Tanggung Jawab Civil Servant

oleh -405 Dilihat
Dr. Muhadam. (ist)

Oleh :

Dr. Muhadam Labolo

(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)

 

KILASBABEL.COM – Gouldner dalam Thompson (1967) melihat administrasi dalam dua perspektif utama, yaitu sistem alamiah dan rasionalitas. Alamiah, karena administrasi tumbuh dalam realitas sosial dimana-mana. Rasional, sebab administrasi adalah upaya sadar mencapai tujuan tertentu. Administrasi dalam linguistik latin menunjuk kata ad-ministrare, bermakna to serve, melayani.

Kata ministrare berkaitan dengan minister. Akar kata minister mengandung serabut minis, artinya less, kurang. Maknanya, orang yang melayani (servant) memiliki posisi lebih rendah di banding mereka yang dilayani. Jadi konsep administrasi sebetulnya menunjukkan relasi yang melayani dan yang dilayani tak setaraf. Ketidakseimbangan itu menimbulkan disharmoni civil servant dalam pelayanan.

Dalam relasi spiritual, konsep ministry adalah Tuhan yang dilayani (zat tertinggi). Dengan demikian pelayanan bukanlah proses exchange yang didasarkan oleh rasionalitas semata, melainkan supra-rasional (transedental). Disini, sikap pelayan cenderung berserah diri pada Tuhan atas kehendakNya yang terbaik (Ndraha, 2002). Dalam hubungan ini pula kita menyebut para pelayan sebagai hamba (servant).

Masalah seringkali muncul disini. Ketika administrasi diterapkan, birahi kuasa dominan muncul pada mereka yang memerintah terhadap yang diperintah. Tuhan sangat sering dibajak dan disubstitusi oleh mereka yang berkuasa. Gejala itu tampak pada birokrasi klasik Weber (1864-1920). Administrative body menjadi unsur terkuat dalam relasi dengan kelompok buruh, bawahan dan pelayan.

Relasi tak sebanding itu sering dimanipulasi oleh penguasa untuk kepentingan tertentu, dengan dan atas nama Tuhan. Dalam sistem demokratik relatif berbeda. Tujuan dirumuskan dan ditetapkan bersama. Untuk mencapainya dibentuk lapisan birokrasi fungsional. Dapat dipahami mengapa Jokowi mengaktifkan reformasi birokrasi dengan tekanan pada aspek fungsional dibanding cara kerja birokrasi jadul (government 2.0).

Fungsionalisasi birokrasi memperlihatkan pembagian tugas yang berkorelasi dengan service sebagai tugas server (the player who puts the ball or shuttlecock in play). Disini tujuan dan cara bersepadu sebagaimana kata Ordway Tead dalam The Art of Administration (1951). Dalam pemerintahan dikenal pula seni pemerintahan (governmentality). Jadi kebijakan yang kompleks butuh seni agar efektif.

Fungsionalisasi birokrasi bertujuan memanusiakan civil servant sesuai keunggulan kompetitifnya masing-masing. Tanpa upaya ke arah itu birokrasi selamanya bersembunyi di zona nyaman (comfortable zone). Dalam kompetisi semacam itu akuntabilitas lahir tak hanya bersifat formalistik, juga etik dan moral. Formalitas untuk memenuhi ukuran-ukuran rasional birokrasi yang telah ditentukan.

Etik dan moral berkaitan dengan tanggungjawab administrasi secara alamiah. Melayani pada dasarnya melakukan perbuatan baik untuk orang lain. Semakin sering melayani semakin besar peluang kebaikan terberikan. Bila kebaikan itu dipercaya semata-mata adalah perintah Tuhan, maka seorang civil servant pada hakekatnya sedang melayani Tuhan dalam bentuknya yang paling konkrit.

Dalam kaitan itulah tanggungjawab civil servant diperuntukkan, sebagaimana bakti manusia pada Tuhan yang dimanisfestasikan lewat pelayanan terhadap sesamanya (Kleden, 2022). Tuhan tak memberikan langsung legitimasi kecuali pada sekelompok manusia terpilih (Suseno,1998). Merekalah yang menjalankan pemerintahan guna melayani sesamanya. Tentu saja civil servant adalah bagian dari pemerintahan itu.

 

Editor : Rakha

No More Posts Available.

No more pages to load.