KILASBABEL.COM – Para pencari keuntungan perang tak pernah melewatkan waktu di berbagai wilayah konflik. Termasuk saat terjadi Perang Kemerdekaan di Indonesia.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono membuat pernyataan yang cukup mengejutkan awal bulan ini. Kepada pers, dia mengungkapkan adanya kenaikan penyalahgunaan senjata api (senpi) serta amunisi di wilayah Kodam XVII/Cendrawasih. Itu berdasarkan data tahun 2022 pada periode 2018 sampai dengan triwulan I tahun 2023.
Panglima TNI juga menyentil prajurit TNI yang kedapatan menjual senjata api dan amunisi di daerah rawan konflik seperti Papua. Dia menegaskan bahwa perilaku tersebut sangat tidak terpuji dan secara tidak langsung, sama saja membunuh kawan sendiri dan rakyat.
“Hal-hal yang seharusnya tidak boleh terjadi, apalagi di daerah rawan karena secara tidak langsung telah membunuh kawannya sendiri dan rakyat,” kata Yudo di Aula Gatot Subroto Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (3/5) kemarin.
Cerita para prajurit nakal yang menjual senjata api sendiri kepada musuh ternyata pernah terjadi juga dalam Perang Kemerdekaan di Indonesia.
Namun saat itu pelakunya justru adalah para serdadu Belanda. Mereka bahkan tak ragu mengontak terlebih dahulu para calon pembeli yang tak lain adalah musuh mereka di palagan.
Bisnis Senjata Tumbuh Subur
Sekitar 1946-1948, bisnis penjualan senjata api secara gelap marak terjadi di wilayah Malang. Dalam Sangkur dan Pena, Asmadi (penulis sekaligus pelaku sejarah) bahkan sempat menyebut kisaran harga senjata dalam kurs uang putih (uang yang dikeluarkan pemerintah RI).
Harganya Dua Ratus Limapuluh Rupiah untuk sepucuk Brengun dan Seratus Rupiah untuk sepucuk Lee Enfield. Tentu itu jumlah yang cukup besar kala itu.
Uniknya, kata Asmadi, bisnis senjata api itu tidak hanya melibatkan tentara Belanda berkulit sawo matang, tapi juga tentara bule juga. Biasanya mereka menjadi pemimpin yang mengatur alur penjualan itu.
“Supaya lebih aman, transaksi kerap juga dibayar dengan barang-barang mentah seperti kopi, tembakau, teh, kina dan lain-lain,” ujar penulis yang merupakan eks anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Malang itu.
Setelah Perjanjian Renville disepakati oleh pihak RI dan Belanda pada 17 Januari 1948, bisnis gelap senjata api malah semakin subur dan terkesan ‘legal’. Di Malang, rute perjalanan senjata selundupan itu bermula dari pos-pos militer Belanda di wilayah kota, kemudian dialirkan melalui jalan raya Malang-Kepanjen.
Dengan kereta api, barang-barang itu diangkut ke Kepanjen. Sesampainya di sana lalu dipindahkan ke truk-truk militer yang wajib membawanya ke garis demarkasi.
Di titik yang sudah disepakati, kedua pihak yang sebenarnya tengah bermusuhan itu, bertemu dalam suasana akrab.
“Sikap bermusuhan sama sekali lenyap dan suasana malah menjadi penuh persahabatan karena kedua belah pihak bisa menepati janjinya masing-masing,” tulis Asmadi.
Turut Libatkan PSK
Robert B. Cribb membenarkan adanya bisnis haram itu. Dalam Gangters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949, Cribb menyatakan penyelundupan senjata telah terjadi sejak tentara Inggris masuk ke wilayah-wilayah Indonesia pada 1945-1946.
Bekerjasama dengan para bandit lokal dan Polisi Sipil Indonesia (yang ada di bawah koordinasi tentara Inggris), tentara Inggris menekuni bisnis itu nyaris tanpa gangguan.
Selain berasal dari kesatuan tentara Inggris sendiri, senjata-senjata itu pun sebagian besar adalah hasil rampasan dari tentara Jepang yang disimpan di Singapura. Dari gudang-gudang di pelabuhan, alat-alat pembunuh itu lantas dialirkan ke Batavia lewat angkutan-angkutan militer.
Sesampai di Pelabuhan Tanjungpriok, barulah senjata-senjata api itu berpindah tangan ke pihak Republik lewat perempuan-perempuan pekerja seks komersial Pasar Senen.
“Koneksi dunia hitam juga penting dalam rantai perdagangan senjata itu karena merekalah yang secara langsung bertanggungjawab terhadap aliran senjata itu ke pihak pembeli,” ungkap sejarawan asal Australia itu.
Candu Ditukar Senjata
Setelah tentara Inggris terakhir hengkang pada Desember 1946, tradisi cari untung itu ternyata diteruskan oleh kolega-kolega mereka di militer Belanda yang mendambakan sekadar uang tambahan untuk bersenang-senang.
Pasar Atom adalah tempat favorit untuk melakukan transaksi, selain di batas kota yang masuk dalam wilayah pinggiran Jakarta seperti Bekasi dan Karawang.
Di tempat lain seperti di Sumatra, transaksi malah berupa barter barang: senjata api ditukar dengan candu. Itu seperti dilakukan pada 1948 oleh Letnan Muda Sho Bun Seng, anggota telik sandi TNI dari unit Singa Pasar Usang di Padang, Sumatera Barat.
“Barang-barang haram itu kami jual dengan harga tinggi di Singapura, tapi tak jarang langsung ditukar dengan senjata dan amunisi,” kenang lelaki yang menapaki masa tuanya di utara Jakarta itu.
Dalam sejarah peperangan di dunia, praktek penjualan senjata api kepada pihak musuh lazim dilakukan para serdadu yang merasa bosan hidup susah di tengah perang. Tak jarang praktek tersebut sampai melibatkan jajaran para komandan (bahkan para jenderal).
Itu pernah terjadi di berbagai belahan dunia yang pernah berkecamuk perang seperti Vietnam, Kamboja, Afghanistan, Bosnia, Rwanda dan Kosovo.
Sumber : merdeka.com
Editor : Rakha