Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Problem utama partai hari-hari ini tak lebih dari soal idiologi, kaderisasi, dan keuangan. Idiologi berkaitan dengan cita ideal yang menjadi tujuan partai di bentuk. Tanpa idiologi, partai tak lebih dari kumpulan penerima bantuan langsung tunai dari pemerintah, masyarakat dan oligarki. Sudah banyak contoh bagaimana partai hidup tanpa idiologi yang ber-reinkarnasi menjadi zombie.
Tanpa ruh sebagai landasan perjuangan, partai hanya berkutat pada orientasi pragmatis. Partai hidup seperti benalu yang menempel di pohon kekuasaan. Kalaupun ada, idiologi hanya jargon yang tak mengakar di dada dan pikiran. Idiologi hanya tontonan, bukan penuntun kemana partai sejogjanya di kayuh (Surbakti, 2023). Dalam matinya ruh itu, partai tak jarang dikesankan penuh aroma tak sedap.
Soal kedua yang mencemaskan adalah kaderisasi partai. Proses rekrutmen internal yang bersifat tertutup dengan karakter feodal, kokoh dilakoni turun-temurun. Ini pula yang mengakibatkan publik alergi hingga berharap mekanisme pileg tetap terbuka. Andai publik percaya pada pola rekrutmen internal, tentu saja mekanisme tertutup jauh lebih ideal bagi masa depan partai.
Mekanisme tertutup setidaknya membantu mereparasi pola rekrutmen yang selama ini menjadi hak prerogatif pimpinan partai. Relasinya dinasti, materi, dan citra. Itu perlu dibenahi serius. Andai partai sadar bahwa fungsi kaderisasi penting bagi masa depannya, semestinya mekanisme tertutuplah jawaban atas problem di maksud. Menyetujui mekanisme terbuka sama saja menyerahkan kembali kepercayaan memilih wakil kepada publik. Lalu untuk apa partai dibentuk.
Mekanisme tertutup dan terbuka punya genetika plus dan minus. Namun bila kepentingannya soal kaderisasi partai yang selama ini gagal hingga merayu artis, birokrat dan pemodal masuk tanpa saringan, artinya partai telah gagal melakukan fungsi esensialnya. Menjadi tak logis ketika partai di percaya sebagai pabrik penghasil pemimpin namun menyerahkan kembali kuasa memilih wakilnya kepada publik lewat mekanisme terbuka. Maknanya, partai mandul dan tak percaya diri melakukan fungsi rekrutmen.
Persoalan ketiga yang melanda partai berkaitan dengan logistik. Realitas ini menjadikan partai miskin, kecuali elitnya yang berusaha keras menjadi ketua partai. Bukan rahasia lagi bagaimana para elit menegosiasikan mahar dalam kompetisi kuasa. Praktik suap-menyuap telah menjadi kelaziman yang menjadi berita sehari-hari. Pemandangan memuakkan inilah yang menempatkan partai politik sebagai lembaga paling tak dipercaya publik (Indikator, 2022). Posisinya sebelas dua belas dengan lembaga DPR dan DPRD.
Sedemikian rajin praktik koruptif diperlihatkan anggota partai lewat lembaga representatifnya, partai secara moral seakan lepas tangan terhadap apa yang dilakukan anggotanya. Kesannya, perilaku anggota bukan urusan partai, tapi perilaku oknum semata. Simpelnya, tugas partai hanya mengeluarkan rekomendasi dan menstempel untuk bertarung, bukan mendidik kader. Praktek buruk semacam itu membuat partai dipenuhi bopeng yang mencipta jarak dengan publik.
Tak ada cara efektif untuk menyelesaikan ketiga masalah di atas kecuali menyederhanakan mekanisme pemilu. Dengan mengubah mekanisme pileg ke tertutup dan pilkada ke tidak langsung persoalan di atas setidaknya dapat terjawab sambil membenahi kesehatan partai yang tiba di titik nadir. Perubahan mekanisme setidaknya akan menggeliatkan partai. Dengan mekanisme itu partai akan lebih bertenaga melakukan fungsi dasarnya.
Soliditas partai dibutuhkan agar idiologi dapat menuntun ke cita-cita idealnya. Untuk itu dibutuhkan kader militan, bukan kader bajing loncat, apalagi demagog yang dibanjiri pujian sesaat di media sosial. Lewat dua kekuatan itu (idiologi dan kaderisasi) dengan sendirinya akan mendorong publik untuk mendukung partai lewat berbagai cara, termasuk membagi sebagian sumber dayanya. Di luar itu tugas pemerintah untuk merawat partai agar bertumbuh dan berkembang dengan sehat walafiat.