Oleh :
Rudiyansah, SP
(Kepala Bagian Perekonomian Setda Kabupaten Bangka)
KILASBABEL.COM – Revolusi digital yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia dan Bangka Belitung khususnya telah memaksa dunia usaha melakukan transformasi, yakni transformasi dari pola-pola lama, beralih kepada pola-pola baru sebagai respon atas tuntutan perubahan dan persaingan.
Penggunaan teknologi semakin meningkat, dan muncul banyak pekerjaan, kompetensi dan keahlian baru yang mendisrupsi sektor ketenagakerjaan. Disrupsi tersebut mencakup pertama, resesi perekonomian dan berkurangnya lapangan kerja paska pandemi. Kedua, era otomatisasi yang datang lebih cepat akibat tidak terbendungnya laju digitalisasi. Oleh karena itu, diperlukan transformasi pada sektor ketenagakerjaan.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada prinsipnya merupakan wilayah yang strategis dari sisi pengembangan ekonomi nasional. Dengan segala potensi sumber daya alam yang dimilikinya, provinsi yang berjuluk Negeri Serumpun Sebalai ini menjadi bagian penting dalam mengejar pertumbuhan investasi nasional sehingga akan bersinggungan dengan bagaimana eksistensi bidang ketenagakerjaannya dalam mendukung segala kebijakan pemerintah.
Sebagai bahan informasi untuk dapat melihat kondisi ketenagakerjaan di Bangka Belitung, kita perlu mengulas sedikit bagaimana kondisi demografi daerah ini sehingga dapat dijadikan sebagai input dalam menentukan kebijakannya. Jumlah pendudukan Provinsi Kepulauan Babel tahun 2021 berdasarkan data BPS adalah 1,47 Juta Jiwa. Jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan. Hal tersebut tercermin pada rasio jenis kelamin sebesar 106. Komposisi penduduk masih didominasi oleh usia produktif (15-65 tahun) sehingga terdapat BONUS DEMOGRAFI pada era sekarang ini.
Bonus demografi tersebut tentu berkaitan erat dengan bagaimana dinamika ekonomi dunia saat ini, yang tentunya akan berdampak pada arah pengembangan ekonomi Bangka Belitung. Sebagai sedikit rujukan, World Economic Forum (WEF) dalam The Future of Jobs Report 2020 memperkirakan di dunia akan ada 97 juta pekerjaan baru yang tumbuh bersamaan dengan 85 juta pekerjaan yang akan berkurang. Di Indonesia termasuk di Bangka Belitung sendiri, sebagaimana dilaporkan McKinsey, diprediksi akan ada 23 juta jenis pekerjaan yang terdampak oleh otomatisasi puluhan juta pekerjaan baru yang muncul dalam kurun waktu tersebut.
Dalam Revolusi Industri 4.0, penggunaan teknologi yang semakin meningkat dalam segala aspek kehidupan membuat pekerjaan menjadi sangat fleksibel baik secara waktu maupun tempat, sehingga pekerjaan tidak lagi harus dikerjakan dari kantor dengan jam kerja yang monoton. Perubahan ini mempercepat transformasi ketenagakerjaan yang terus bergerak ke arah Revolusi Industri 4.0.
Permasalahan
Pada tahun 2021, penduduk berumur 15 tahun ke atas di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebanyak 1.121.078 orang. Dari jumlah tersebut, 65,88 persen merupakan angkatan kerja dan sisanya bukan angkatan kerja. Sedangkan lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja terbanyak yaitu sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.
Bonus demografi sebagaimana penjelasan sebelumnya adalah masa dimana penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan lebih besar dibanding usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dengan proporsi lebih dari 60% dari total jumlah penduduk. Bangka Belitung saat ini memasuki era bonus demografi, di mana penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan usia tidak produktif. Jika bonus demografi ini dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah, kondisi ini akan menjadi modal penting untuk membangun dan menuju 100 tahun Indonesia merdeka pada 2045. Namun, jika tidak dikelola dengan baik dapat menjadi bumerang dan menjadi beban bagi negara termasuk daerah.
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional memiliki empat tujuan utama, yaitu pendayagunaan angkatan kerja, pemerataan kesempatan kerja, perlindungan tenaga kerja, dan peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Pencapaian keempat tujuan tersebut harus selalu dimonitor dan dievaluasi secara berkesinambungan. Kementerian Ketenagakerjaan menggunakan Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) untuk mengukur keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan nasional melalui pengukuran di setiap provinsi di Indonesia. Hasil pengukuran Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan (IPK) Tahun 2021 menunjukkan bahwa capaian IPK Nasional berdasar data tahun 2020 sebesar 61,33 atau turun 6,31 poin dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 67,64. Dengan IPK sebesar 61,33, maka Status Pembangunan Ketenagakerjaan Nasional menjadi status “Menengah Bawah”.
Berdasarkan IPK Nasional yang diterbitkan Kemennaker, dalam penghitungan terakhir tahun 2020, Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berada di peringkat ke-30 dari 34 provinsi. Atau dari peringkat ke-7 dari 8 provinsi dengan urusan ketenagakerjaan kecil. Masalah utama sudah kita temukan di penjelasan paragraph ini.
Dari 9 Indikator Utama yang diukur dalam indeks pembangunan ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ada 5 diantaranya masuk kategori baik (>=5), sedangkan 4 Indikator Utama lainnya masuk kategori belum baik (< 5). Indikator Utama yang masuk kategori baik adalah Perencanaan Tenaga Kerja, Penduduk dan Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja, Pengupahan dan Kesejahteraan Pekerja, Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Indikator Utama yang memiliki indeks tertinggi adalah Kesempatan Kerja sebesar 7,89. Sedangkan Indikator Utama yang memiliki indeks terendah adalah Hubungan Industrial. Dengan Indeks Komposit sebesar 47,84% kinerja pembangunan ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2020 dalam Status Rendah dan turun dibandingkan dengan status pada tahun sebelumnya. Pada tahun ini Provinsi Kepulauan Bangka Belitung nilai indeksnya turun dan peringkatnya menurun dari peringkat ke-15 menjadi peringkat ke-30. Status Pembangunan Ketenagakerjaannya mengalami penurunan dari Menengah Atas ke Rendah. Di regional Pulau Sumatera, Indeks Pembangunan Ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di urutan ke-9 dari 10 provinsi.
Mengacu pada kondisi yang terjadi dan dinamika Bangka Belitung saat ini, dunia ketenagakerjaan di kedepannya menghadapi beberapa permasalahan yang harus dihadapi dan disikapi.
MASALAH PERTAMA yang dihadapi adalah kualitas angkatan kerja. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya porsi angkatan kerja yang merupakan lulusan universitas di Bangka Belitung. Kualifikasi tenaga kerja secara agregat yang masih rendah menjadi tantang utama dalam mengejar produktivitas dan juga untuk menghadapi era autamasi dan revolusi industri 4.0.
MASALAH KEDUA yang dihadapi pada bidang ketenagakerjaan yakni penempatan dan perluasan kesempatan kerja. Babel saat ini tengah menghadapi tantangan meningkatnya jumlah pengangguran terdidik.
Setidaknya bisa diinterpretasikan dalam dua hal. Pertama, telah terjadi mismatch antara sistem pendidikan dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Luaran dari pendidikan khususnya SMK dan Universitas temyata tidak menemukan lapangan pekerjaan tersedia yang cocok sehingga menyebabkan pengangguran. Kondisi lainnya, pendidikan yang mereka miliki overqualified untuk pekerjaan yang tersedia. Kedua, ekspektasi. Lulusan Universitas dan SMK sebagai angkatan kerja terdidik dan terlatih memiliki ekspektasi yang lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA, SMP, dan SD melihat lapangan kerja yang tersedia.
Ketidakcocokan antara bidang pendidikan dengan jenis pekerjaan yang melanda Bangka Beitung membuat lulusan SMK dan Universitas cenderung untuk menjadi pengangguran. Lain halnya dengan lulusan berpendidikan lebih rendah yang ekspektaanya tidak setinggi lulusan SMK dan Universitas dan mau mengisi lapangan pekerjaan yang tersedia terlepas dari pendidikannya.
MASALAH KETIGA yang dihadapi yakni terkait dengan hubungan industrial. Era digital dan automasi telah mengubah cara bisnis dan industri beroperasi, mengelola, serta mengorganisasikan sumber daya yang dimiliki. Transformasi yang terjadi bahkan tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Pola komunikasi dan komunikasi dalam masyarakat juga berubah seiring dengan semakin berkembangnya sosial media dan semakin murahnya akses komunikasi.
Hal ini tentu saja berdampak pada hubungan industrial baik antara pekerja dengan pemberi kerja ataupun pekerja dalam berserikat. Pertama, terkait dengan skema hubungan kerja yang berkembang seperti kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan swasta seperti transportasi online dengan Skema yang menempatkan pengemudi sebagai mitra, tidak sebagai pekerja, menjadikan beberapa aturan terkait hak tenaga kerja/buruh menjadi tidak relevan. Contoh lain, kita bisa melihat, freelance-freelance di Babel yang bekerja tidak sebagai pekerja tapi hanya sebagai mitra. Padahal mereka memiliki potensi dan kompetensi. Tidak ada unsur upah dan perintah dalam hubungan antara penyedia aplikasi dan pengemudi transportasi online sehingga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak berlaku. Hal ini memiliki implikasi pada potensi konflik yang tidak terwadahi oleh peraturan yang ada misal terkait penentuan tarif dan hal lainnya yang menjadi hak dan kewajiban antar pihak. Permasalahan pola hubungan kerja model baru ini memperumit tantangan hubungan industrial ketenagakerjaan.
MASALAH KEEMPAT yakni terkait pengawasan tenaga kerja. Perkembangan model pekerjaan melalui perkembangan industri digital menghadirkan tantangan yang besar dalam pengawasan ketenagakerjaan model hubungan kerja dalam ekonomi digital yang sedang berkembang seperti model kemitraan, freelancing, dan pekerjaan berbasis online lainnya sangat sulit untuk di data dan diawasi oleh pihak terkait.
Tantangan pengawasan berikutnya adalah terkait dengan tenaga kerja asing. Permasalahan pengawasan Tenaga Kerja Asing (TKA) terutama menyangkut jumlah pengawas yang tidak sebanding dengan jumlah TKA yang diawasi. Contoh, TKA yang jumlahnya cukup banyak di kapal-kapal isap milik konsorsium membuat pengawasan jadi sangat sulit sebab belum seimbangnya jumlah pengawas dengan tenaga kerja asing tersebut. Oleh karena itu, upaya pengawasan perlu ditingkatkan untuk meminimalkan potensi pelanggaran.
MASALAH KELIMA yang dihadapi yakni kewirausahaan penduduk usia kerja yang rendah di Bangka Belitung. Rendahnya angka jiwa kewirausahaan terlihat dari porsi angkatan kerja bekerja yang berusaha sendiri lebih kecil angkatan kerja yang bekerja sebagai pegawai. Tantangan selanjutnya yang dihadapi yakni terkait dengan peningkatan keahlian dan produktivitas tenaga kerja. Salah satu indikator yang mengukur bakat Sumber Daya.
Masalah KEENAM, Yakni bagaimana Pemerintah daerah mampu mereduksi respon negatif kaum pekerja termasuk di Bangka Belitung terkait tindak lanjut Undang-Undang Cipta Kerja yang kemudian telah ditindaklanjuti pemerintah pusat dengan Perppu Cipta Kerja.
Upskilling
Kompetensi dan fleksibilitas kerja menjadi poin utama. Tenaga kerja di Bangka Belitung ke depan dituntut untuk menguasai perkembangan teknologi dengan soft skills yang memadai. Kreativitas, inovasi dan kewirausahaan akan menjadi poin penting bagi perkembangan dunia usaha ke depannya.
Selain itu, diperlukan kolaborasi dalam hal pengembangan pelatihan vokasi dalam bentuk Triple Skilling yakni skilling, reskilling dan upskilling bagi pekerja, optimalisasi pemagangan berbasis jabatan, peningkatan soft skills, perubahan kurikulum dan metode yang berfokus pada human digital online, penggunaan metode blended training, serta kolaborasi dengan semua stakeholders, terutama pelaku industri untuk menciptakan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Kondisi Bangka Belitung usai Pandemi menimbulkan dinamika yang sangat besar, baik dari segi kesehatan maupun perekonomian. Tidak sedikit perusahaan atau industri yang terkena guncangan ekonomi dan berakibat ada yang bertahan, namun ada juga yang terpuruk, mengakibatkan tingkat pengangguran dan kemiskinan bertambah.
Di sisi lain, Pandemi yang lalu harus dilihat sebagai sebuah peluang untuk merefleksikan dan mengoptimalkan kebijakan ketenagakerjaan. Hal tersebut tentu berkaitan erat dengan bagaimana manajemen perencanaannya. Mengacu pada dokumen Rencana Strategis (Renstra) Dinas Tenaga Kerja Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2017-2022, yang saat ini sedang proses transisi ke Renstra 2022-2027, penulis menyimpulkan beberapa solusi strategis.
Pertama, meningkatkan kualitas dan kompetensi angkatan kerja berbasis kewirausahawan dan ekonomi kreatif. Hal ini diwujudkan dengan memberdayakan peran Dinas Tenaga Kerja melalui bidang terkait maupun UPTD Balai Latihan kerja, dengan mengintervensi rendahnya indeks pebangunan ketenagakerjaan. Program Intervensi dilakukan bukan hanya melatih skil dan kemampuan, tapi juga bagaimana pemerintah daerah mampu menyalurkan mereka ke lapangan pekerjaan yang baik dan layak serta memberikan bekal kewirausahawan untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi. Hal ini harus diwujudkan dengan melakukan review dan memformulasikan kembali kurikulum pelatihan di satker terkait.
Terkait peran penting pelatihan kerja, meningkatkan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja dengan pelaksanaan program BLK Komunitas adalah program relevan yang harus diupayakan ke depan. BLK Komunitas ini merupakan unit pelatihan kerja yang didirikan di lembaga pendidikan keagamaan atau lembaga keagamaan non pemerintah yang bertujuan untuk memberikan bekal keterampilan teknis berproduksi atau keahlian vokasi sesuai kebutuhan pasar kerja dan bagi komunitas masyarakat sekitamya. Dengan keberadaan BLK Komunitas ini diharapkan setelah mendapat bekal keterampilan berproduksi atau keahlian tertentu tersebut kepada angkatan kerja agar dapat berwirausaha atau mencari kerja. Di samping bantuan training keahlian, program BLK Komunitas ini juga memberikan bantuan kepada lembaga penerima bantuan berupa pembangunan unit gedung workshop, peralatan pelatihan, operasional kelembagaan. instruktur, dan pengelolaan BLK.
Selain memperhatikan aspek kualitas angkatan kerja, Dinas Tenaga Kerja juga harus mengadaptasi perlindungan sosial untuk mencerminkan pola kerja yang berubah. Perlindungan sosial adalah kunci untuk menavigasi multi-transisi masa depan pekerjaan. Kebijakan perlindungan sosial di saat krisis dan kondisi normal, dapat terus diperkuat dengan mendorong dialog sosial untuk menghasilkan skema perlindungan yang terbaik, tepat dan inklusif. Aspek ini akan berkaitan erat dengan bagaimana peran Pemerintah Provinsi Kepulauan Babel melalui Dinas Tenaga Kerja yang ke depannya akan dititipkan amanat oleh pemerintah pusat untuk mendiseminasikan UU maupun Perppu Cipta Kerja.
Kedua, mempersiapkan kaum muda yang lebih baik untuk transisi dunia kerja. Dalam mempersiapkan generasi muda yang lebih baik dan berkualitas, kita menyadari pentingnya peningkatan keterampilan dan daya saing bagi kaum muda. Hal ini sebagai upaya untuk membawa kaum muda yang masih berstatus NEET (not in employment, education and/or training) ke pasar tenaga kerja, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan.
Ketiga, mewujudkan kesetaraan gender di dunia kerja. Dengan memajukan kesetaraan gender akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Keempat, mengeksplorasi penerapan wawasan perilaku dalam rangka merumuskan kebijakan pasar tenaga kerja yang kuat. Pasar tenaga kerja saat ini sangat dipengaruhi oleh tren global yang harus diatasi dengan inovasi berbasis bukti untuk membentuk kebijakan yang tepat di tingkat nasional dan internasional. Behavioral Insight mengkolaborasikan peran pemerintah, masyarakat dan dukungan teknologi informasi sehingga dapat menjadi salah satu metode alternatif dalam perumusan kebijakan.
Sasaran pembangunan jangka menengah menurut RPJMN 2020-2024 adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan di berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.
Sasaran tersebut selaras dengan tujuan pembangunan ketenagakerjaan sebagaimana yang tertuang dalam UU 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan antara lain: (i) pendayagunaan angkatan kerja nasional, (ii) pemerataan kesempatan kerja, (iii) perlindungan tenaga kerja, serta (iv) kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Dengan melakukan transformasi angkatan kerja yang berbasis kewirausahaan dan ekonomi kreatif secara terpadu dan berkelanjutan, maka diharapkan sumber daya manusia di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung semakin berdaya saing. Semoga!
Editor : Rakha