Atas Nama Energi Masa Depan, Ancaman Mengintip Pulau Gelasa

oleh -419 Dilihat
Kapal akan sulit menepi di Pulau Gelasa, karena hamparan karang tepi yang mengelilinginya. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

KILASBABEL.COM – Indonesia merupakan negara yang berkomitmen pada Net Zero Carbon pada 2060 [1]. Salah satu faktor penyumbang karbon terbesar di dunia adalah melalui pembakaran energi fosil [2]. Untuk hal itu, Indonesia harus melakukan transisi dari energi fosil yang kotor ke energi bersih.

Sejauh ini, Indonesia belum menetapkan satu energi baru dan terbarukan yang akan dikembangkan atau dipilih. Sehingga pemanfaatan energi fosil, seperti batubara, terus berlangsung. Sumber energi panas bumi dan nuklir memiliki kesempatan yang sama dengan energi surya, angin, dan air [3].

Selama ratusan tahun, di Kepulauan Bangka Belitung berlangsung penambangan timah. Ternyata, limbah atau sisa penambangan timah tersebut mengandung rare earth atau tanah jarang [4]. Mineral dari tanah jarang tersebut yakni thorium [Th].

Beranjak dari potensi tersebut, PT. ThorCon Power Indonesia [TPI] ingin mengembangkan PLTT [Pembangkit Listrik Tenaga Thorium]. Lokasinya, direncanakan di Pulau Gelasa dan perairannya.

Pulau Gelasa, merupakan pulau kecil di Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung, yang luasnya sekitar 220,83 hektar. Pulau ini adalah pulau terdepan dari Kepulauan Bangka Belitung yang menghadap Laut Natuna [Laut China Selatan].

“Di hilir, mungkin, thorium rendah pelepasan karbon, tapi di hulu thorium berpotensi sebagai energi kotor sebab adanya penambangan timah. Adanya PLTT ini mempertegas penambangan timah terus berlangsung di Kepulauan Bangka Belitung,” kata M. Rizza Muftiadi, peneliti terumbu karang dari Universitas Bangka Belitung, dalam seminar “Ekologi Kelautan dan Energi dalam Prespektif Komunikasi Politik dan Pemutaran Film Ekspedisi Pulau Gelasa” yang digelar FISIP UIN Raden Fatah dan Mongabay Indonesia di Gedung Rafa Tower, UIN Raden Fatah, Palembang, Rabu [07/06/2023].

Hadirnya PLTT di Pulau Gelasa dan perairannya, tetap mendorong adanya pelepasan karbon dan merusak bentang alam.

Selain itu, lanjutnya, keberadaan PLTT tersebut akan merusak perairan Gelasa yang kaya dengan biota. Mulai dari terumbu karang, hingga sejumlah biota yang dilindungi seperti dugong [Dugon dugong], penyu sisik [Eretmochelys imbricata], penyu hijau [Chelonia mydas], penyu belimbing [Dermochelys coriacea], lumba-lumba [Tursiops truncatus], hiu pari [Rhynchobatus australiae], nautilus [Nautilus pompilius], dan lainnya.

“Perkiraan saya juga terjadi pelepasan karbon dari laut,” katanya.

Dampak berikutnya, ada ribuan masyarakat di Pulau Bangka dan pulau-pulau kecil, kehilangan sumber pangan dan ekonominya dari perairan Gelasa.

“Terlalu mahal kita menggunakan energi thorium itu. Dan, yang diduga kuat juga tidaklah bersih dalam prosesnya,” ujar Rizza.

Eko Bagus Sholihin, akademisi dari FISIP UIN Raden Fatah, menjelaskan thorium di Kepulauan Bangka Belitung didapatkan dari limbah timah. “Pengembangan monasit dari limbah timah menjadi thorium. Thorium salah satu mineral rare earth yang memiliki unsur radioaktif.”

“Ya, thorium ini didapatkan setelah adanya penambangan timah,” katanya.

Tapi, lanjutnya, hingga saat ini belum ada perusahaan di Indonesia yang siap memurnikan thorium. Bahkan nilai jual thorium sebagai bahan bakar nuklir belum diketahui.

“Setahu saya, ITB dan PT. Timah tengah mengkaji teknologi mineral thorium menjadi bahan bakar nuklir,” kata penulis buku “Merebut Laut: Kontestasi Wacana Lingkungan dan Tambang di Belitung Timur [2021]”.

Saat ini, lanjutnya, thorium dianggap menjadi “game changer” bagi pengembangan energi nuklir yang diklaim sebagai bahan baku lebih melimpah, lebih aman, tidak dapat dijadikan senjata nuklir, lebih efisien, dan lebih murah.

“Di dunia, pembangkit listrik tenaga thorium belum pernah beroperasi dalam skala komersial. Selain di Indonesia, China dan India juga sedang mengembangkan pembangkit listrik tenaga thorium,” kata Eko di hadapan seratusan peserta seminar dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Hari Laut Sedunia.

Kekayaan Pulau Gelasa

Berdasarkan hasil survei dan penelitian saat ekspedisi ke Pulau Gelasa yang dilakukan Universitas Bangka Belitung [UBB] yang didukung Mongabay Indonesia dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Kepulauan Bangka Belitung, pada 2022 lalu, ditemukan tiga ekosistem di Pulau Gelasa dan perairannya. Yakini mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.

Ada tiga spesies mangrove di sini; Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan Aegiceras corniculatum, di atas lahan seluas 2,5 hektar. Kemudian didapatkan tiga spesies lamun; Cymodocea serrulata, Enhalus accoroides, dan Halodule uninervis.

Sementara terumbu karangnya, berupa terumbu karang tepi [fringing reefs], luasnya mencapai 126 hektar. Ditemukan spesies karang yang tidak tersebar di perairan Kepulauan Bangka Belitung lainnya, yang secara visual seperti Anacropora spinosa, tetapi terdapat perbedaan pada polip axialnya yang cenderung lebih panjang.

Kemudian ditemukan karang masif [Asteropora] berukuran besar, dengan diameter 5-11 meter yang membentuk patch karang.

“Kemungkinan besar karang ini merupakan karang purba,” lanjut Rizza.

Selanjutnya, Pulau Gelasa merupakan tempat bertelur penyu hijau [Chelonia mydas], penyu sisik [Eretmochelys imbricata], dan penyu belimbing [Lepidochelys olivacea], yang dilindungi karena kondisinya terus kritis.

Perairan Pulau Gelasa juga menjadi habitat atau jalur sejumlah ikan dan mamalia laut, seperti ikan napoleon, mandarin fish, kima [giant clam],  sea snakeoctopus, dan squid.

Kemudian dugong, marlin, kerapu, moray eel, teripang, hiu hiu pari, trevallyanemone fish, lobster, bintan laut, lumba-lumba, barracudaparrot fish, kerang lola, acanthaster, serta pari manta, tenggiri, scorpion fish, dan nudibranc.

“Ini artinya Pulau Gelasa dan perairannya memiliki Nilai Konservasi Tinggi [NKT]. Jadi, Pulau Gelasa dan perairannya seharusnya ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Baik taman, suaka, maupun konservasi maritim,” kata Rizza.

Dari konservasi menjadi tapak PLTT

Berdasarkan penelusuruan Mongabay Indonesia, status Pulau Gelasa mengalami beberapa kali perubahan dalam sembilan tahun terakhir.

Pada 2014, berdasarkan RZWP3K [Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil] Kabupaten Bangka Tengah, ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pada 2019, pemerintah Kabupaten Bangka Tengah dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah [RTRW] menyebutkan Pulau Gelasa sebagai Kawasan Suaka Alam yaitu Cagar Alam dan Cagar Alam Laut seluas 50,83 hektar.

Setahun kemudian, pada 2020, berdasarkan RZWP3K [Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil] Kepulauan Bangka Belitung, perairan Pulau Gelasa dijadikan zona pariwisata, zona jalur migrasi mamalia, dan zona pertambangan laut.

Lalu, pada 2021, Pulau Gelasa direncanakan menjadi lokasi tapak PLTN oleh Thorcon. Pada 2023 ini, Pulau Gelasa resmi dinyatakan sebagai lokasi tapak pembangunan PLTT yang direncanakan akan dikomersilkan pada 2028. Diklaim, kajian ekologis sudah selesai dilakukan.

Sejumlah tanggapan dimunculkan para peserta seminar yang umumnya mahasiswa dan pegiat lingkungan hidup di Palembang, Sumatera Selatan.

Wisnu Akbar Prabowo, mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Raden Fatah, berharap pemerintah mengkaji ulang penggunaan energi nuklir di Indonesia. Termasuk menggunakan thorium tersebut, seperti yang akan dilakukan di Pulau Gelasa. Sebab selain tetap melepaskan karbon, juga belum ada bukti PLTT itu aman dari bencana radiasi.

“Setahu saya di Indonesia, masih banyak potensi energi bersih. Kita kan daerah tropis yang disinari matahari sepanjang tahun. Apalagi perubahan iklim seperti sekarang ini, justru matahari kian panas. Kenapa Indonesia tidak fokus saja pada pengembangan energi surya,” kata Ketua LPM [Lembaga Pers Mahasiswa] Ukhuwah.

Dian Maulina, Dosen FISIP UIN Raden Fatah, mengatakan Indonesia memiliki potensi energi bersih melimpah. Selain matahari, angin, air, juga arus laut. Untuk kebutuhan energi di Kepulauan Bangka Belitung yang banyak terdapat pulau-pulau kecil dan perairan laut, potensi besar matahari dan arus laut dapat dikembangkan.

“Penggunaan thorium, saya sependapat dengan apa yang yang disampaikan Rizza [narasumber] bahwa di hulunya juga kotor. Sebab, guna mendapatkan thorium harus dilakukan penambangan timah. Artinya, penambangan timah akan kian masif di Kepulauan Bangka Belitung. Bukan hanya di darat, juga di lautnya. Aktivitas ini jelas akan memengaruhi iklim global, dikarenakan terus terjadi pelepasan karbon dan metana,” katanya.

Mengutip penjelasan Dian Abraham dari Masyarakat Antinuklir Indonesia [Manusia], dijelaskan bahwa sudah empat periode rencana  PLTN di Indonesia digaungkan. Periode pertama [1970-an] gagal karena PLTN dianggap mahal. Periode kedua [1980-an – 11 Maret 1997], rencana ini dibatalkan Menristek BJ Habibie karena melihat tidak ada krisis energi.

Periode ketiga [2000-an – 2014], ide pembangunan oleh Menristek Hatta Rajasa dengan alasan krisis energi, namun gagal dibangun. Periode keempat [2014 – sekarang], keputusan pembangunan PLTN  ini diambil sepihak di tingkat kementerian.

 

Sumber : Mongabay.co.id

No More Posts Available.

No more pages to load.