KILASBABEL.COM – Dalam sejarah Indonesia, banyak muslimah yang berperan sebagai pejuang kemerdekaan. Para perempuan pejuang ini merupakan tokoh inspiratif yang telah berkontribusi dalam perjuangan dan perkembangan Islam Indonesia, baik dalam bidang dakwah maupun pendidikan.
Salah satu pejuang perempuan yang paling terkenal adalah Raden Adjeng Kartini. Dia ikut melawan penjajah Belanda dan ikut serta dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ada juga nama Cut Nyak Dhien yang juga memiliki semangat patriotisme dan mencintai bangsanya.
Berikut Pejuang Muslimah untuk Kemedekaan:
1. Asmah Syahruni
Asmah Syahruni merupakan sosok muslah pemberani dan pernah memimpin Muslimat NU selama tiga periode. Dia adalah putri dari pasangan Bahujar dan Imur yang lahir pada 28 Februari 1927 di Rantau, Kalimantan Selatan.
Pada zaman pendudukan Jepang, Asmah Syahruni aktif di Fujinkai, perkumpulan wanita bentukan Jepang di daerah-daerah yang diketuai oleh bupati. Saat itu, semua organisasi wanita pribumi yang ada dibubarkan.
Akibat kekalahan Jepang dari Belanda menjadikan situasi yang tidak menentu. Peran Asmah sebagai guru kemudian dipakai menjadi penghubung antara pasukan pedalaman dan pasukan kota, dan penghubung makanan untuk orang yang peduli dengan perjuangan.
Dalam perjuangannya, Asmah sangat mencintai Muslimat NU. Karena itu, walaupun telah melepaskan jabatannya sebagai ketua umum, Asmah masih mendampingi Muslimat dan kader-kader Muslimat NU dalam berbagai aktivitas. Hingga akhirnya ia wafat pada 2 Juni 2014.
2. Rasuna Said
Pahlawan selanjutnya yang perlu diketahui adalah Rasuna Said atau dikenal sebagai Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Dia adalah pahlawan nasional yang memperjuangkan hak-hak wanita, dan pentingnya kaum wanita dalam proses meraih kemerdekaan.
Rasuna Said lahir pada September 1910 di Maninjau, Sumatera Barat. Untuk terus mengenang perjuangannya, pemerintah Indonesia menetapkan dia sebagai pahlawan nasional sejak 1974. Rasuna Said meninggal karena kanker pada 2 November 1965. Jenazahnya dikebumikan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta.
3. Famajjah (Opu Daeng Risaju)
Muslimah Indonesia berikutnya adalah Famajjah atau dikenal juga sebagai Opu Daeng Risaju.
Dia adalah pejuang perempuan asal Sulawesi Selatan yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Dia lahir di Palopo Sulawesi Selatan pada 1880 M. Semasa kecilnya, Famajjah belajar ilmu agama seperti mengkaji Alquran dan mempelajari ilmu fikih yang ditulis oleh tokoh penyebar agama Islam di Sulawesi Selatan, Khatib Sulaweman Datung Patimang.
Dalam sejarahnya, Famajjah dikenal sebagai pahlawan nasional atas jasanya menentang penjajahan Belanda, serta membangkitkan dan memobilisasi para pemuda untuk melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.
Sebagai seorang yang tidak mengenyam pendidikan formal, Famajjah mengenal dan mempelajari bidang politik saat tergabung aktif sebagai anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Dia wafat pada 10 Februari 1964 dan dimakamkan di perkuburan raja-raja Lokkoe di Palopo.
4. Raden Adjeng Kartini
Muslimah pejuang kemerdekaan yang sudah tak asing ditelinga adalah Raden Adjeng Kartini Djojo Adhiningrat. Dia lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah dari keluarga ningrat dan merupakan keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono VI.
Kartini merupakan sosok pahlawan yang dikenal memperjuangkan emanispasi wanita Indonesia. Salah satu landasan perjuangannya didasari pada adanya ketimpangan sosial yang dirasakan antara perempuan dan laki-laki di tanah Jawa.
Muslimah muda ini terus berjuang membela perempuan agar bisa mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki, salah satu diantaranya ialah kebebasan mengenyam pendidikan. Beberapa hari setelah melahirkan, akhirnya Kartini wafat dalam usia yang masih sangat muda 25 tahun, tepatnya pada 17 September 1904.
5. Siti Walidah
Siti Walidah adalah pahlawan yang berperan aktif dalam berkiprah di ranah pendidikan, khususnya bagi perempuan. Dia lahir di Kampung Kauman pada tahun 1872 M, putri dari H. Muhammad Fadhil bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim, penghulu Kraton Yogyakarta.
Dalam perjuangannya, ia bersama dengan suaminya, KH Ahmad Dahlan, membangun sekolah-sekolah yang dirikan untuk masyarakat, yang selanjutnya digunakan sebagai tempat untuk mencerdaskan masyarakat dalam hal pendidikan agama ataupun umum.
Pada September 1971, berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia Nomor 042/TK/1971, Siti Walidah diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Siti Walidah wafat pada 31 Mei 1946 di kediamannya di Kauman Yogyakarta. Ia dimakamkan di Kauman, tepatnya di belakang Masjid Besar Yogjakarta.
6. Cut Nyak Dhien
Muslimah pejuang kemerdekaan selanjutnya yang datang dari Aceh adalah Cut Nyak Dien. Dia lahir tahun 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI Mukim, Aceh Besar. Selama hidupnya, dia terus berjuang dalam perlawanan melawan penjajah secara langsung.
Tercatat dalan sejarah, bergabungnya Cut Nyak Dien berhasil meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh dalam melawah penjajah Belanda. Cut Nyak Dhien wafat pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
Atas perjuangan yang dilakukan sampai akhir hayatnya, Presiden Soekarno melalui SK Presiden RI Nomor 106 tahun 1964, menetapkan Cut Nyak Dien sebagai pahlawan nasional pada 2 Mei 1962.
7. Sultanah Safiatuddin Syah
Sultanah Safiatuddin Syah tercatat sebagai pemimpin wanita pertama di Kesultanan Aceh Darussalam. Dia diangkat sebagai pemimpin setelah suaminya Sultan Iskandar Tsani wafat pada 1641 M.
Sulthanah Shafiatuddin lahir di Aceh Darussalam pada 1612 dengan nama kecil Putri Sri Alam. Dia merupakan putra dari Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.
Selama memimpin, dia membuat ragam bentuk strategi pemerintahan, seperti mengembangkan ilmu pengetahuan, menjaga stabilitas politik di tengah kolonialisme bangsa barat, membuat sistem pemerintahan yang efektif, mengatur komunikasi politik, ataupun memberikan zakat kepada masyarakat yang membutuhkan.
Selain itu, dalam hal menjaga martabat perempuan di Aceh, Sultanah Safiatuddin juga merancang beberapa strategi, di antaranya menyusun undang-undang khusus tentang wanita, serta strategi mengangkat kedudukan wanita.
Setelah memimpin kerajaan selama 58 tahun, Sulthanah Safiatuddin wafat pada 1675. Sepeninggal sang ratu, Kesultanan Aceh Darussalam teeus dipimpin oleh para perempuan tangguh sampai 24 tahun setelahnya.
8. Laksamana Malahayati
Keumalahayati atau akrab disebut Laksamana Malahayati, memiliki perjalanan perjuangannya sendiri. Ia dilahirkan di Aceh Besar pada 1550. Dalam masa perjuangan melawan Belanda, dia diangkat sebagai laksamana oleh Sultan Aceh dan diamanahkan untuk memimpin pasukan Inong Balee.
Dalam sejarahnya, Malahayati dikenal sebagai tokoh perempuan yang ahli di medan perang, dan mahir mewakili Sultan Aceh untuk melakukan perundingan damai dengan pihak Belanda.
Atas jasanya tersebut, akhirnya pemerintahan Indonesia memberi gelar pahlawan kepada Laksamana Malahayati mendapat pada 10 November 2017. Malahayati wafat pada 1615. Makamnya terletak di Desa Lamreh, Kecamatan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Sumber : Republika