Jabatan Profesor, Untuk Apa?

oleh -551 Dilihat
Dr. Muhadam. (ist)

Oleh :

Dr. Muhadam Labolo

(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)

 

KILASBABEL.COM- Gejala menumpuk jabatan di akhir hayat secara psikologis berhubungan dengan post power syndrom. Semacam krisis kejiwaan manusia di ujung kuasa. Seseorang tak ingin kehilangan pengaruh dan harga diri. Maslow (1908-1970) menjustifikasi sebagai refleksi atas hirakhi kebutuhan yang tak jarang meloncat brutal dari level terendah (physiological needs) ke level puncak, penghargaan (esteem needs) dan aktualisasi diri (self-actualization).

Apakah gejala itu di dorong oleh motivasi kekurangan (deficiency motivation) ataukah motivasi perkembangan (growth motivation), tentu perlu di teliti oleh para psikolog. Sejujurnya, dalam realitas politik gejalanya muncul ketika seseorang terpilih menjadi politisi kawakan dengan segudang jabatan. Tak berapa lama tiba-tiba di sergap penegak hukum. satu hipotesis mengatakan, beberapa diantaranya terlalu lekas mencapai menara aktualisasi diri sekalipun perut dalam keadaan lapar. Berbeda dengan Piramidal Maslow.

Guru besar (profesor) adalah jabatan tertinggi dalam dunia akademik. Para pendidik di perguruan tinggi normalnya merangkak dari asisten ahli. Untuk sampai di level itu butuh keseriusan luar biasa lewat tiga matra, mengajar, meneliti & mengabdi di lapangan. Di level struktural, jabatan tertinggi yang setaraf di sebut sekjen & dirjen. Di militer dan kepolisian, pangkat tertingginya dibilang jenderal. Namun ketika pensiun semua jabatan & pangkat itu selesai, alias tidak digunakan lagi. Namanya purnawirawan, purna tugas atau purna bakti.

Bisa dimaklumi ketika bertemu MS Grindle & John W Creswell yang populer sebagai rujukan metode penelitian dunia di sebuah webinar, beliau tak melabeli jabatan profesornya. Kalaupun jabatannya diperpanjang tergantung kebutuhan perguruan tinggi. Lazim disebut profesor emeritus. Hanya di Indonesia yang masih melekat sampai pensiun, bahkan sampai di batu nisan agar selaras dengan peribahasa klasik, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama (title), walau bukan itu maksudnya.

Dalam kasus seorang pejabat bergelar profesor bermakna ia diberi tambahan jabatan fungsional (kehormatan). Tanggung jawab akademiknya tak mengikat, meski tak pernah masuk kelas & meneliti seumur hidup. Mungkin cukup konsisten di lapangan praktikum dengan kriteria sumir. Sejauh ini di Kementrian Dikti berkembang dua isu, pertama memberi kebebasan perguruan tinggi mengangkat sendiri gubes. Konsekuensinya, intervensi kekuasaan dan kapitalisasi rektorat rentan terjadi. Jabatan itu dapat dikompromikan untuk siapa.

Kedua, mengangkat seseorang pada jabatan tersebut sesuai pilihan konsentrasinya. Apakah profesor pengabdian (mungkin para paktisi), profesor pengajaran (karena profesinya mengajar seumur hidup), atau profesor penelitian (meneliti seumur hidup). Kedua isu itu walau telah berkali-kali dirapatkan sebagai konsekuensi logis kampus merdeka belum juga diputus Mendikbudristek. Mungkin saja akan lebih murah meriah.

Politisasi jabatan fungsional telah berlangsung sejak para eksekutif masuk ke ranah perguruan tinggi. Sebutlah mantan petinggi polisi, militer, bahkan jaksa aktif. Politisi pun tak ketinggalan, antri masuk seperti beberapa anggota dewan di Senayan. Ada pilihan jalur reguler dan kehormatan, tergantung kuat tidaknya koneksi dan afiliasi perguruan tinggi. Asal lolos disitu mudah di dikti, cukup dengan kekuasaan. Beda dengan pendidik karir, walau lolos di senat belum tentu lancar di dikti. Mereka tak punya kuasa.

Fenomena ini terasa berbeda di barat. Mereka puas jika mencapai jabatan tertinggi di profesi dan jabatan karier yang digeluti. Misalnya artis, olahragawan, seniman, jenderal, profesor riset dan lainnya. Di sini, orang baru puas jika semua jabatan tertinggi di struktural, fungsional, militer, kepolisian, kejaksaan, politisi dan sebagainya dapat diemban sekaligus. Eksesnya tak ada legacy spesifik yang ditinggalkan. Jenderal Eisenhower hebat bukan semata pernah menjadi presiden, rektor dan manajer perusahaan, tapi berada di tengah desingan peluru saat perang dunia kedua.

Rhoma Irama, bila pergi pasti semua orang paham akan meninggalkan warisan lagu dangdut yang fenomenal. Itu contoh profesi yang digeluti lebih dari separuh hidupnya. Sepantasnya Ia mendapat gelar doktor & profesor kehormatan untuk musik dangdut dari American University Hawai pada 2005. Dosen pasti akan meninggalkan ilmu dalam bentuk buku, hasil penelitian dan pengabdian. Tentara dan polisi akan meninggalkan sejarah di medan tugasnya. Bukankah para jenderal seperti Soedirman di kenang bukan karna berdiri di depan papan tulis, tapi mengangkat bedil di medan tempur.

Dalam sejarah, para pembaharu di kenang bukan karna hadir di kelas, tapi memperjuangkan idiologi bangsa seperti Soekarno dan Hatta. Jenderal Polisi Hoegeng di kenang bukan karna berdiri berjam-jam di hadapan mahasiswa, tapi melindungi masyarakat dengan kejujurannya. Jaksa Baharuddin Lopa, Hakim Bismar Siregar, Benjamin Mangkoedilaga dan Alkostar populer bukan karena meneliti & mengajar bertahun-tahun, tapi mampu menegakkan hukum di tengah gempuran suap & tekanan rezim otoriter. Itu semua legacy untuk anak bangsa. Lalu untuk apa para pejabat sibuk memburu jabatan profesor?

 

Editor : Rakha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.