Oleh:
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Ibarat perusahaan mobil, pendidikan tinggi kepamongprajaan memproduk tiga jenis Pamong. Pertama, Pamong khusus yang di sebut Pamongpraja Muda. Basisnya masyarakat umum (freshman). Kedua, ASN yang akan di-upgrading agar punya standar yang sama sebagai Pamong. Basisnya PNS dan CPNS. Ketiga, Pamong Umum dengan basis birokrat maupun non birokrat. Tekanannya pada pengembangan ilmu pemerintahan (akademik).
Produk pertama ibarat membuat mobil sekelas Porsche, Lamborghini, Rolls Royce, Ferrari, Buggati, atau Mercedes Benz. Birokrat khusus itu pesanan user di lapangan, baik pemerintah pusat maupun daerah. Spesifikasinya pasti beda, speed-nya harus di atas kecepatan rata-rata mobil biasa, dapat berakselerasi di medan apa saja, serta mampu melaju/bekerja di bawah tekanan abnormal. Karena sifatnya khas, maka birokrat semacam itu edisinya terbatas, biasanya hanya 500-1.000 kader pertahun.
Produk kedua hasil upgrading dari basis CPNS dan PNS. Namanya Pendidikan Profesi Pamongpraja. Ibarat mobil yang laik jalan namun butuh sertifikasi agar kinerjanya punya standar yang sama sebagai pelayan masyarakat. Sertifikasi dimaksud tentu saja berkaitan dengan tiga kompetensi utama, yaitu teknis pemerintahan, manajerial, dan sosial empirik. Dengan begitu semua ASN punya semacam Standar Nasional Indonesia (SNI) bidang pemerintahan umum yang diperoleh lewat uji kompetensi jangka pendek.
Produk ketiga, sekolah pasca sarjana. Ibarat meningkatkan status mobil dari level biasa ke mobil multifungsi. Basisnya semua mobil yang setidaknya serumpun (sekelas). Outputnya agar para pembelajar dari berbagai kalangan paham bagaimana mengelola dan mengembangkan pemerintahan di level makro. Posisi ini menaikkan level keilmuan dari terapan pemerintahan ke level akademik pemerintahan (S2 dan S3).
Ketiga jenis produk itu tentu punya kelebihan dan kelemahan. Misalnya, produk pertama mahal harganya karena bisnis prosesnya sejak awal diseleksi dari bahan baku terbaik, mulai nilai standar, Computer Assisted Test (CAT) di atas rata-rata, test kesehatan, test psiko, hingga test penentuan terakhir (pantukhir). So, tak perlu heran bila keluaran jenis ini terbatas kuotanya dan kelihatan sedikit mewah. Sama dengan Akpol dan Akmil.
Kelebihan jenis kedua memang tak terlalu mahal, sebab bahan bakunya sudah ada, tinggal diperbaharui agar punya standar yang sama sesuai kebutuhan user. Misalnya, untuk menjadi camat butuh sertifikasi khusus di bidang pemerintahan. Maka semua mobil yang akan dipakai untuk kebutuhan itu tentu butuh semacam penyesuaian agar laik jalan. Kalau perlu mesin mobil yang tak sesuai di overhaul agar punya standar kompetensi yang sama dari tiga aspek di atas.
Kelebihan produk ketiga memberikan sentuhan ilmu pemerintahan bagi masyarakat umum. Dulu ilmu pemerintahan itu hanya ilmunya kaum elit birokrat di lingkungan kementrian dalam negeri. Sejak statusnya naik ke derajat akademik, setiap orang dapat belajar ilmu pemerintahan. Hal ini dipicu oleh perubahan paradigma pemerintahan yang tidak lagi sekedar government juga governance. Konsekuensinya, subkultur sosial dan ekonomi menjadi bagian dari makna pemerintahan selain subkultur kekuasaan.
Produk pembelajaran pemerintahan di level paska memungkinkan seseorang menjadi lebih universal melihat masalah pemerintahan. Kata Madjid (2004), semakin abstrak semakin pemimpin, semakin teknis semakin kuli. Jadi penyekolahan di level itu mengarahkan pembelajarnya menjadi lebih luas horisonnya. Tak heran bila basis dan orientasinya lebih ke pemerintahan umum seperti sekretaris jenderal (sekretaris umum), bukan sekretaris spesifik. Bila seorang politisi, setidaknya mampu melihat pemerintahan dalam konteks politik negara, bukan sekedar politik praktis.
Ketiga jenis produk di atas tentu diinisiasi oleh kebutuhan pemerintah. Lewat pendidikan semacam itu tercipta tak hanya aspek kognisi pemerintahan, juga yang paling penting aspek psikomotorik (keterampilan pemerintahan) dan afeksinya (mentalitas sebagai pemerintah yang baik). Pemerintahan yang baik tak hanya dicirikan oleh karakteristik good governance, juga oleh nilai-nilai kepamongprajaan seperti visioner, conducting, coordinating, peace making, residue caring, turbulence serving, magnanimous, statemanship, responsibility, fress ermessen, & omnipresence (Ndraha, 2002).
Lalu apa hasilnya di level praktis? User kebanyakan menggunakan Pamong karena banyak faktor. Salah satunya karena kompetensi sosial empiriknya. Kompetensi itu didukung akses vertikal maupun horisontal dalam negeri. Kemampuan membangun jaringan (the web government) memungkinkan terhubung kemana saja dan dengan siapa saja. Ini modal sosial dari ilmu berteman (socius) yang dilapisi spirit esprit de corps. Makanya setiap diperintah ke Jakarta, kata bupati tolong temuilah seniormu yang dirjen, sekjen, deputi dll.
Macam-macam perintahnya. Termasuk yang di pusat mau ke daerah. Tolong temui angkatanmu di daerah ini dan itu, selesaikan semua urusan. Tolong temui juniormu di badan ini dan itu. Itu semua modalitas sosial (social capital) dari basis pertemanan historis dan kokoh yang dimanfaatkan oleh para elit. Alumni sendiri justru menghindar untuk bertemu senior, seangkatan, apalagi junior. Rasanya sungkan dan malu.
One day, para elit di negeri ini rasanya akan butuh Pamongpraja, setidaknya untuk menyelesaikan hal-hal yang buntu. Disitu butuh komunikasi, dan yang punya keterampilan komunikasi ke atas dan ke bawah kebetulan ada di Pamong. Hal ini tak dapat dihindari, apalagi dicemburui. Itulah keunggulan produk negara yang sengaja didesain founding fathers hingga sekarang. Ketiga jenis produk itulah yang kita nikmati hari-hari ini. Maka ibarat iklan AXIS, tak ada kamu rasanya hidup ini nggak lengkap!
Editor : Rakha