KILASBABEL.COM – Tahun depan, masyarakat Indonesia akan segera melaksanakan pesta rakyatnya, yaitu pemilihan umum eksekutif dan legislatif. Dalam beberapa waktu terakhir, beragam sosok muncul ke permukaan untuk mulai memperkenalkan diri dan berharap suara dari rakyat.
Dalam euforia kontestasi seperti ini, sering juga muncul sentimen tentang agama dan politik. Tidak sedikit yang berpendapat agar dua hal ini dipisahkan, bahkan melarang politik di rumah-rumah ibadah, dengan alasan menjaga kesuciannya. Namun, apakah benar politik tidak boleh dibicarakan di mimbar agama, termasuk masjid?
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin menyebut di mimbar agama bukan berarti tidak boleh membahas soal politik. Ia beralasan, politik dibagi menjadi dua, yaitu tingkat tinggi dan rendah.
“Harus dibedakan. Di mimbar-mimbar agama, rumah ibadah, bukan berarti tidak boleh bicara politik. Sangat boleh. Bahkan harus menurut saya bicara politik, tapi politik tingkat tinggi,” ujar dia dalam kegiatan Islamic Book Fair di Istora, Jakarta, Kamis (21/9).
Politik tingkat tinggi, menurut dia, adalah politik yang berisikan inti pokok agama itu sendiri. Contohnya perihal keadilan, persamaan di depan hukum, kemanusiaan, mewujudkan kedamaian, menjaga kerukunan adalah inti dari agama.
Sementara, politik tingkat rendah berorientasi pada kekuasaan sesaat dan kepentingan kelompok. Hal ini bukan mengarah pada kepentingan secara keseluruhan.
“Jangan bicara tentang politik pragmatis, politik praktis, di rumah ibadah. Itu akan memecah kita, karena berisi kepentingan sesaat, kelompok dan golongan tertentu. Di antara kita, sesama umat beragama, sesama Islam, bisa berbeda aspirasinya,” lanjut Lukman Hakim.
Ia pun mengingatkan untuk tidak menjadikan mimbar agama sebagai medium untuk memecah sesama manusia atau sesama umat beragama. Agama tujuannya untuk menyatukan dan merekatkan.
Di sisi lain Sekretaris Umum (Sekum) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut, ketika berbicara sejarah, maka khutbah Jumat adalah arena politik. Hal ini dapat dilihat dalam masjid-masjid milik NU, yang mana setiap akhir khutbah, khatib akan menutup dengan bacaan ayat Alquran.
“Kalau dilihat dari sejarahnya, itu ditetapkan pada masa Umar bin Abdul Aziz. Ketika beliau menjadi kholifah, ia mewarisi konflik antara pengikut bani Abasyah dan bani Umayyah,” ujar dia.
Di masa itu, ketika bani Umayyah berkuasa, melarang keturunan Ali atau bani Abasyah ke mimbar, meskipun ia adalah orang alim. Hal ini juga berlaku ketika bani Abasiyah berkuasa.
Ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa, ia membuat kebijakan semua khatib haurs membaca ayat itu. Ini adalah suatu bentuk instruksi dari khalifah, bahwa semua orang harus berlaku adil, tidak boleh premordial dan sektarian.
“Ini politik, yang sifatnya high politic. Harus adil, itu perintah Alquran. Harus jujur, perintah Alquran. Namun ketika kemudian pilihlah pemimpin yang adil dan jujur namanya Abdul Mu’ti, itu praktis,” guraunya.
Selanjutnya, Abdul Mu’ti menyebut setiap orang harus memahami rambu-rambunya. Jangan sampai ada yang yang menggunakan dalil untuk memilih orang atau partai, atau menjual ayat untuk memilih.
Antara politik praktis dan politik tingkat tinggi sebetulnya sudah jelas berbeda. Yang menjadi tantangan adalah apakah bisa tidak melampaui batas-batas yang tidak menjadi bagian dari kewenangan-kewenangannya. Ia menyebut banyak persoalan politik muncul ketika melampaui batas-batas yang bukan kewenangannya.
Sumber : Republika.