KILASBABEL.COM – Aroma tak sedap sudah tercium sejak berada di ujung gang. Bau pesing dicampur kondisi lembab. Di sinilah warga Kampung Rawa, Johar Baru berlindung. Lokasinya tak jauh dari Istana Negara.
Berjejer pakaian warga dijemur di pinggir jalan. Sepanjang Kali Sentiong, warga mendirikan sepetak bangunan permanen. Sudah puluhan tahun mereka tinggal di sana.
Gang yang hanya muat satu motor jadi tempat warga beraktivitas. Sepanjang jalan, berbagai perabotan rumah tangga mejeng di jalan umum akses warga. Dapurnya pun berada di luar rumah. Aroma kali sentiong yang tampak kotor menambah suasana lingkungan Warga Kampung Rawa makin tak nyaman.
Seorang ibu paruh baya tampak sedang memasak di depan pintu rumahnya. Beberapa baju digantung di atas dapurnya.
Ika (35), bercerita, ia sudah tinggal di sini sedari kecil. Kini, ia berdagang nasi goreng. Harganya Rp15 ribu untuk satu piring.
Ika mengatakan, ia tinggal berenam bersama dua orang tuanya, adiknya, dan dua anaknya. Kurang lebih, untuk biaya mengontrak dan listrik juga air memakan biaya Rp1,5 juta tiap bulan.
“Rumah saya mah sempit. Nih lihat saja. Pas ini buat tidur biar harus desak-desakan pas tidur. Di bawah kalau saya tidurnya, orang tua di atas, adik sama anak saya juga,” kata Ika sambil membukakan pintu rumahnya.
Rumah Ika hanya seluas sekitar 3×3 meter persegi. Rumahnya dipenuhi beberapa toples dan perabotan rumah lain seperti lemari, televisi, serta speaker. Terlihat juga anaknya yang sedang tidur di lantai dengan kaki ditekuk.
Lebih lanjut, Ika berujar, Presiden Joko Widodo kerap mengunjungi kawasan Tanah Tinggi. Terakhir, Ika melihat Jokowi membagikan sembako.
“Dia kan naik mobil. Saya lihat dari sini. Saya enggak dapat. Lihat saja dari sini di lempar-lempar,” kata Ika.
Selain Jokowi, Ika mengaku tak pernah ada pejabat yang mengunjungi kawasan rumahnya itu, termasuk Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi dan Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 Anies Baswedan.
Ika melanjutkan, meskipun kawasan rumahnya kecil, masih ada maling di daerah situ. Ia mengungkapkan, tetangganya pernah kehilangan gas dan sendal.
“Makanya sekarang (gas) dirantai. Sendal jepit saja hilang. Kalau kulkas ditenteng-tenteng kan berat sudah keburu diteriakin maling,” cerita Ika.
Ika berharap, Pemprov DKI memberikan sedikit perhatian kepadanya. Sebab, ia tak pernah mendapatkan bantuan kecuali saat pandemi Covid-19.
“Kalau lihat orang dapat bantuan saya suka sedih. Semenjak kita nikah, KTP Jakarta, tapi enggak pernah dapat apa-apa,” ujar Ika.
Tidur di Luar
Tak jauh dari rumah Ika, tepatnya di kawasan kumuh Tanah Tinggi, Johar Baru. Terdapat 14 RW dan 196 RT. Ratusan warganya juga hidup miskin dan penuh keprihatinan.
Yos (60), seorang manula tak berhenti menyeka wajahnya. Dia tak kuasa menahan tangis. Menceritakan betapa sulitnya hidup di ibu kota.
Tinggal di sebuah bedeng. Berukuran sempit, sekitar 2×3 meter. Dia tinggal bersama, suami, anak dan dua cucunya bertumpuk-tumpukan setiap hari.
Suaminya bahkan tak kebagian tempat tidur. Saban malam tidur di luar, bergulat dengan dinginnya angin malam. Yos sudah tinggal di Tanah Tinggi selama 20 tahun.
“Kalau saya nggak tidur, saya sakit. Saya sudah tua sudah 60an (tahun). Saya nggak bisa kalau mikirin rumah,” katanya lirih sambil terus mengusap air mata yang jatuh di pipinya.
Penderitaannya bertambah jika musim hujan. Bermodal bak dan baskom di atas rumah, Yos berharap rumahnya tak kebanjiran karena bocor. “Nunggu sampai hujan berhenti baru saya bisa tidur,” imbuhnya.
“Kalau sakit? Ya…” ujar Yos tak mampu melanjutkan kata-katanya dan terus menangis.
Suami Yos berprofesi sebagai tukang ojek. Namun, belum lama ini, ia mengalami kecelakaan yang membuat penghasilan mereka berkurang.
Suaminya menolak diobati. Selain karena tak punya biaya, Dia juga tak ingin pengobatannya menjadi beban.
“Saya kasih uang Rp10 ribu ke cucu saya buat sekolah, jajan, ongkos, kan jauh ya di Mardani. Dia bilang buat Engkong saja kan habis jatuh, tapi dia (suami Yos) enggak mau ke Puskesmas, mungkin takut dijahit,” sambung Yos.
Untuk kehidupan sehari-hari, Yos mendapatkan uang dari berdagang. Jika ramai, ia bisa meraup keuntungan sampai Rp300 ribu. Cucu-cucunya juga membantu mencari uang. Sehabis sekolah, mereka pergi mengamen atau menyemir sepatu.
“Untung negeri sekolahnya. Enggak bayar, ada guru yang kasihan. Saya beras itu dapat dari Gereja sini. Mereka suka ngasih saya uang. Waktu itu cucu lagi nyemir, dikasih uang Rp50 ribu disuruh pulang sampai dianterin pakai mobil,” katanya.
Sudah tinggal ditempat sempit, Yos juga tak bebas biaya hidup. Dia perlu merogoh kocek Rp20 ribu per dua minggu untuk listrik. Lalu, Rp2 ribu tiap mandi di MCK umum. Sebab, rumahnya tak ada ruang untuk kamar mandi.
“Bantuan sama sekali saya enggak terima. Bantuan kalau apapun saya terima berarti itu rezeki saya. Saya cuma pengen rumah itu enggak bocor,” imbuh Yos.
Untuk mampir ke rumah Yos, lokasinya berada di Jalan Baladewa. Dari Halte Transjakarta Galur, jaraknya sekitar 700 meter ke arah Rumah Susun (Rusun) Tanah Tinggi yang terletak di Jalan Baladewa.
Akses jalan yang sempit. Lebar jalan tak merata. Ada yang bisa dilalui sepeda motor. Ada jalan yang cuma bisa dilewati pejalan kaki.
Bentuk bangunan masing-masing rumah tak sama. Ada tanah petakan, ada juga yang memanjang. Bahkan, ada satu rumah yang berada di tengah-tengah celah bangunan yang lain.
Ketua RT 15 RW 03 Hamdani mengisahkan rumah Yos yang sempit itu. Awalnya, tanah itu hanya sebuah selokan.
“Itu aslinya got. Mereka koordinasi dengan pihak rumah susun dan diperbolehkan, orang lama juga. Pada awalnya bedeng-bedeng ada tiga,” cerita Hamdani.
Dia mengatakan, terdapat 97 KK aktif di daerah tersebut. Kebanyakan warganya itu bekerja serabutan.
“RT 15 yang padat. Pada kerjanya serabutan, cat mobil di Kemayoran, kuli bangunan, ngamen, apa saja,” kata Hamdani.
Hamdani melanjutkan, warga di sini cenderung tak mampu melanjutkan pendidikan karena keterbatasan ekonomi. Namun, akhir-akhir ini warganya sudah mulai mampu membiayai anak-anaknya sampai ke bangku SMA.
Tak hanya jenis pekerjaan yang diturunkan ke anak cucu, pemilik bangunan di sini juga turun temurun. Meskipun demikian, Hamdani mengakui, ada beberapa bangunan tak permanen yang dijadikan tempat tinggal.
Janji Pemprov DKI
Pemerintah provinsi (Pemprov) DKI mengklaim akan menata lima kawasan kumuh di Ibu Kota. Salah satu wilayah yang pasti akan ditata adalah Tanah Tinggi.
Hal ini merupakan tindak lanjut setelah Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi menyoroti permukiman kumuh di Kecamatan Johar Baru, Kelurahan Tanah Tinggi, Jakarta Pusat.
“Iya (Tanah Tinggi) itu salah satu (yang akan ditata). Salah satu titiknya itu. Iya (sudah direncanakan),” kata Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, di Jakarta Timur, Kamis (23/3).
Di kesempatan yang sama, Asisten Pembangunan Sekda DKI Jakarta Afan Adriansyah mengatakan, terdapat empat wilayah lain yang akan ditata. Maka, ujar Afan, akan ada lima kawasan yang ditata.
Namun, Afan tak merinci di mana lima kawasan yang akan ditata tersebut. Ia juga tak mengungkapkan kapan penataan ini akan dilakukan.
“Memang ada beberapa yang akan kita tata, lima wilayah. Tapi list-nya (daftarmya) nanti kita cek lagi,” ucap Afan.