KILASBABEL.COM – Ratusan tahun aktivitas pertambangan mineral di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, masih menyisakan ribuan hektar lahan kritis. Upaya penanaman telah dilakukan, yakni akasia, cemara sengon laut, jambu mete, karet, jeruk, alpukat, hingga kelapa hibrida. Namun, tidak semuanya mampu memulihkan ekosistem, nilai sosial-budaya, serta ekonomi hutan seperti semula.
Mengutip dari mongabay.co.id, Jumat (10/2), Penelitian Oktavia et al. [2014] menyatakan, penanaman akasia [A. mangium] dan jambu mete [A. occidentale] di beberapa lokasi di Belitung, tidak menunjukkan keanekaragaman yang tinggi. Hanya didominasi jenis tersebut, bahkan sulit dijumpai rumput di permukaan tanah.
Terbaru, tumbuhan sapu-sapu [Baeckea frutescens L.], yang tumbuh subur di Bangka Belitung, menjadi harapan baru pemulihan lahan pasca-tambang. Sekaligus, memberikan alternatif ekonomi masyarakat melalui pengembangan minyak atsiri.
“Sudah saatnya, masyarakat Bangka Belitung tidak hanya mengandalkan timah, alih profesi menjadi petani atsiri sapu-sapu,” kata Letjen TNI Purn Doni Monardo, Komisaris Utama MIND ID, saat mengunjungi padang sapu-sapu di Desa Air Batu Buding, Kabupaten Belitung, Jumat (27/1) lalu.
Komitmen ini diwujudkan dalam Program “Pengembangan Potensi Minyak Atsiri” Kolaborasi CSR Group Mining Industry Indonesia [MIND ID], sebuah BUMN Holding Industri Pertambangan Indonesia beranggotakan PT. ANTAM Tbk., PT. Bukit Asam Tbk., PT. Freeport Indonesia, PT. Inalum [Persero], PT. Timah Tbk., dan PT. Vale Indonesia.
“Apapun jenisnya, suatu saat mineral akan habis, termasuk timah. Jangan sampai masyarakat tidak memperoleh apa-apa dari aktivitas penambangan, yang hampir 100 persen menimbulkan luka pada kulit bumi,” lanjut Doni, penerima gelar doktor kehormatan [doctor honoris causa] dari IPB University, berkat komitmennya pada isu lingkungan hidup.
Masyarakat Bangka Belitung umumnya belum tahu tumbuhan sapu-sapu bisa disuling menjadi minyak atsiri berharga mahal. Perkiraan Doni, untuk 1 ton pohon sapu-sapu bisa menghasilkan sekitar 10 liter minyak atsiri, dengan harga per liter berkisar Rp 300.000.
“Artinya ada potensi pendapatan sebesar tiga juta rupiah, untuk 1 ton bahan baku. Namun, harga pastinya masih terus dikaji. Bagi masyarakat, jika difokuskan nilainya bisa lebih tinggi daripada menambang timah,” terangnya.
Ketua Dewan Atsiri Indonesia, Irdika Mansur, mengatakan petani sapu-sapu di Bangka Belitung tidak perlu khawatir.
“Sebab, ada pengusaha yang siap menampung atau membeli,” katanya.
Penjabat [PJ] Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Ridwan Djamaluddin mendorong penelitian dan pendampingan masyarakat untuk pengolahan minyak atsiri. Budidaya akan difokuskan pada 123.000 hektar lahan kritis di Bangka Belitung.
“Kami akan membentuk unit pengelola, bantuan ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik. Kami juga akan melibatkan generasi muda, agar ikut memanfaatkan peluang besar ini,” lanjutnya.
Sebagai informasi, paket bantuan pengembangan minyak atsiri terdiri dari; mesin penyulingan [distilasi] berkapasitas satu ton, pembangunan instalasi, pembangunan tempat mesin penyulingan, gudang penyimpanan, motor gerobak, modal kerja hingga pelatihan bagi masyarakat. Semuanya akan didistribusikan ke enam kabupaten dan satu kotamadya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Potensi obat dan minyak atsiri
Di luar Bangka Belitung, tumbuhan sapu-sapu bernama jungrahab, ujung atap [Kalimantan], atau si gamei-gamei [Minangkabau]. Tumbuhan semak berkayu dengan tinggi 4-6 meter ini, masuk suku Myrtaceae [pelawan, kernuduk, dsb.], yang tersebar luas di Asia Tenggara hingga Australia [Bean, 1997].
“Sapu-sapu sangat cocok untuk revegetasi lahan pasca-tambang, tumbuh dari dataran rendah hingga perbukitan. Batang dan ranting kuat serta daun kecil seperti jarum, semua itu bentuk adaptasi di lahan ekstrim, miskin hara dan pH rendah [masam],” kata Tri Lestari, peneliti dan dosen Agroteknologi Universitas Bangka Belitung.
Dalam penelitian Ito et al. [2016], sapu-sapu umum dimanfaatkan masyarakat sebagai obat tradisional untuk influenza, malaria, demam, sakit kepala, sakit perut, dan disentri. Bahkan, 12 senyawa yang terkandung mampu menjadi antibakteri, bahkan membunuh 50 persen sel kanker [payudara, pankreas, dan paru].
“Namun, untuk dibuat menjadi obat yang diproduksi massal, harus melalui proses panjang karena harus melalui berbagai macam uji seperti toksisitas dan klinis,” kata Khoirun Nisa, seorang peneliti, dikutip dari situs resmi BRIN [Badan Riset dan Inovasi Nasional].
Bagaimana minyak atsiri? Menurut Tri Lestari, yang selama ini meneliti potensi minyak atsiri pada sejumlah tumbuhan lokal Bangka Belitung, bagian tanaman sapu-sapu yang diambil untuk minyak atsiri biasanya daun segar.
“Disuling lalu hasilnya dipisahkan dari aquades untuk melihat rendemannya,” katanya.
Untuk budidaya, umur panennya lama karena proses dari benih menjadi bibit. Butuh waktu satu tahun, agar bibit berkembang sempurna.
“Sebaiknya mencari teknik budidaya lebih cepat, misalnya kultur jaringan. Bibit yang sudah dipindahkan ke lahan, diberikan pupuk organik dan anorganik seimbang, karena yang mau dipanen adalah daun segar seperti tanaman teh,” lanjutnya.
Menurut Irdika Mansur, tercatat 173 tanaman [termasuk sapu-sapu, cengkih, lada, serai wangi], bisa diekstrak jadi minyak atsiri.
“Nilai ekspor minyak atsiri sebagai esensial oil mencapai 10 triliun Rupiah per tahun. Indonesia tiga besar dunia, bersaing dengan India dan China,” katanya.
Harapan
Berdasarkan pengamatan Mongabay Indonesia, tumbuhan sapu-sapu tersebar dalam jumlah luas, terutama di kawasan hutan kerangas, di utara dan Pesisir Timur Pulau Bangka, dan hampir di semua pesisir Pulau Belitung. Persebaran ini sejalan dengan peta ecoregion hutan kerangas Sundaland di situs oneearth.org.
Menurut Eddy Nurtjahya, peneliti biologi dari Universitas Bangka Belitung, kawasan padang sapu-sapu merupakan bagian hutan kerangas.
“Namun menyepakati Whitten et al. [2000], itu berasal dari hutan kerangas terdegradasi.”
Dalam High Conservation Value Toolkit Indonesia [2008], hutan kerangas harus dipertahankan dalam kondisi alaminya dengan zona penyangga minimal satu kilometer, seminimal mungkin kegiatan dilakukan di sana.
Direktur Walhi Kepulauan Bangka Belitung, Jessix Amundian berharap, program pengembangan tumbuhan sapu-sapu jangan hanya berorientasi ekonomi.
“Utamanya adalah mengembalikan ekosistem hutan semula, khususnya hutan kerangas yang terdegradasi. Padang sapu-sapu yang tumbuh liar di Bangka Belitung sedang berproses menuju hutan kerangas, karenanya pengembangan minyak atsiri harus dilakukan bijak,” tegasnya.
Editor : Leona