Oleh :
Dr. Muhadam Labolo
(Penulis, Peneliti dan Akademisi pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Partai Golkar di guncang isu kudeta. Seakan mengulang kembali kutukan menjelang pemilu tahun 2014 dan 2019. Golkar bukan partai yang tumbuh kemaren sore lalu menjulang tinggi oleh media karena sering di tonton. Golkar punya sejarah panjang soal suksesi internal dan kendali kekuasaan di negeri ini. Sayang bila rapuh dan masuk museum laksana Dinosaurus.
Prahara itu nyatanya tak hanya menerpa Golkar. Dalam 10 tahun terakhir hampir semua partai politik mengalami turbulensi internal. Sebut saja PPP, Hanura, PKS, PAN dan Demokrat. Hasilnya terbentuk partai baru, atau terkonsolidasinya partai lewat kemampuan elit membangun soliditas. Minusnya, basis konstituennya bercerai-berai ke partai yang dianggap jauh relatif stabil.
Partai politik adalah kantong kepemimpinan dalam sistem politik modern. Disana bakal calon di rekrut dan di kader sampai matang, lalu di jual ke publik lewat mekanisme pemilu. Bila kandidatnya laku keras, maka partai akan menguasai pemerintahan dalam waktu tertentu. Bila tak layak, partai akan duduk sebagai minoritas oposisi. Sisanya melamar jadi sahabat lewat koalisi sesaat.
Tanpa partai kita sebenarnya dapat bersandar pada kemampuan individu secara traditional. Monarchi tak butuh partai. Cukup menanti anak-cucu raja, kita dengan sendirinya dipimpin oleh dinasti. Tanpa partai kita pun bisa dipimpin oleh individu yang punya kharisma spiritual. Teokrasi tak butuh partai. Dia hanya perlu ditasbihkan oleh sekelompok orang atas nama Tuhan.
Sama halnya dengan partai. Intrik dalam sirkulasi monarchi penuh dengki, hasut dan pembunuhan karakter. Tak perlu jauh, lihat saja Keraton Surakarta. Hanya yang kuat yang menang. Dalam sistem teokrasi pun demikian. Atas nama Tuhan rotasi kekuasaan bisa menyimpan kesumat saling melenyapkan. Contoh transisi kekhalifahan. Kuncinya, sejauh elit disiplin memegang konsensus, pemerintahan dapat stabil. Lalu apa yang mesti dilakukan?
Pertama, partai butuh kedisiplinan tinggi untuk menjalankan konsensus. Kebiasaan kader yang ambisius dan memaksakan kehendak sepihak membuat partai tak lebih dari sekumpulan gangster yang berebut posisi. Setiap suksesi memiliki kanalisasi lewat statuta partai yang di sebut anggaran dasar dan rumah tangga. Bila semua merunduk ke aturan main, tak perlu ada pembelahan. Bukankah jalan keluar administrasi, etik, politik, dan hukum terbuka lebar.
Kedua, tentu saja penegakan aturan main membutuhkan kepemimpinan yang kuat. Tanpanya, setiap kelompok akan memanfaatkan momentum untuk saling mendominasi. Megawati memperlihatkan disiplin itu di PDIP. Kelangkaan pemimpin kuat mendorong elit partai berlaku seperti segerombolan Singa lapar yang sedang mengkalkulasi kepemimpinan paling lemah dalam keluarga untuk diganti. Popularitas ketua partai yang tak mengungkit di nilai gagal.
Ketiga, mengurangi konflik internal partai sesungguhnya membatasi intervensi penguasa. Dalam kata lain, semakin luas eskalasi konflik dengan sendirinya membuka pintu selebar mungkin bagi pihak lain untuk turut menggagahi. Partai bukan saja terancam pecah, dipecahkan, bahkan dianeksasi lewat invisible hand. Cukup kasus Partai Demokrat jadi pelajaran. Akhirnya, sadar atau tidak partai tersandera sekaligus berhutang budi. Disini dilema yang memaksa partai harus berkoalisi. Itu pelajaran konflik internal partai politik.