Benang Merah Ritual Adat dengan Eksplorasi Perikanan di Babel

oleh -221 Dilihat
Sejumlah nelayan mengangkut hasil tangkapan mereka di sekitar pesisir Tuing, yang juga banyak terdapat larangan melaut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia Mongabay Indonesia

KILASBABEL.COM – Sebagai provinsi kepulauan, masyarakat Bangka Belitung tumbuh dan berkembang dengan budaya bahari. Ini dibuktikan dengan beragam tabu atau larangan serta ritual yang eksis hingga saat ini.

Jika di Pulau Bangka ada taber atau sedekah laut, di Belitung ada buang jong. Semuanya mengandung nilai konservasi [Sartini, 2012] dan secara umum mirip “sasi” [Lestari and Satria, 2015] yang terkenal efektif dalam pengelolaan konservasi di perairan Timur Indonesia.

Mengutip dari laman mongabay.co.id, Sabtu (15/4), Selamat [53], pemimpin ritual taber laot di Desa Batu Bariga, Bangka, mengatakan meskipun berbeda nama, semua ritual terkait laut punya larangan melaut tiga hingga tujuh hari. Tujuannya, memberi waktu “istirahat” bagi laut beserta ekosistemnya, sehingga kedepannya mendapat tangkapan berlimpah.

“Kita jangan serakah. Ikan, cumi, dan semua makhluk hidup di laut harus kita hormati dan butuh istirahat. Setahun penuh mereka sudah memberi berkah bagi manusia,” ujar Selamat yang tahun lalu memimpin Taber Laot di Desa Batu Bariga.

M. Rizza Muftiadi, peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung, mengatakan beragam ritual laut memiliki potensi besar mendukung skema konservasi pemerintah.

“Namun, sejauh ini dimaknai sebagai atraksi wisata. Padahal, ada nilai-nilai yang bisa diintegrasikan dengan tujuan atau skema konservasi laut pemerintah,” katanya, Sabtu [08/04].

Menurut Rizza, adanya larangan tidak melaut ini memiliki dampak posistif bagi ekosistem laut di Bangka Belitung.

“Harus didukung berbagai penelitian terkait dampak ritual terhadap ekosistem terumbu karang, mangrove, sumber daya ikan, dan sebagainya,” jelasnya.

Konsep refugia perikanan

Tahun 2022, Kementerian Kelautan Perikanan [KKP] melalui Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan [BRPSDI], merekomendasikan konsep “Refugia Perikanan Cumi-cumi [Urotheutis chinensis] di Perairan Bangka” sebagai upaya pemulihan stok yang menerapkan integrasi antara pengelolaan stok dan perlindungan habitat.

Refugia perikanan diartikan sebagai “Wilayah laut atau pesisir yang ditentukan secara spasial dan geografis, dengan penerapan manajemen khusus untuk mempertahankan spesies penting [sumber daya perikanan] selama tahap-tahap kritis dalam siklus hidupnya, untuk penggunaan berkelanjutan” [UNEP, 2007].

Dalam manuskrip akademiknya, potensi kawasan refugia berada di sepanjang perairan Pulau Bangka yang berhadapan dengan Selat Karimata dan Laut Natuna Utara. Luasnya mencapai 1.529.097,9 hektar.

“Hasil analisis potensi area refugia cumi-cumi Bangka belum mempertimbangkan adanya tumpang tindih pemanfaatan perairan sebagai kawasan tambang timah lepas pantai,” tulis dokumen tersebut.

Namun, berdasarkan hasil analisis prioritas area, hanya 1 kluster kawasan yang direkomendasikan, luasnya mencapai 157.668,35 hektar. Areanya meliputi habitat pemijahan seluas 148.087,08 hektar [Gugus Karang Jagur di Sungailiat, dan perairan Utara Tuing] dan habitat asuhan seluas 9.581,27 hektar [Gugusan Karang Jagur, Pesisir Tuing-Riau Silip, hingga Pesisir Belinyu].

Sebagai informasi, Cumi-cumi jenis U.[P.] chinensis dari Pulau Bangka, atau dikenal sebagai “Cumi Bangka” merupakan jenis terbaik di pasar ekspor.

Sejalan

Berdasarkan penelusuran Mongabay Indonesia, lokasi potensi refugia cumi-cumi di perairan Bangka, sejalan dengan titik sebaran masyarakat adat yang masih melaksanakan ritual, atau pantangan laut.

Misalnya, perairan Utara Pulau Bangka [Pesisir Tuing-Pejem dan pulau-pulau kecilnya] yang sejak dulu terkenal berbagai pantang larang, serta wilayah sakralnya. Selanjutnya perairan Pulau Semujur, Pulau Gusung Asem, hingga pesisir Lubuk Besar dan Tanjung Berikat, yang terhubung sebagai perairan adat Pulau Gelasa.

Cik Jali, tokoh adat di Dusun Tanjung Berikat, mengatakan, penentuan ritual taber laot di Pulau Bangka, terkait siklus hidup perikanan, khususnya cumi-cumi, karena menjadi tangkapan penting.

“Taber laot sering dilaksanakan kisaran Mei-Juni. Ini sejalan puncak musim cumi-cumi di laut Tanjung Berikat-Pulau Gelasa. Adanya larangan, agar cumi-cumi dapat bertelur di bulan berikutnya,” jelasnya.

Sementara buang jong di Kabupaten Belitung, diadakan ketika musim angin barat, Agustus-November [Saepuloh, 2019]. Ini sesuia analisis naskah akademik refugia perikanan cumi-cumi, yang menyatakan bahwa di Perairan Bangka Belitung, “U.[P.] chinensis memijah dua kali setahun dalam kelompok besar [schoolingU.[P.] chinensis. November 2021 merupakan musim pemijahan,” tulisnya.

Menurut Rizza, lanskap ritual taber laot di Bangka Belitung tersebut dapat dijadikan wilayah prioritas konservasi atau refugia perikanan, khususnya cumi-cumi.

“Lama waktu larangan ritual, tentu masih bisa disesuaikan dengan sistem buka tutup yang mungkin akan diterapkan dalam konsep refugia perikanan cumi-cumi di Perairan Bangka,” tegasnya.

No More Posts Available.

No more pages to load.