KILASBABEL.COM – Kekayaan timah di Kepulauan Bangka Belitung masih saja dieksploitasi. Adakah upaya yang dilakukan masyarakat melayu (lokal) terhadap kegiatan tersebut?
“Leluhur kami melakukannya dengan ampak atau diasal. Makanya di Dusun Tuing, baik di bukit maupun di lahan perkebunan tidak ditemukan timah,” kata Sukardi (51), tokoh masyarakat Dusun Tuing, Desa Mapur, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, sebagaimana dikutip dari Mongabay Indonesia, Jumat (19/5).
Ampak adalah ditiadakannya pasir timah pada sebuah wilayah. Artinya, pasir timahnya tidak ada. Jika pun ada kualitasnya [kopong dan ringan], sehingga tidak memiliki nilai jual.
Tidak ditemukannya pasir timah pada suatu wilayah di Pulau Bangka dan Belitung, tentunya sedikit mengherankan. Secara teori, semua wilayah ini diperkirakan mengandung timah, sebab bagian dari granite belt, yakni batuan granit yang kaya akan mineral cassiterite atau the tin belt yang terangkai dari Myanmar, Thailand, Malaysia, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, hingga Pulau Karimata.
“Diperkirakan semua wilayah di Kepulauan Bangka Belitung terdapat timah,” kata Ardianeka, geologis yang banyak melakukan penelitian geosite di Pulau Bangka.
Ali Alfandi [48], tokoh masyarakat adat Lom di Dusun Pejem, menjelaskan tidak semua wilayah di dusunnya mengandung timah. “Permukiman kami yang berada di pesisir sama sekali tidak ditemukan timah. Termasuk juga di bukit. Sebab sudah diampak leluhur kami.”
Desa Serdang, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, juga bebas dari penambangan timah. Warga percaya, jika permukiman, kebun dan hutan mereka telah diampak leluhurnya. “Desa kami sejak dulu bebas tambang timah,” kata Agus Salim [44], warga Desa Serdang, kepada Mongabay Indonesia, sebelumnya.
Wilayah Desa Gudang, Kecamatan Simpang Rimba, Kabupaten Bangka Selatan, yang terkenal dengan lukisan dinding manusia purba di Bukit Batu Kepale, juga bebas dari aktivitas penambangan timah.
“Semua wilayah di Desa Gudang, sejak masa kolonial sudah diampak oleh para tetue [leluhur],” kata Kulul Sari [50], pegiat budaya dari Desa Gudang kepada Mongabay Indonesia.
Derita Prapti Rahayu, dari Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung, dalam penelitiannya berjudul “Kearifan Lokal Tambang Rakyat sebagai Wujud Ecoliteracy di Kabupaten Bangka” menjelaskan, ampak merupakan kearifan lokal masyarakat di Bangka Belitung guna menjaga lingkungannya, dari penambangan timah.
Disebutkan dalam penelitian tersebut, beberapa wilayah di Kabupaten Bangka yang bebas dari penambangan timah, tambang inkonvensional [TI], antara lain Desa Balunijuk dan Desa Jade [Kecamatan Merawang], Desa Mabet dan Desa Dalil [Kecamatan Bakam], serta Desa Petaling [Kecamatan Mendo Barat].
Mengapa ampak?
Dijelaskan Derita Prapti Rahayu, para leluhur masyarakat yang wilayahnya bebas timah [Kabupaten Bangka], sengaja mengampak, yang tujuannya demi kelangsungan lingkungan hidup. Dengan begitu, keturunan mereka dapat memanfaatkan lingkungan untuk berladang, sebagai sumber mata pencaharian.
Tujuan tersebut dibenarkan para tokoh masyarakat yang wilayahnya saat ini bebas dari penambangan timah. “Pesan yang saya terima dari orang tua, ampak itu agar Dusun Tuing bebas dari penambangan timah, dan kami bisa bertani dan berkebun,” kata Sukardi.
“Para leluhur berharap, kampung di sini tidak rusak akibat penambangan timah,” kata Kulul Sari.
Lestarinya lingkungan karena ampak tersebut, tulis Derita Prapti Rahayu dalam penelitiannya, sesuai dengan pendapat Sonny Keraf. Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, wawasan, atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. “Timah ampak sejalan dengan maksud untuk melestarikan lingkungan.”
Hal tersebut sesuai dengan konsep ecoliteracy, sebuah strategi untuk menggerakkan masyarakat luas agar bisa memahami pola pandang baru atas realitas kehidupan bersama mereka di bumi dan melakukan pembaruan-pembaruan yang diperlukan.
Ini didasarkan pada pemahaman bahwa kehidupan bersama harus dipandang bukan lagi secara mekanistik melainkan secara ekologis serta sistemik.
“Jadi apa yang perlu dipahami dari ecoliteracy adalah wisdom of nature [kebijaksanaan alam] yang digambarkan oleh Fritjof Capra sebagai kemampuan sistem-sistem ekologis planet bumi mengorganisir dirinya sendiri melalui cara-cara halus dan kompleks,” tulis Derita Prapti Rahayu.
Kearifan masyarakat bahari
Teungku Sayyid Deqy, budayawan muda Kepulauan Bangka Belitung, mengatakan semua wilayah [desa dan dusun] di Pulau Bangka yang sudah diampak merupakan permukiman masyarakat melayu. Meskipun pada saat ini sudah banyak pendatang yang menetap di wilayah tersebut.
“Ini membuktikan, masyarakat melayu di Pulau Bangka, yang mungkin sudah ada dari masa sebelum Sriwijaya, sangat peduli dengan lingkungan. Mereka memandang atau menilai penambangan timah itu membawa banyak persoalan, baik lingkungan maupun sosial,” katanya.
Deqy menjelaskan, di masa kolonial Belanda, ada suatu wilayah diampak karena terjadi “konflik lahan” antarkeluarga atau antarwarga. Lahan itu diperebutkan karena akan dijual dengan pengusaha China untuk dijadikan penambangan timah.
Mengutip pemikiran Husni Tamrin dan Taufik Wijaya dalam artikelnya “Berharap “Batin Melayu” Menyelamatkan Alam dan Manusia di Indonesia” upaya ampak dapat ditarik sebagai cerminan “batin melayu”.
Apa itu batin melayu?
Batin melayu adalah nilai-nilai yang dilahirkan dari kebudayaan bahari; relijius, terbuka dan egaliter. Nilai-nilai ini yang mewujudkan kebersamaan [semua makhluk hidup] dalam membangun kenyamanan, kebahagiaan, kedamaian sebagai keselamatan di dunia [bumi] dan akhirat, seperti harmoninya alam semesta. Maka, tumbuh dan berkembangnya batin melayu dengan menempatkan alam sebagai guru.
Batin melayu ini yang melahirkan berbagai kelompok masyarakat di Nusantara, termasuk di Kepulauan Bangka Belitung. Berbagai kelompok masyarakat itu, memiliki sikap yang sama terhadap alam. Alam semesta sebagai pusat kehidupan [ekosentris], bukan manusia sebagai pusat alam semestra [antroposentris].
Perlawanan
Mengapa saat ini tidak ada lagi wilayah yang diampak?
“Saya percaya masih ada “dukun” yang mampu melakukan tradisi ampak. Tapi mereka tidak melakukannya, sebab penambangan timah rakyat atau TI saat ini memberikan keuntungan,” kata Rendy, dari Fisip Universitas Bangka Belitung, kepada Mongabay Indonesia.
Dijelaskan dia, meskipun TI itu merusak lingkungan, tapi juga membantu ekonomi masyarakat di desa. “Termasuk ada masyarakat yang mampu membangun rumah karena tambang timah. Apalagi saat ini dilakukan pada eks lahan penambangan timah perusahaan.”
Disebut sebagai “perlawanan” kata Rendy, karena di masa timah hanya dikelola pemerintah [Orde baru], masyarakat di sekitar penambangan mengaku tidak merasakan dampaknya langsung. “Misal, terkait bantuan pembangunan rumah ibadah, jalan, listrik, air bersih, atau beasiswa. Mungkin ada yang merasakan, tapi setahu saya banyak yang mengaku tidak mendapatkan.”
Hadirnya TI, sebenarnya ada “ketegangan” di masyarakat. Ada yang menolak, ada yang mendukung. “Pada waktunya, ampak mungkin menjadi solusi terbaik untuk melindungi Pulau Bangka. Mungkin setelah hadirnya berbagai puncak persoalan akibat rusaknya lingkungan,” ujarnya.
Sumber : Nopri Ismi/Mongabay Indonesia
Editor : Leona