KILASBABEL.COM – Trenggiling [Manis javanica] merupakan satwa liar dilindungi yang masih ditemukan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dalam beberapa bulan terakhir, mamalia pemakan semut dan rayap ini dilaporkan beberapa kali masuk permukiman warga.
“Ini indikasi terjadi penyempitan habitat akibat pembukaan lahan, perambahan hutan, dan pertambangan, yang memaksa mereka keluar dari tempat hidupnya,” kata Endi R. Yusuf, Manager PPS [Pusat Penyelamatan Satwa] Alobi Foundation Bangka Belitung, sebagaimana dikutip dari mongabay.co.id, Minggu (7/5).
Di PPS Alobi di Air Jangkang, Desa Riding, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka, terdapat dua individu trenggiling serahan warga.
“Ini serahan warga pada April 2023. Sejak Alobi berdiri [2014], puluhan kasus serupa terjadi, sekitar 7.977 satwa telah dilepasliarkan oleh Alobi, trenggiling salah satu yang terbanyak,” lanjut Endi.
Mengutip IUCN [International Union for Conservation of Nature], secara global trenggiling tersebar di lanskap Sundaland, dikenal juga dengan nama “Sunda Pangolin”. Statusnya Kritis [Critically Endangered/CR] atau satu langkah menuju kepunahan di alam liar.
“Populasinya menurun sebesar 80 persen selama 21 tahun terakhir, dikarenakan eksploitasi berlebihan akibat perburuan liar,” dikutip dari IUCN.
Dalam CITES [Convention on International Trade in Endangered] statusnya Appendix 1 yang artinya tidak boleh diperjualbelikan melalui pengambilan langsung dari alam.
Di Indonesia, trenggiling dilindungi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Populasi
Hingga saat ini, belum ada penelitian terkait populasi trenggiling di Kepulauan Bangka Belitung. Tetapi menurut Endi, diperkirakan jumlahnya menurun. Ini dikuatkan dengan keterangan warga yang dikumpulkan oleh Alobi di lapangan.
“Laju degradasi habitat jadi salah satu penyebab, sehingga penurunan populasi bisa juga terjadi pada satwa lain seperti kukang dan mentilin. Warga di desa sudah mulai jarang melihatnya, karenanya kami butuh dukungan data dan penelitian terkait satwa liar di Bangka Belitung.”
Berdasarkan dokumen Informasi Kinerja Lingkungan Hidup [IKPLHD] Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2022, luasan hutan provinsi ini tahun 2021 sekitar 204.974 hektar, dari sekitar 1,6 juta hektar luas total.
Luas kawasan hutan tersebut terbagi dalam; hutan produksi sekitar 26 persen, yang terbagi dalam hutan produksi tetap [435.197 hektar] dan hutan produksi yang dapat dikonversi [695 hektar]. Sementara hutan lindung hanya sekitar 11,2 persen [186.426,25 hektar] dan hutan konservasi 2,18 persen [36.353,84 hektar]. Sedangkan areal penggunaan lain sendiri menempati porsi terluas, yakni sekitar 60,4 persen dari luasan keseluruhan tersebut.
“Kurun 2015-2021 telah terjadi deforestasi seluas 62.378 hektar. Deforestasi yang banyak terjadi merupakan hasil alih fungsi menjadi lahan perkebunan, pertambangan, permukiman maupun pertanian lahan kering campur semak,” tulis dokumen tersebut.
Dari dokumen yang sama, diketahui ada sekitar 59 persen kawasan hutan lindung yang tidak sesuai atau beralih fungsi menjadi kawasan pertambangan, perkebunan, permukiman dan tambak. Sementara dari hasil analisis spasial terlihat bahwa penutup lahan hutan primer justru berada di areal penggunaan lain.
“Banyaknya serahan trenggiling ke Alobi, jadi indikasi meningkatnya kesadaran konservasi masyarakat lokal,” kata Endi.
Habitat tersisa
Berdasarkan penelitian Kuswanda dan Setyawati [2016], trenggiling lebih menyukai tipe habitat hutan campuran dan sekunder dengan lantai hutan bersih [sedikit tumbuhan semai dan bawah] dan tidak terlalu lembab.
Menurut Langka Sani, pendiri sekaligus Ketua Alobi Foundation, saat ini hutan di wilayah perbukitan menjadi habitat tersisa trenggiling di Pulau Bangka. Saat kegiatan watching di lapangan, Alobi tak jarang menemukan sarang trenggiling di sekitar akar pohon atau lereng di sekitar perbukitan.
“Mereka terpantau juga di sekitar hutan sekunder di kelekak atau kebun warga, bahkan di sekitar hutan perkotaan.”
Meskipun tidak bertatus sebagai kawasan konservasi, sebagian besar kawasan perbukitan tersebut dijadikan wilayah larangan bagi masyarakat lokal.
“Di luar kawasan konservasi, hutan larangan yang masih terjaga ini menjadi kantong habitat tersisa satwa liar di Pulau Bangka, sekaligus harapan konservasi satwa di Kepulauan Bangka Belitung,” papar Langka.