsa manusia. Rasa direndahkan ini muncul setelah datang laporan dari Kucing, Anjing dan Sapi. Sebagai hewan peliharaan dan ternak, tiap hari mereka mendengar umpatan, makian dan sumpah serapah manusia dengan menggunakan nama binatang penuh nada emosi.
Untuk membuktikan sebaliknya, bangsa binatang bertekad meningkatkan peradaban mereka. Komite sekolah pun dibentuk. Setiap suku hewan diwakili oleh tetua yang dianggap paling bijak dalam komunitasnya. Saat mereka membahas kurikulum, Suku Burung mengusulkan pelajaran terbang harus ada. Suku Kelelawar menghendaki pelajaran teknik tidur dengan kepala di bawah. Adapun Suku Cicak menekankan perlunya pelajaran merayap di langit-langit.
Begitulah, dalam kurikulum sekolah binatang itu terdapat berbagai mata pelajaran yang sangat menarik seperti berkicau, berkotek, berenang, mendesis, mematuk, menerkam, melenguh, mengaum, menyelam, dan melompat. Semua itu digolongkan dalam kelompok pelajaran dasar. Di tingkat menengah, terdapat berbagai pelajaran yang lebih canggih seperti teknik pura-pura mati, kiat kreatif berganti kulit, menukik tanpa suara, dan membelit tanpa gejolak.
Di tingkat lanjutan, pelajaran mencakup ilmu-ilmu yang lebih hebat seperti pedoman metamorfosis, teknik menyembuhkan diri, jurus kawin sambil terbang, dan rahasia bernafas dalam lumpur panas. Juga diputuskan, bila putra-putri binatang itu tamat, setiap lulusan tingkat dasar akan mendapat gelar Pr (Prigel), alumni tingkat menengah diberi gelar Tr (Trengginas), dan jebolan tingkat lanjut berhak memakai gelar Pw (Piawai).
Mereka berharap alumni sekolah binatang akan lebih bergengsi, misalnya Bebek Peking Pr, Ular Beludak Tr, atau Tupai Pedidit Pw. Mereka tak mau kalah dengan bangsa manusia yang sangat bangga dengan gelar sekolah seperti BA, MA, atau Ph.D. Seperti manusia, mereka percaya bahwa bergelar bermakna sukses. Binatang juga ingin setara dengan manusia dan dihargai penuh martabat.
Tetapi setelah meluluskan 10 angkatan, sekolah binatang itu dibubarkan. Masalahnya, sekolah binatang dinilai gagal total. Gelar yang sempat diberikan pun dicabut. Semua gelar itu dianggap hanya banyolan gombal.
Apa gerangan sebab sejatinya? Binatang tak sanggup mengevaluasi. Pokoknya, sekolah dibubarkan karena hasilnya jelek. Begitu saja.
Namun karena bangsa Manusia suka meneliti maka diturunkanlah satgas pencari fakta. Tim inilah yang akhirnya berhasil menemukan sebab fundamental kegagalan itu. Kesimpulannya, sekolah itu gagal karena pada semua mata pelajaran setiap murid mendapat nilai minimal C. Kesimpulan ini diperoleh usai menganalisa sejumlah fakta empiris. Misalnya, dalam pelajaran berenang pun Ikan hanya dapat nilai C. Demikian pula nilai Rusa dalam berlari dinilai C saja.
Pokoknya setiap binatang hanya mendapat nilai C dalam kompetensi alamiah masing-masing. Anehnya, meskipun nilai mereka C di rapor, ketika di uji secara faktual di lapangan, kompetensi itu hanya pantas mendapat nilai E, alias tidak kompeten sama sekali. Bagaimana mungkin persekolahan merusak kompetensi alamiah anak-anak binatang itu?
Rupanya saat praktikum berenang, sayap Burung rusak parah sehingga ketika dipakai dalam praktikum terbang sayap itu tak berguna lagi. Namun Burung mendapat nilai C juga dalam terbang maupun berenang karena Ia tak pernah absen dan suka menolong teman. Ketika praktikum bernafas dalam lumpur berlangsung, sayap Kelelawar berpatahan sehingga saat Ia harus praktikum terbang malam, arahnya jadi ngawur dan suka menabrak pohon.
Namun begitu Kelelawar tetap mendapat nilai C dalam keduanya karena Ia selalu bersikap sungguh-sungguh dan hormat pada guru. Pokoknya, semua anak binatang mendapat nilai C dalam setiap mata pelajaran, bukan karena kompetensinya memang lumayan, tetapi soal-soal di luar itu. Fakta di balik rapor dan ijazah, semua lulusan sekolah binatang ternyata sama sekali tidak kompeten.
Mereka seharusnya diberi nilai D dan E saja. Salah satu buktinya, Ketika lowongan kerja untuk penerbang dibuka, dari 10 ribu burung yang melamar yang diterima hanya 12 ekor saja. Sesudah diterima pun, statusnya cuma pegawai honorer dengan gaji ala kadarnya untuk sekedar hidup dari bulan ke bulan. Inilah tragedi sekolah binatang hingga akhirnya dibubarkan.
Editor : Rakha