KILASBABEL.COM – Bagi masyarakat Indonesia, Lebaran identik dengan perayaan yang diiringi suara takbir dan pukulan bedug. Namun, bagi Muhammad Mufid, mahasiswa asal Indonesia yang berada di Sudan, ia merayakan Lebaran diiringi suara tembakan dan bom.
“Malam yang harusnya takbiran, malah ada bom, tembakan, dan sebagainya. Suara masjid tidak ada. Listrik enggak ada, masjid enggak ada yang bunyi. Di sana enggak ada orang keliling bawa obor, enggak ada yang teriak sahur,” kata Mufid kepada BBC News Indonesia.
Mahasiswa jurusan Studi Islam itu mengatakan bahwa ia sempat tinggal dalam satu apartemen bersama dengan 10 orang lainnya. Di tengah konflik yang berlangsung, mereka tidak bisa keluar untuk membeli bahan makanan untuk berbuka puasa.
Makanan yang ada pun harus mereka hemat dan berusaha untuk memakannya sebelum membusuk. Sebab, selama delapan hari, kulkas mati karena listrik padam dan air terbatas.
“Apa yang masih ada di hemat-hemat. Mi instan, beras pun kita harus irit. Karena kalau habis kita mau beli ke mana? Toko-toko pada tutup, entah untuk menjaga diri sendiri dulu, takutnya berkepanjangan,” ungkapnya.
Mufid kini berada di Jakarta setelah dievakuasi bersama dengan 385 WNI lainnya.
Sambil menunggu teman-temannya yang hendak membeli nasi padang bersama, sebuah hidangan yang sudah lama ia tidak cicipi, Mufid mengingat kembali suasana di kampusnya saat konflik bersenjata memuncak di negara itu.
“Pagi itu tiba-tiba ada banyak tembakan-tembakan seperti itu. Dan itu kita enggak tahu asalnya dari mana. Tiba-tiba sudah mulai membesar, sudah makin kacau, karena situasi, kata Mufid.
Ia mengatakan bahwa kampusnya diliburkan demi keselamatan para mahasiswa. Khalayak diminta untuk tinggal di dalam karena pertempuran terjadi di jalanan dan ruang-ruang publik.
Bahkan, saat itu ia terkadang tidak bisa mengabari kedua orangtuanya di Semarang, Jawa Tengah, tentang kondisinya di Sudan. Sebab, internet dan listrik terbatas di dalam apartemennya.
“Kami sampai lupa hari, sampai lupa tanggal, sudah enggak memikirkan besok hari apa, tanggal berapa. Tapi seingat saya delapan hari dalam kondisi tanpa air, tanpa listrik, dengan stok makanan terbatas,” kata Mufid.
Mendengar suara tembakan dan jet tempur lewat sudah menjadi seperti “makanan sehari-hari” bagi Mufid yang sempat kesulitan tidur karena khawatir akan pertempuran yang terjadi di luar sana.
“Suara tembakan, suara bom. Itu yang bikin kami kalau tidur pun enggak tenang. Takutnya bom jatuhnya ke kita. Tiap menit itu pasti ada suara, entah tembakan, entah suara misil, entah suara jet, helikopter,” jelasnya.
Suatu saat, menjelang buka puasa, ia memberanikan diri untuk pergi bersama seorang teman untuk membeli bahan makanan di pasar. Namun, tak disangka, ia hampir terjebak dalam baku tembak antara dua kelompok tentara yang bermusuhan.
Belum selesai bayar, tiba-tiba mobil tadi, balik arah dengan kecepatan tinggi. Di belakangnya itu seakan-akan ada orang yang nembakin mereka. Jadi mungkin lawannya kelompok itu. Semua yang di pasar langsung tiarap.
Pedagangnya lagi bungkusin, saya lagi mau ngasih uang. Jadi kami tiarap dalam keadaan ketawa. Karena masih hidup! Mungkin karena sudah kena mental ya, katanya sambil tertawa.
Seminggu pisah sama anak, di rumah saya menangis
Nur Alipah merupakan seorang pekerja migran yang sudah bekerja dan tinggal di ibu kota Khartoum, Sudan, selama delapan tahun. Di sana ia bertemu dengan suaminya dan melahirkan anak perempuan yang kini sudah berusia lima tahun.
Ia dan keluarganya berencana pulang Mei 2023, namun ternyata mereka harus pulang lebih cepat karena konflik senjata yang berlarut-larut.
Sabtu (15/4) pagi itu ada suara-suara, saya pikir petasan. Saya pikir begitu karena demo, demo di sana sudah biasa. Tahu-tahunya ada suara bom. Dan pesawat itu dari rumah majikan saya dekat banget. Ya Allah, takutnya minta ampun, ungkap Nur Alipah.
Ketakutannya yang terbesar adalah jika peluru-peluru yang melayang di luar rumah majikannya itu suatu saat salah sasaran.
“Setiap hari, tiap detik [dengar tembakan]. Kalau ada bom takutnya minta ampun. Takutnya nyasar, peluru kebanyakan nyasar. Rumah-rumah pada kena, katanya.
Bos pabrik tempat suaminya bekerja, menawarkan lokasi mengungsi bagi beberapa karyawan dan keluarga mereka. Nur Alipah dan suaminya sempat tinggal di sana, sementara anak mereka dititipkan kepada pengasuh yang membawanya ke luar Khartoum, ke kota Atbara.
Selama ia hidup di Sudan, ia tidak menyangka harus berpisah dengan anaknya akibat perang yang berlangsung di negara tersebut.
“Seminggu pisah sama anak. Di rumah saya menangis, bagaimana caranya jemput anak? Dari sini dengar bom sama tembakan. Tapi di sana dia aman di Atbara, malah di Khartoum saya terperangkap, kata Nur Alipah sembari menatap anaknya yang tengah bermain di perosotan di Jakarta, tempat mereka mengungsi sementara.
Setelah delapan hari terpisah, akhirnya Nur Alipah dan suaminya diberi kesempatan untuk evakuasi bersama dengan ratusan WNI lainnya. Sedemikian gentingnya situasi saat itu, mereka hanya sanggup membawa baju yang melekat di kulit mereka dan badan mereka sendiri.
Makanya kita buru-buru evakuasi, biar selamat. Yang penting kami selamat dulu, kalau masalah barang ditinggal semua. Cuma baju ini, tiga biji sama badan, kata Nur Alipah.
Sebelum pergi ke titik berkumpul di pusat kota, tempat yang ditetapkan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Khartoum untuk memulai proses evakuasi, Nur Alipah dan suaminya menjemput anak mereka di Atbara sebelum meninggalkan Sudan.
Walaupun pengasuhnya baik sekali, dia tidak bisa tidur tanpa saya. Jadi alhamdullilah di jalan keluar ambil anak. Dijemput di jalan.
Saya pegang dan pangku dia sepanjang perjalanan.
Perjalanan panjang kembali ke Indonesia
Baca juga:
WNI di Sudan kemungkinan dievakuasi ‘apabila keadaan memburuk’ akibat kudeta militer yang berlanjut aksi protes
Riwayat dua jenderal yang bertikai di jantung konflik Sudan
Apa yang terjadi di Sudan: Perang bintang paramiliter dan militer yang mengakibatkan nyaris 100 tewas dan ribuan luka-luka
Muhammad Mufid, mahasiswa asal Indonesia yang menempuh studi di Sudan, mengatakan bahwa ia dan para WNI naik bus dari Khartoum menuju Port Sudan dalam perjalanan yang seharusnya berdurasi 12 jam. Namun, karena beberapa hambatan di jalan, beberapa bus membutuhkan waktu lebih lama.
Setiap perbatasan daerah itu ada penjagaan. Lalu kadang ada yang harus dihindari, ada macet dan sebagainya. Beberapa bis itu lebih dari 12 jam, termasuk bus saya. Berangkat jam 10 pagi sampai sana jam 7 pagi. Berarti itu 21 jam, kata Mufit.
Sepanjang perjalanan, Mufit merasa takut. Meskipun saat itu Sudan sedang berada dalam kondisi gencatan senjata, mereka tetap menerima intimidasi di setiap pos pengecekan.
Yang bikin agak takut memang di beberapa perbatasan masih ada tentara yang pasti cek busnya, isinya siapa saja, paspor ada atau enggak. Sambil bawa senjata [senapan] AK47. Terus ada tank di perbatasan itu sering. Itu setiap pos, setiap perbatasan, jelas Mufid.
Kemudian, setelah turun bus, mereka tinggal semalam di sebuah penginapan Port Sudan, sebelum diberangkatkan dengan kapal ke Jeddah, Arab Saudi.
“Ada ribuan orang, enggak dari negara kita saja. Dari macam-macam negara. Ada dari Mesir, Suriah, semua, ujar Nur Alipah. Ia merasa bersyukur karena bisa bersama suami dan anaknya saat itu.
Sesampainya kapal itu di Jeddah, para penumpang disambut hangat oleh tentara Arab Saudi yang memberikan mereka permen dan minuman. Mufid mengaku sudah merasa lega sejak sampai di penginapan di Port Sudan, namun ia baru merasa puncak kebahagiaannya saat sampai di Jeddah.
“Mereka bilang, selamat datang di negara ini, anggap saja negara sendiri. Kalian tenang aja di sini, kalian aman. Terus dikasih air, dikasih bendera Saudi. Sudah seperti ketemu teman sendiri, kata Mufid sambil tersenyum.
Selanjutnya, para WNI diinapkan di sebuah hotel oleh KJRI Jeddah yang bekerja sama dengan KBRI Khortoum untuk mengevakuasi WNI. Keesokan harinya, mereka terbang ke Indonesia pukul 15.40 Waktu Sudan dan sampai di Indonesia pukul 06.45 WIB pagi.
“Kita sampai di Soekarno Hatta, kita turun dari pesawat langsung disambut panglima TNI dan Bu [Menteri Luar Negeri] Retno sebagai pimpinan pelaksanan evakuasi.
“Lalu diantar ke sini [Asrama Haji Pondok Gede], ke aula tadi untuk dicek apakah kita positif atau negatif covid. Kalau misalkan, dicek juga sudah pernah vaksin atau belum, kalau belum berarti divaksin saat itu juga, ungkap Mufid.
Mufid dan Nur Alipah kini bisa tersenyum lebar dan bersenda gurau dengan rekan-rekan mereka yang lega setelah lolos dari baku tembak di Sudan.
Editor : Rakha