Perjalanan Industri Sawit Masuk ke Indonesia, dari 4 Biji Kini Jadi Jutaan Hektare

oleh -933 Dilihat
Foto : ilustrasi. (IDX Channel)

KILASBABEL.COM – Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, yang memiliki kontribusi signifikan terhadap devisa negara, penciptaan lapangan kerja, dan pembangunan ekonomi.

Ketua GAPKI Bidang Pengembangan SDM Sumarjono Saragih menceritakan perjalanan industri sawit masuk ke Indonesia pertama kali adalah tahun 1848 yang mulanya hanya 4 biji saja. Kemudian, mulai dikomersilkan 1911 di Aceh yang mulanya hanya 30 hektare saja.

“Sampai saat ini sudah ada sekitar 16 juta hektar dan menobatkan Indonesia sebagai penghasil minyak sawit terbesar dunia,” kata dia dikutip Jumat (1/9).

Namun, dibalik kesuksesan dan kontribusi tersebut, terdapat praktek-praktek seperti upah murah, ketidakpastian kesejahteraan, dan perlakuan tidak adil terhadap buruh, menjadi perhatian bersama secara serius.

Sumarjono tak menapik adanya pekerjaan rumah yang dihadapi oleh pengusaha sawit saat ini. Oleh karena itu kolaborasi multipihak yang dipimpin oleh pemerintah sangat diperlulan.

“Karena di sini ada 58 persen (kebun kelapa sawait) milik perusahaan, 42 persen adalah petani. Yang di mana, petani ini tidak semua kecil, artinya di sana ada tanggung jawab yang harus dijalankan,” jelas dia.

Oleh karena itu, pihaknya tak menutup diri untuk mendapat masukan dari berbagai pihak. Sehingga, dapat ditemukan solusi bersama untuk menyelesaikan persoalan yang di hadapi pengusaha dan buruh di perkebunan kelapa sawit.

Sebaran Sawit di Indonesia

“Sawit tersebar di 160 Kabupaten ini masih minim pengawasan. Jadi ada kadang-kadang kelupaan hak-hak dan kewajiban. GAPKI sebagai organisasi pengusaha yang sifatnya sukarela. Oleh karena itu, kita menjadi organisasi yang terbuka. Kita coba sama-sama apa yang bisa dilakukan sesuai tugas masing,” jelas dia.

Ketua Pimpinan Pusat Federasi Pertanian, Perkebunan, Perikanan, dan Kehutanan Sarbumusi (PP-F-P4K Sarbumusi) Fahri Fatur Rakhman mengatakan, pada 2022 lalu, luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia ini mencapai 14,99 juta hektare (ha). “Jumlah itu meningkat 2,49% dibandingkan 2021 atau pada tahun sebelumnya yang seluas 14,62 juta ha,” ungkap dia.

Data Pekerja Sawit

Koordinator Koalisi Buruh Sawit (KBS) Hotler Parsaoran menyoroti belum adanya data buruh yang baku untuk dijadikan rujukan. Pasalnya, versi GAPKI terdapat 16 juta buruh, Kadin sebanyak 21 juta, KBS sebanyak 20 juta buruh dan pemerintah 16,2 juta buruh.

“Kita belum bisa menemukan data yang bisa menjadi acuan, sebenarnya jumlah buru berapa orang? Karena itu, ke depannya ada acuan data yang menjadi acuan,” jelas dia.

Lebih lanjut, Hotler meengatakan masih adanya praktik kontak yang belum jelas antara pengusaha dengan buruh. Sehingga, pekerjaan yang dilakukan buruh tidak bisa dipertanggungjawabkan.

“Tidak ada kontrak kerja ini mengakibatkan apa yang terjadi antara pekerja dan buruh tidak bisa bertanggung,” papar Hotler.

Selain itu, dari aspek jaminan sosial, para buruh belum mendapat hak-haknya. Belum lagi, terkait dengan kondisi buruh lepas yang mayoritas adalah perempuan.

Ia menyatakan, kesejahteraan buruh harus menjadi pilar utama keberlanjutan industri kelapa sawit yang ideal. “Memang masih ada banyak PR. Karena itu, kita telah membuat naskah akademik dan kita harap bisa membahasnya secara bersama sebagai langkah startegis kebijakan,” papar dia.

Masa Depan Industri Sawit Ditentukan Pihak Ini, Indonesia Bisa Apa?

Saat ini Industri sawit di Indonesia sedang dihadapkan dengan polemik Undang-undang Eropa atau EU Deforestation Regulation (EUDR), yang dianggap menghambat perdagangan produk-produk tertentu dari Indonesia, salah satunya kelapa sawit.

Akademisi dan Ketua LPEM UI dari Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha, mengatakan masa depan industri sawit ditentukan oleh siapa yang mengendalikan harga sawit internasional.

Selama ini, Eropa terus saja melakukan berbagai cara untuk menghambat kemajuan sawit Indonesia, karena Eropa menguasai Bursa Sawit, tempatdimana harga sawit dikendalikan.

“Masa depan industri sawit itu sebetulnya dikendalikan oleh siapa yang mengedalikan harga sawit. Harga internasional sawitnya itu siapa yang bisa membuat masa depan sawit Indonesia ini berkembang,” kata Eugenia Mardanugraha dalam workshop GAPKI ‘HGU Perkebunan sawit dan kawasan hutan’, di Bandung, Kamis (24/8/2023).

Adapun regulasi seperti EUDR maupun regulasi-regulasi lainnya yang dilontarkan Uni Eropa, merupakan upaya mereka untuk mengendalikan harga sawit internasional atau dengan kata lain mengendalikan Indonesia.

Menurutnya, Indonesia tidak dapat mengendalikan harga sawit dengan mengendalikan pasokan saja, melainkan harus dengan mengurangi ekspor jika harga jatuh, menambah ekspor jika harga tinggi, namun harus menguasai pasar keuangan atau bursa sawit tempat perdagangan sawit terjadi.

“Kalau mau mengendalikan harga itu tentu harus mengendalikan bursanya oleh Indonesia. Kan pedagang sawit yang berdagang pada bursa sawit Indonesia,” ujarnya.

Regulasi Sawit

Euginia menjelaskan, dalam regulasi sawit semua masih mengacu pada harga internasional sawit Malaysia dan Rotterdam. Ini mencerminkan Indonesia ini belum memegang kembali penentuan harga, dan tentu menjadi persoalan utama.

“Jadi, masa depan sawit itu ditentukan bagaimana kita berjuang untuk mengendalikan harga tersebut,” katanya.

Oleh karena itu, ia mendorong agar Indonesia harus menguasai pasar keuangan. Sebab dalam membangun industri ini, tidak cukup hanya dengan mengendalikan pasokan saja.

Semakin maju pasar keuangan atau bursa sawit Indonesia, Eropa (Belanda) semakin kehilangan kekuatan untuk mengendalikan harga. Maka, Indonesia harus membangun pasar keuangan sawit yang mapan dan mendukung iklim usaha industri hingga dapat mengalahkan Belanda dan Malaysia.

 

Sumber : liputan6.com

No More Posts Available.

No more pages to load.