Merawat Negara Bangsa

oleh -686 Dilihat
Foto : istimewa.

Oleh :

Dr. Muhadam Labolo

(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)

 

KILASBABEL.COM – Sejak dulu, sejak merdeka kita telah bergelut soal isu kebangsaan dan keagamaan. Dialektika panjang itu bukan baru sekarang, bahkan telah memuntahkan peluru dari magazin, menertibkan ekspresi yang melampaui konsensus, baik di pihak kaum nasionalis maupun agamis. Kita seharusnya terus belajar dari sejarah, meresapinya lewat transformasi nilai dari generasi ke generasi agar kesinambungan bernegara tetap abadi nan jaya.

Survei Setara Institute, Maret 2023, menunjukkan ada kegagalan generasi memahami ideologi sekaligus identitas negara bangsa. Bekerjasama dengan INFID, survei itu memperlihatkan 83% siswa SMA di lima kota cenderung memilih Pancasila bukan idiologi dan tak permanen. Maknanya, sampel generasi itu menginginkan alternatif ideologi sebagai dasar konsensus baru. Indikasi itu tentu perlu direnungkan, setidaknya penting memahami sejarah mengapa founding fathers memilih negara bangsa dengan Pancasila sebagai ideologinya.

Kegagalan memahami akar sejarah negara bangsa akan mengembalikan kita ke titik nol. Ada negara dengan berbagai bangsa seperti Amerika. Ada negara dengan satu bangsa semacam Bangladesh. Ada bangsa dengan berbagai negara sebagaimana China, Taiwan dan Hongkong. Ada pula suku bangsa dengan satu negara seperti Indonesia (Ndraha, 2002). Tentu saja untuk sampai ke puncak konsensus tertinggi itu bukanlah perkara gampang.

Amerika, China, Bangladesh hingga Indonesia butuh ratusan tahun untuk menyudahi perang saudara dan invasi negara lain. Modal dasarnya sederhana, kesadaran akan persatuan dengan melelehkan kepentingan sempit yang membuat kita mudah diadu domba. Pengalaman itu cukup menjadi pelajaran berharga bagi kita yang duduk manis menikmati kemerdekaan tanpa menetes peluh, air mata dan darah.

Kita akui bahwa gesekan antara kaum nasionalis yang berorientasi barat, sekuler dan konsensus tak pernah usai dengan kaum agamis yang berorientasi timur, integratif dan dogmatis. Semua dialektika itu tergambar jelas dari dokumen penyusunan pondasi bernegara, Pancasila. Perdebatan itu menyangkut landasan filosofis, tujuan dan dasar bernegara. Hasilnya, apa yang kita praktikkan dewasa ini, yaitu negara bangsa, dan bukan negara agama.

Negara bangsa di bangun di atas konsensus idiologi yang disepakati mayoritas (antroposentrik). Dasar konsensus itu menjadi rujukan hidup bersama. Perbedaan diakomodir dalam lingkup bernegara. Artinya keragaman tak dielakkan apalagi dimatikan. Kebhinekaan terpelihara dalam wadah keikaan. Seperti rujak dengan campuran buah. Semangat kebangsaan kita diikat oleh kesamaan derita dan keserupaan cita-cita (Hatta,1945). Bahwa masih jauh panggang dari api, itu soal lain, soal implementasi yang jadi problem semua negara.

Kesamaan derita adalah kehendak kolektif untuk menghapus penjajahan, perkosaan, dan pelecehan hak asasi. Sedangkan keserupaan cita-cita adalah keinginan membangun mahligai rumah tangga bernegara yang penuh limpahan kemakmuran di kelak hari. Dalam semangat kesadaran itulah kita sampai pada titik kesepakatan berbangsa dan bernegara, Negara dan Bangsa Indonesia.

Negara bangsa dapat eksis bergantung kemampuan kita menjaga konsensus. Konsensus dapat dipelihara melalui disiplin transformasi nilai-nilai dasar dari generasi ke generasi. Tanpa keseriusan kita hanya menanti kehancuran total sebagaimana Balkan dan Soviet yang berakhir menjadi negara-negara seluas provinsi dan kabupaten. Kita bukan mereka, dan mereka pun bukan kita. Setiap negara lahir melalui suasana kebatinan masing-masing.

Kelebihan negara bangsa mudah berubah sesuai dinamika. Artinya, konsensus dapat terjadi di atas prinsip konstitusionalisme. Konstitusi kita bukanlah kitab suci yang sakral, dia profan dan nationality. Fleksibilitas itu sekaligus menjadi kekurangannya, mudah dikendalikan oleh suara mayoritas yang memenangkan pertarungan kuasa. Tanpa keseriusan mengawal, negara bangsa hanya boneka bagi kaum kapital dan oligarki.

Negara agama meletakkan teks suci sebagai pondasi bernegara. Semangatnya bukan konsensus, tapi keyakinan absolut pada seperangkat sistem kepercayaan ciptaan Tuhan (teosentrik). Ikatannya kesatuan iman dengan tujuan yang lebih luas, dunia dan sesudahnya. Meski begitu, teks-teks suci pada akhirnya bergantung pada otoritas tafsir manusia sebagai konsensus tunggal yang paling diterima. Warga cukup patuh tanpa perlu mempertanyakan. Tanpa kontrol, negara agama tak lebih dari tahta suci yang tertutup dan cenderung despotik.

Negara agama pun dapat eksis sepanjang konsensus terhadap otoritas tafsir dapat dipertahankan dengan sungguh-sungguh. Bila tidak, bukan mustahil dapat hancur berkeping-keping sebagaimana kasus negara-negara di Timur Tengah. Otoritas agama sangat menentukan dalam mengarahkan tujuan negara, sekaligus alam pikir warganya. Sejauh mereka terkontrol, negara relatif baik-baik saja. Namun siapa yang dapat mengontrol otoritas ortodoks semacam itu.

Meski begitu, negara dalam perspektif bangsa dan agama hanyalah media bagi upaya mewujudkan tujuan manusia mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Negara hanya alat, bukan tujuan yang sebenarnya. Perangkat mencapai kesejahteraan di dunia menurut kaum nasionalis, atau wadah mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat menurut kaum agamis. Untuk maksud itulah, tak jarang alat seringkali diadendum dan ditafsir kembali menurut konsensus warganya.

Dengan memahami dialektika para tetua bangsa itu, kita dapat memahami reasoning paling realistis atas pilihan masa depan kita hari-hari ini. Tentu saja ada banyak contoh negara bangsa yang sukses dan rontok di sekeliling kita. Sama halnya, kenyataan negara agama yang eksis dalam tradisinya sekaligus contoh keruntuhannya yang menyayat kalbu. Semua kembali pada konsensus dan kontrol warganya.

Menyadari itu semua, kita memilih negara bangsa tanpa mengecualikan agama sebagai sumber nilai bernegara (simbiotik). Maknanya, semua konsensus mesti dipertanggungjawabkan secara moral dan politik kepada Tuhan dan manusia. Diakui bahwa negara dan agama secara kelembagaan tak selalu bersama, namun negara dan agama dalam perspektif nilai selalu bersentuhan secara aktif maupun pasif. Semua itu dapat ditemukan lewat konstitusi dan sistem bernegara. Di sinilah tugas moral kita, merawat negara bangsa. (*)

 

Editor : Rakha

No More Posts Available.

No more pages to load.