Fenomena Calon Mahasiswa Mundur Lantaran Biaya Kuliah Selangit

oleh -336 Dilihat
Foto : by Republika.

KILASBABEL.COM – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) menyebut 10 calon mahasiswa baru dari jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) 2023 ingin mengundurkan diri. Itu terjadi karena mereka merasa tidak mampu memenuhi besaran uang kuliah tunggal (UKT) yang ditetapkan kampus.

Ketua BEM UI Melki Sedek Huang mengatakan, jumlah mahasiswa baru yang ingin mengundurkan diri bahkan sebenarnya ada lebih dari 10. Namun, setelah pendampingan, tersisa ada 10 orang yang masih mengaku ingin mengundurkan diri.

“Akan ada bantuan (dari BEM UI), sebelumnya bahkan harusnya bisa lebih dari 10, cuman teman-teman BEM dan BEM fakultas akan selalu mengusahakan mengakses bantuan dari dekan, alumni, ataupun stakeholder yang kita jadi mitra. Kita coba ngasih bantuan sampai sekarang tersisa 10 saja,” kata Melki Sedek Huang, Senin (3/7).

Keluhan tentang biaya UKT yang tinggi pada tahun ini, kata Melki, lebih banyak hampir tiga kali lipat dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2022, BEM UI disebutnya menerima sekitar 320 aduan calon mahasiswa baru. Sementara itu, pada 2023, ada 800 aduan yang diterima. “Tahun ini bahkan meningkat pesat, 2-3 kali lipat bahkan hanya dalam jalur penerimaan,” ujarnya.

Dalam keterangannya dia menjelaskan, pada beberapa kasus yang telah pihaknya bantu advokasi, ada banyak mahasiswa yang jelas-jelas tidak mampu membayar angka yang tinggi, tetapi ditetapkan untuk membayar uang kuliah yang tinggi. Menurut dia, tidak ada sedikit pun keterbukaan data dan rasionalisasi UI kala menetapkan biaya pendidikan mahasiswanya.

“Memang telah disediakan ruang pengajuan banding bagi mahasiswa yang keberatan. Akan tetapi, sistem banding yang tersedia hanya berbentuk komentar dan tidak jelas mekanismenya,” kata Melki.

Di samping itu, setelah hasil banding diumumkan pada 20 Juni 2023, ternyata masih banyak mahasiswa yang mengaku tidak mendapatkan penurunan biaya pendidikan tanpa keterbukaan alasan. Menurut dia, kecurigaan atas janggalnya penetapan biaya pendidikan di UI makin tervalidasi dan UI gagal menghadirkan pendidikan yang terjangkau.

Melki menerangkan, akuntabilitas dan transparansi seharusnya menjadi dua landasan utama dalam proses penetapan biaya pendidikan di sebuah universitas. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Majelis Wali Amanat UI Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan UI. Namun, menurut dia, hal tersebut tidak terealisasi di UI.

“Komunikasi yang seharusnya menjadi salah satu kunci utama dalam berkoordinasi tidak pernah dihadirkan dengan baik oleh pihak kampus. UI selalu menutup rapat-rapat pintu komunikasi seolah-olah tidak ingin melibatkan mahasiswa dalam proses pembuatan kebijakan yang akan berpengaruh bagi mahasiswa itu sendiri,” kata dia.

Dia menjelaskan, isu mahalnya biaya pendidikan di UI yang belakangan banyak dibicarakan bermula dari terbitnya SK rektor perihal biaya pendidikan pada awal tahun ini. Penerbitan SK baru yang tidak melibatkan mahasiswa dalam pembahasannya, kata Melki, telah BEM UI sebut akan menjadi masalah. Pihaknya telah berulang kali mencoba menemui pihak kampus untuk membahas SK tersebut, tapi tidak ditanggapi pihak kampus.

“Tiba-tiba SK itu keluar menjelang pengumuman SNBP, kita belum pernah dilibatkan, tidak punya peluang merevisi, komplain, bahkan langsung dipraktikkan di penerimaan SNBP. Tarifnya meningkat. Kalau dulu soshum itu maksimal BOP berkeadilannya Rp 5 juta, sekarang Rp 17,5 juta. Kalau saintek dan rumpun ilmu kesehatan dulu BOP berkeadilan maksimal Rp 7,5 juta, sekarang Rp 20 juta,” ujarnya.

Hal itu, lanjut Melki, terlihat nyata ketika Surat Keputusan (SK) Nomor 402/SK/R/UI/2023 tentang Tarif Biaya Pendidikan bagi Mahasiswa Jalur Nasional diterbitkan secara tiba-tiba pada tanggal 16 April 2023. Dalam proses penyusunan hingga penerbitannya, kata dia, mahasiswa tidak pernah sekali pun dilibatkan atau diajak untuk berkomunikasi.

“Pihak UI selalu sulit dihubungi dan selalu mengatakan ketidaktahuannya ketika ditanyakan mengenai keberadaan SK ini. Telah cukup alasan untuk menentang SK tersebut dan pantas untuk menaruh dugaan akan permasalahan yang akan mengikuti SK tersebut,” ungkap Melki.

Pola serupa kembali terjadi ketika SK Nomor 672/SK/R/UI/2023 yang mengatur Tarif Biaya Pendidikan bagi Mahasiswa Non-Reguler secara tiba-tiba diterbitkan. Pihak UI yang sebelumnya berjanji akan membuka komunikasi dengan mahasiswanya dalam pembuatan kebijakan tentang biaya pendidikan ternyata kembali tidak menepati janji dengan menerbitkan SK tersebut pada tanggal 20 Juni 2023.

Padahal, kata dia, ada rentang waktu sebanyak 15 hari sejak SK tersebut ditandatangani oleh rektor pada tanggal 5 Juni untuk membuka komunikasi dengan mahasiswanya. Namun, menurut Melki, pihak UI seakan sudah enggan untuk berkomunikasi dan secara sengaja menutup komunikasi sehingga SK tersebut hanya menguntungkan salah satu pihak tanpa memenuhi unsur “berkeadilan”.

Melki mengatakan, BEM UI menerima 800 aduan dari mahasiswa baru jalur SNBP yang mengeluhkan mahalnya UKT. Beberapa dari mereka mengaku bukan dari keluarga berkecukupan, seperti yatim piatu hingga pengemudi ojol. Melki menyayangkan pernyataan dari salah satu pejabat kampus yang seakan menyamaratakan kondisi mahasiswa UI dengan menyebut adanya mahasiswa yang berangkat ke kampus menggunakan mobil mewah. Padahal, kondisi ekonomi setiap mahasiswa pasti berbeda-beda.

“Kepala Biro Humas beberapa kali blunder, bilang mahasiswa UI pakai Pajero ke kampus dan sebagainya. Yang mana kalau menurut saya itu menggeneralisasi keseluruhan kondisi finansial mahasiswa UI. Itu yang jadi masalah,” jelas Melki.

Menurut dia, hingga kini masih ada ratusan mahasiswa yang mengeluhkan biaya UKT yang ditetapkan kampus. “Kita dapatkan aduan, ada yang anak driver ojek online, ada yang lagi sakit keras, ada yatim piatu, ada yang ortunya bekerja nonformal,” katanya.

Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik UI Amelita Lusia mengatakan, mahasiswa sebenarnya bisa menyampaikan keberatannya ke pihak kampus jika merasa tidak mampu dengan UKT yang ditentukan. Hingga kini, ia juga mengeklaim belum ada mahasiswa yang mengundurkan diri karena alasan UKT tinggi.

“Kami juga sudah memberikan kesempatan jika ada keberatan, untuk disampaikan via mekanisme yang pun belum ada menerima pengunduran diri secara formal,” kata Amelita Lusia.

Menurut dia, UI menerapkan mekanisme UKT berkeadilan atau sesuai dengan kemampuan bayar penanggung biaya pendidikan. Mekanisme itu diterapkan untuk biaya pendidikan program sarjana reguler (SNBT, SNBP, PPKB SI reguler, SIMAK SI reguler) dan program vokasi (SNBP, SNBT).

Adapun soal mahasiswa dari keluarga tidak mampu tapi mendapatkan UKT tinggi, menurut Amelita, kemungkinan data yang dilampirkannya salah atau tidak lengkap. Mahasiswa yang masih keberatan dengan besaran UKT ia sebut bisa mengajukan permohonan banding.

Muhammad Ilham (40 tahun), warga Cimahi, Jawa Barat, mengaku bingung dengan biaya masuk universitas negeri yang begitu mahal. Karena itu, dia membujuk anaknya untuk memilih kampus negeri yang tidak populer, tapi memberikan UKT yang terjangkau. “Untuk di Bandung, kampus negeri yang populer itu Unpad, ITB, UPI, tapi mahal. Bagi saya yang kerjanya serabut, tidak sanggup,” kata Ilham.

Ilham mengaku, Unpad dan ITB memang kampus yang dicita-citakan anaknya. Namun, karena biaya masuk kampus negeri mahal, terpaksa harus menghapus cita-cita itu. Sekarang, Ilham tetap berusaha mendorong anaknya masuk kuliah di kampus negeri meski tidak populer, seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung. Menurut dia, biaya di UIN masih bisa dijangkau.

“Untuk UIN, UKT paling mahal di kelompok 7 (K7) 4.069.000 per semester. Kedokteran Unpad bisa ratusan juta. Saya sebagai orang tua dari calon mahasiswa berharap kalau untuk UKT bisa diturunkan minimal 25 persen atau kalau bisa 50 persen,” katanya.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda meminta PTN membuat skema untuk meringankan biaya UKT bagi calon mahasiswa yang tidak mampu. Syaiful menekankan kepada PTN, kenaikan UKT harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi calon mahasiswanya. “Bagi mahasiswa berlatar belakang kurang mampu dalam aspek ekonominya, kita minta supaya PTN bikin skema untuk meringankan beban pembiayaan UKT ini,” ujar Huda.

Huda melanjutkan, terlebih bagi calon mahasiswa yang sudah lulus seleksi, jangan sampai gagal masuk karena kendala biaya. Sebab, ada laporan sejumlah calon mahasiswa yang mengundurkan diri karena tak mampu bayar UKT. “Apa pun yang terjadi, mereka tetap harus melanjutkan dengan berbagai kebijakan afirmasi dari pihak kampus yang bersangkutan, PTN harus memastikan calon mahasiswa sudah lulus seleksi dipastikan untuk bisa melanjutkan dengan berbagai skema apa pun,” ujarnya.

Karena itu, politikus PKB itu menekankan agar PTN menerapkan kebijakan afirmasi atau pelonggaran untuk biaya UKT bagi calon mahasiswa tidak mampu. Untuk itu, kebijakan afirmasi maupun pelonggaran itu jangan sampai terlambat dan diambil di tengah jalan hingga membuat calon mahasiswa tidak mampu justru mengundurkan diri.

Mahalnya biaya UKT dinilai merupakan dampak dari berlakunya status perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH) yang membuat terjadinya tren komersialisasi di perguruan tinggi. “UKT ini harus ditinjau ulang karena di lapangan masih sangat memberatkan mahasiswa. Banyak perhitungan yang dirasa tidak masuk akal dan memberatkan orang tua,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji.

Ubaid mengatakan, proses penentuan kategori UKT bagi setiap mahasiswa tidak jelas. Universitas pun, kata dia, tidak mau terbuka soal itu. Hal tersebut, kata dia, kerap membuat mahasiswa dan orang tuanya terbebani oleh biaya UKT yang tak sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki.

“Memang ini yang terjadi, tidak jelas bagaimana data diinput, dianalisis. Lalu, keluar nominal UKT itu prosesnya bagaimana? Ini tidak transparan dan kampus tidak mau terbuka,” kata dia.

Dia menilai biaya UKT yang makin mahal merupakan dampak dari berlakunya PTN BH. “Jelas ini dampak dari PTN BH, di mana kampus diberikan otonomi untuk mendapatkan cuan. Maka yang terjadi adalah biaya jadi tambah mahal karena trennya adalah komersialisasi,” kata dia.

 

Sumber : Republika

No More Posts Available.

No more pages to load.