KILASBABEL.COM – Yunus [73], petani padi ladang di Desa Pangkalniur, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, resah, hasil panennya terus menurun.
“Satu hektar lahan hanya menghasilkan 200-300 kilogram padi kering, padahal sebelumnya bisa 1-3 ton,” katanya, melansir dari mongabay.co.id, Jumat (14/4).
Selama ratusan tahun, masyarakat Desa Pangkalniur berladang padi di “Sunur”, sebuah lanskap hutan rawa yang terhubung dengan perairan Teluk Kelabat. Mereka adalah keturunan Suku Maras, yang menetap di bagian Barat kaki Gunung Maras.
“Sunur merupakan permukiman awal kami, sebelum pindah dan menetap di Desa Pangkalniur, sekitar lima kilometer dari Sunur. Sejak dulu, kami hidup dari berladang dan melaut di Teluk Kelabat,” lanjut Yunus.
Ada 125 kepala keluarga [KK] di Desa Pangkalniur yang luasnya 90 hektar. Tahun lalu, tersisa tiga orang yang membuka ladang untuk menanam padi, total tiga hektar.
“Banyak warga berhenti berladang karena hasil panen menurun. Banyak hama tikus, burung, dan monyet,” ujarnya.
Penyebab lain, pola hujan makin tidak menentu. Menurut Yunus, masa tanam padi ladang, mulai membersihkan lahan hingga proses nugal [menanam padi], harus dilaksanakan saat kemarau, sekitar Mei-Juni.
“Beberapa tahun belakangan, hujan masih turun saat kemarau. Ini membuat tanah menjadi “mentah” atau terlalu lembab. Dampaknya, padi tidak tumbuh sempurna bahkan mati,” jelasnya.
Masuri, petani ladang di Desa Pangkaliniur, mengeluhkan lahan padinya yang terendam, akibat pasang air laut hingga kawasan Sunur.
“Perisitiwa ini terjadi lima tahun terakhir. Mungkin karena mangrove atau hutan di pesisir kian tergerus penambangan timah dan perkebunan sawit,” jelasnya.
Suku Mapur di Dusun Air Abik, yang turun temurun berladang di sekitar kaki Gunung Pelawan, terkenal dengan beragam kearifan dalam sistem berladang [Cholillah, 2017], mengalami hal serupa.
Asih, Ketua Lembaga Adat Mapur, di Dusun Air Abik, mengatakan, dalam 10 tahun terakhir hasil panen padi ladang menurun. Pada Januari 2023 lalu, satu hektar lahan hanya mampu menghasilkan 300 kilogram padi, padahal dulunya 3-4 ton.
“Serangan hama makin parah. Semua karena hutan tergerus. Kami percaya, hutan berfungsi sebagai penahan berbagai penyakit, termasuk hama,” lanjut Asih.
Sebelumnya, dari total 150 KK di Dusun Air Abik, semuanya aktif berladang. Kini, hanya belasan orang di lahan seluas 10 hektar.
“Banyak yang beralih menanam sawit atau menambang timah. Kami khawatir tidak ada lagi yang meneruskan tradisi behume,” tegas Asih.
Tradisi behume
Menanam padi ladang, umum dilakukan masyarakat Melayu di Bangka Belitung. Ini bagian dari “behume”, tradisi berkebun yang telah dilakukan masyarakat ratusan tahun.
Berbeda dengan “kelekak” yang dikhususkan buah-buahan, behume untuk beragam tanaman pangan, terutama padi serta umbian-umbian, keladi, dan labu.
“Meskipun kena hama dan banyak rugi kami tetap melakukannya. Ini penting, agar benih padi tidak lenyap,” kata Yunus.
Adapun jenis-jenis padi lokal di Bangka Belitung adalah padi balok, mayang madu, mayang pasir, kedebok, grintil, mukot, payak, pulot putih, dan pulot item.
Mustikarini et al., [2019] dalam buku “Plasma Nutfah: Tanaman Potensial di Bangka Belitung” menyatakan ada 26 aksesi atau jenis padi lokal di Pulau Bangka, sedangkan jenis Padi Tingkik ditemukan di Pulau Belitung.
Menurut Yunus, setiap jenis padi punya karakter unik, misalnya padi balok yang cepat panen [tiga bulan], sedangkan padi mayang madu 5-6 bulan, namun tahan terhadap cuaca. Dari segi pemanfaatan juga berbeda, padi payak khusus ketan, sedangkan padi pulot sebagai bahan tapai.
“Saat penanaman, orangtua kami menyarankan menebar semua benih padi acak, karena setiap jenis punya kekurangan dan kelebihan. Biasanya, ada 3 jenis berbeda dalam satu lubang,” lanjutnya.
Pentingnya tradisi behume juga tercermin dari berbagai upacara adat sebagai ungkapan rasa syukur serta doa agar dilancarkan hasil panen kedepannya. Misalnya, sedekah kampung, ritual taber gunung, hingga ritual nujuh jerami oleh Suku Mapur yang diakui sebagai warisan budaya tak benda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sejak 2015.
“Jika hasil panen terus menurun dan warga berhenti menanam padi, tradisi behume beserta upacara adat akan hilang,” tegas Asih.
Krisis pangan
Merujuk DIKPLHD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2022, luas lahan ladang mencapai 601.351,49 hektar, sedangkan lahan sawah [irigasi] mencapai 4.705,22 hektar. Sementara menurut BPS 2021, luas lahan padi di Bangka Belitung mencapai 18.749,18 hektar, dengan total produksi padi 69.720,93 ton.
Mengutip kompas.com, pada 2018, Bangka Belitung pernah berada pada posisi kelima dari 12 provinsi dengan indeks kerentanan pangan di bawah rata-rata nasional. Namun, tahun 2021, Bangka Belitung berhasil keluar dari posisi tersebut.
Meski demikian, mengutip bangkapos.com, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan tahun 2022, menyatakan produksi beras di Bangka Belitung hanya mampu mencukupi 30 persen kebutuhan beras daerah.
Peneliti Agroteknologi dari Univerisitas Bangka Belitung [UBB], Gigih Ibnu Prayoga mengatakan, meskipun produksi padi ladangnya rendah, mereka tetap berperan penting mendukung ketahahan pangan masyarakat tingkat desa di Bangka Belitung.
“Terlebih, padi ladang bagian tradisi behume. Jika dikembangkan kolektif dan masif, membantu ketahanan pangan di Bangka Belitung,” lanjut Gigih, dosen sekaligus Ketua Jurusan Agroteknologi UUB.
Beragam jenis padi lokal Bangka juga memiliki adaptif terhadap iklim, hama, dan tanah.
“Hanya saja, perubahan iklim mengancam kualitas dan kuantitas padi ladang, misalnya padi ladang bangka dengan batang tinggi dapat roboh saat terkenan angin kencang. Curah hujan berlebih, dapat meningkatkan serangan hama, penyakit, dan memperburuk kualitas tanah [lembab], karena padi ladang cocok di tanah kering,” ujarnya.
Saat ini, tim peneliti Agroteknologi UBB mengembangkan varietas baru padi gogo asal Bangka yaitu PBM UBB 1, yang umur panen lebih pendek, serta beberapa calon varietas baru.
Editor : Putra Nalendra