Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Dalam kompetisi demokrasi, representasi seseorang dapat didukung oleh kelompok mayoritas, minoritas dan independen. Mayoritas lazim mendominasi kursi kekuasaan selama periode tertentu. Minoritas biasanya bergabung didalamnya, atau berada di luar sistem menjadi oposisi. Sisanya, kelompok independen yang terkadang mengalami kesulitan berdiri diantara keduanya.
Sekalipun demokrasi mengakomodir ketiga kategori itu, namun tak semua negara menyediakan mekanisme untuk calon independen. Di Indonesia misalnya, calon independen hanya terbuka untuk kasus pilkada, tidak dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Untuk itu saja kita perlu filter presidential treshold yang mencapai minimal 20 persen. Prakondisi itu dengan sendirinya mencipta mayoritarian versus minoritas.
Sekalipun begitu, prinsip moral demokrasi yang baik bahwa mayoritas eksis karena sokongan minoritas dalam bentuk koalisi maupun kontrol. Sementara minoritas survive juga oleh sebab proteksi kelompok mayoritas. Dalam hal ini keduanya tak dapat bercerai begitu saja, realitasnya saling membutuhkan dalam meraih agenda kolektif. Simbiosis itu kian kokoh ketika tak satupun partai mencapai suara mayoritas di parlemen.
Kecenderungan independen terbuka oleh sebab mandeknya mekanisme partai dalam hal kaderisasi. Lebih lagi bila kandidat yang di tebar tak merepresentasikan kepentingan orang banyak. Para kandidat partai dinilai tak layak jual, tak berbobot, kadaluwarsa, tak populer, minim visi, serta tak punya rekam jejak cemerlang. Semua raport merah itu memicu tanggungjawab moral publik untuk memunculkan calon independen. Mereka antitesa sekaligus kritik telanjang terhadap partai.
Di Indonesia, perlawanan moral politik itu dapat ditemukan dalam kasus Pilkada di Provinsi NAD, atau Pilkada di Kabupaten Rote Ndow, Batubara, Garut, Bontang, Fak-Fak, bahkan kotak kosong di Makassar. Semua itu menunjukkan bagaimana partai seharusnya membenahi diri agar benar-benar mencerminkan wajah yang diwakili, bukan muka elit yang jauh dari paras rakyat. Bila fenomena tersebut terus muncul, kredibilitas partai patut dipersoalkan.
Indikasi kuatnya koreksi itu dapat di lihat dari meningkatnya calon independen di Pilkada tahun 2020 yang mencapai 67 paslon dari total 734 paslon pendaftar (KPU, 2020). Catatan itu telah cukup meyakinkan kita sekalipun tak banyak succes story calon independen. Kegagalan calon independen seringkali ditengarai oleh lemahnya kekuatan modal, jaringan penguat, strategi, serta meredupnya popularitas tokoh yang dijadikan kandidat. Selebihnya, calon independen tuna legacy, bahkan pecah kongsi.
Agar demokrasi dapat dipertanggungjawabkan, jauh lebih logis jika para calon independen bertandang di partai, sekaligus menjawab kelangkaan sumber daya partai yang sejauh ini susut akibat gagalnya kaderisasi. Salah satu sebab gagalnya kaderisasi karena mekanisme proporsional terbuka dengan jelas membatasi otoritas partai, kecuali publik yang lapar dan tak cukup terdidik. Bagi yang lapar, tak penting amplopnya yang penting isinya. Sementara bagi yang tak terdidik cukup popolaritasnya, bukan kualitasnya.
Tugas partai sebaiknya menarik kaum independen agar dapat mengasimilasikan visi partai. Bagi tokoh-tokoh independen tentu jauh lebih menguntungkan jika di tunjang partai lewat sumber daya yang tak terbatas. Sambil membenahi isi perut partai agar kaderisasi berjalan baik, kita berharap perubahan mekanisme proporsional kedepan dapat memberi diskresi pada partai agar berlaku fairness memilih wakil terbaiknya. Partai tentu saja harus terus berbenah.
Lewat simbiosis mutualistik itu, publik tak kehilangan kontrol terhadap calon independen karena di back up partai. Partai pengusung bertanggungjawab pada basis pemilihnya. Disisi lain partai dapat mereproduksi kepemimpinannya, mendongkrak citranya, serta menitipkan agenda strategisnya. Sejauh tokoh-tokoh independen dan partai memahami hal ini, politik kita akan jauh lebih akomodatif dibanding membiarkan para calon independen kehilangan kontrol publik yang seringkali indah di awal namun berantakan di akhir.
Editor : Rakha