Oleh :
Muhadam
(Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Revisi UU ASN selesai di ketuk, masih hangat, masih basah kata orang. Salah satu poin penting yang menarik dicermati adalah peluang mobilitas ASN masuk ke ruang militer dan kepolisian. Sebuah kebijakan yang mungkin disandarkan pada asas resiprokal. Bila selama ini personil militer dan polisi aktif lalu-lalang ke meja birokrasi sipil, mengapa tak sebaliknya? Problemnya, apakah asas itu mendukung profesionalitas birokrasi?
Profesionalitas merujuk pada profesi, pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian. Cakupannya meliputi mutu, penguasaan, dan keajegan atas keduanya (Egok, 2019). Sementara resiprokal bermakna perbuatan timbal balik atau berbalasan agar tercapai keseimbangan, termasuk untung ruginya (proporsionalitas). Artinya, konsekuensi apapun wajib diterima sebagai tanggungjawab dalam jabatan, bukan sekedar ambil untung.
Bila mobilitas ASN dan non ASN didasarkan pada asas di atas penting diingat pertama, konsekuensi hukum bagi pejabat non ASN di ruang sipil mesti diberlakukan sama dengan ASN pada umumnya. Hal ini untuk memperlihatkan keseriusan asas proporsionalitas dan kepastian hukum. Tak adil rasanya pejabat non sipil melakukan pelanggaran hukum di ranah sipil tapi berlindung di jaket hukum non sipil. Kasus pejabat BNPB tempo hari cukup jadi pelajaran.
Kedua, perlu disadari bahwa birokrasi non sipil dan sipil punya kekhasan. Ruang non sipil seperti militer (juga polisi) terbiasa dengan kultur birokrasi klasik yang ketat hirarkhi, struktural, ego-sistem, legalistik, dan formalitas. Sementara ruang birokrasi sipil kini lebih adaptif, fleksibel, fungsional, eco-sistem, dan para-legalistik. Memaksakan mobilitas pada jabatan tertentu tidakkah melawan asas profesionalitas.
Ruang birokrasi sipil yang tak kaku, adaptif, dan fungsional itu seringkali berubah nuansanya ketika dimasuki pejabat non sipil. Bagi sipil, kepatuhan pada sistem dan proses sama pentingnya dengan kepatuhan pada atasan dan hasil akhir. Cara kerja itu beda dengan tentara dan polisi (Connie, 2023). Ruang non sipil cukup perintah, ruang sipil butuh musyawarah. Bila dipaksa, sama dengan menukar ikan lele ke air asin dan ikan tuna ke air tawar.
Ketiga, salah satu penguat profesionalitas ketika rekam jejak seseorang terlihat dalam masa karir hingga level tertinggi. Untuk duduk di jabatan pimpinan tinggi pratama/madya (eselon 2 dan 1), ASN butuh syarat pernah duduk di jabatan yang setidaknya serumpun dengan kategori jabatan yang dilelang. Sulit membayangkan track record tentara dan polisi ke arah itu bila tak pernah sekalipun duduk di jabatan yang linier di posisi itu, apalah lagi tanpa lelang dan langsung duduk manis.
Keempat, budaya organisasi sipil yang menekankan proses, menegaskan bahwa organisasi sipil butuh pemimpin yang tak hanya paham seluk-beluk birokrasi, juga manusiawi, beradab, akomodatif, dan fungsional, bukan otoriter dan formalistik. Bila tentara dan polisi ramai masuk ranah sipil, tak jarang kultur organisasi kembali ke birokrasi purba, penuh formalitas, simbolisasi dan pedang-pora. Ini berkonsekuensi pula ke layanan masyarakat yang high cost.
Kelima, rasio polisi dan tentara dibanding jumlah penduduk yang kini mencapai 278,69 juta, jelas tak seimbang. Dengan rasio sekitar 1:700 penduduk, jumlah polisi hanya mampu mencapai 62,3% (436.432) dari total kebutuhan (Mustajab, 2023). Meski jumlah polisi Indonesia termasuk kelima terbesar di dunia, tetap saja rasio perlindungan masyarakat masih rendah.
Rasio tentara pun lebih rendah lagi di banding polisi yang mencapai sekitar 438.410 orang. Sekalipun militer Indonesia termasuk kelas wahid di Asia Tenggara, namun rasio perlindungan terhadap masyarakat hanya sekitar 0,00613% (Sandi, 2021). Fakta ini jelas jauh beda dengan Malaysia yang rasio tentara dan masyarakatnya lebih sedikit.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap polisi dan tentara masih jauh dari rasio ideal sebuah negara, sekitar 1:450 atau 225 petugas untuk setiap 100.000 warga sipil. Bila semua tentara dan polisi bermigrasi ke ruang sipil, bisa dibayangkan kondisi barak yang kosong dan nihilnya pelindung masyarakat.
Keenam, kendatipun terbuka resiprokalitas itu, namun posisi birokrasi non sipil seperti militer dan kepolisian hanya menyediakan jabatan-jabatan supporting seperti tata usaha, perencanaan, dan perpustakaan, bukan jabatan strategis menimbang kerahasiaan jabatan pada jalur komando. Sementara birokrasi sipil terbuka dari low, middle dan top manajer seperti dirjen dan sekjen.
Ketujuh, ketiadaan starting yang sama dalam kasus selter ketika open biding seringkali menuai kecaman ASN. Tak jarang jabatan sipil hanya batu loncatan meraih bintang, atau memperpanjang masa jabatan yang selisihnya beda 2 tahun. Kita juga tak banyak paham apakah kinerja birokrasi yang diisi non sipil lebih baik dari ASN. Ambil contoh BNN yang sebagian besar isinya polisi namun angka peredaran narkoba relatif tak terkendali.
Terbukanya peluang pada sejumlah departemen sejak UU ASN lama sebenarnya telah menjadi warning. Apalagi tim reformasi hukum baru-baru ini mengingatkan agar perlu pembatasan tentara dan polisi dalam ranah sipil (Mahfud, 2023). Simpelnya, kembalinya dwi fungsi lewat UU ASN penting diwaspadai guna mencegah gagalnya reformasi birokrasi, kembalinya otoritarianisme gaya baru, serta redupnya meritokrasi. (*)