Oleh :
Muhadam
(Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Menyiapkan pemimpin ideal dalam pemilu mengetuk nurani kita sebagai pemilik kedaulatan untuk menentukan pemimpin 278,69 juta jiwa dalam 5 tahun kedepan. Tentu saja kita perlu menyiapkan ukuran-ukuran semesta hingga yang paling dekat dengan imaji dan masalah bangsa ini. Tanpa kriteria, kita turut membunuh masa depan pemerintahan.
Ukuran semesta biasanya lekat dengan bayangan universalitas kepemimpinan. Dalam konteks itu kata Warren Buffett (Maman, 2023), kita butuh pemimpin yang punya tiga nilai, yaitu integrity, intellegencia & energy. Dalam konteks keindonesiaan, rasanya kita telah lama kehilangan tiga nilai penting itu.
Integritas bertalian dengan kata integer (latin), artinya sikap yang ditunjukkan lewat kesatuan yang utuh antara gagasan dan tindakan. Bukan pagi bicara tempe, malam menggoreng tahu. Kesenjangan itu membuat publik kehilangan trust. Integritas menampakkan kejujuran yang kini langka bagi seorang pemimpin.
Hilangnya integritas terlihat jelas lewat pelanggaran etika yang kian mendekati tubir. Hampir tak ada intitusi yang luput dari perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme. Semua prilaku tabu yang diruntuhkan sejak Orde Baru kini menjadi panorama sehari-hari yang mudah disaksikan dari level tertinggi hingga terendah. Kita butuh panutan integritas itu agar menetes ke bawah.
Inteligensia berhubungan dengan intelectus atau intelegere (latin), adalah status dimana calon pemimpin memperlihatkan pikiran yang sehat melalui kemampuan menerjemahkan pengalaman masa lalu kedalam masalah yang dihadapi hari ini. Dalam ungkapan populer evolusi Darwin, kemampuan pikiran beradaptasi dengan realitas kekinian.
Kita pernah mencapai titik tertinggi sebagai macan asia. Demokrasi kita pernah jauh lebih beradab dan efisien ketimbang hari ini. Beradab dalam arti musyawarah untuk mufakat, bukan kehendak rakyat pandir yang dipaksa memilih. Efisiensi membuahkan laba lebih untuk pembangunan rakyat, bukan dihambur percuma lewat saweran.
Intelegensia diperoleh lewat pendidikan dan pengalaman panjang. Bukan datang tiba-tiba membawa seribu satu gagasan dari ranjang pengantin tanpa diuji. Intelegensia bukan pikiran kecil untuk urusan pribadi, tapi pikiran besar untuk orang banyak. Kata Aristoteles, pikiran kecil untuk buzer, pikiran sedang untuk influencer, pikiran besar untuk leader.
Nilai ketiga bagi seorang pemimpin adalah energi (ergon, Yunani), yaitu kemampuan yang digunakan melalui berbagai proses untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Energi dibutuhkan untuk mengelola sumber daya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan sekaya-kayanya oligarki. Sumber energi utama adalah spiritualitas sebagai pelita yang memandu pemimpin ke jalan benar.
Tantangan kita hari ini adalah ketimpangan mengelola energi hingga meletakkan kita di pojok kesendirian sebagai bangsa yang tak berkutik di hadapan kaum kapitalis. Dengan energi dalam dirinya, pemimpin berani menghentikan ketamakan oligarki menyedot hasil bumi untuk kekayaan pribadi dan kroninya.
Ketiga nilai itu tentu punya bobot berbeda. Andaipun intelegensia dan energi sang pemimpin tak seberapa, kita tak perlu khawatir sepanjang integritas terjaga. Kenyataan hari-hari ini menunjukkan kepemimpinan kehilangan nilai itu ketimbang intelegensia dan energi. Tanpa intelegensia dan energi kita mungkin masih dapat bertahan. Namun tanpa integritas bangsa ini hanya menunggu rontok.
Kata Vladimir Putin (2023), kita bisa berharap pemilu mampu melahirkan pemimpin dalam setiap periode, namun tanpa integritas pada penyelenggara pemilu, kita bisa membayangkan pemimpin seperti apa yang akan dihasilkan di kelak hari. Dalam banyak kasus, pemilu bukan dimenangkan rakyat di TPS, tapi oleh kelihaian pengelola data yang memproses dan menyajikannya dengan canggih kehadapan kita. (*)