KILASBABEL.COM – Perubahan iklim dapat memainkan peran utama dalam mempengaruhi kesehatan mental kaum muda. Hal ini diungkap dalam sebuah laporan baru dari American Psychological Association.
Laporan hasil kerja sama dengan organisasi advokasi iklim ecoAmerica tersebut, mendokumentasikan bagaimana peristiwa-peristiwa lingkungan yang terkait dengan perubahan iklim, termasuk bencana cuaca, panas yang ekstrem dan kualitas udara yang buruk, dapat memicu atau memperparah masalah kesehatan mental anak-anak dan remaja.
Bencana alam dapat menyebabkan gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD) pada kelompok-kelompok ini. Masalah jangka panjang seperti gelombang panas, kekeringan, dan kualitas udara yang buruk dapat meningkatkan risiko kecemasan, depresi, gangguan bipolar, agresi, gangguan kognitif, dan banyak lagi.
“Laporan ini mendokumentasikan kerugian psikologis yang terjadi saat ini pada anak-anak dan remaja di negara kita. Ini bukanlah masalah yang bisa kita tunggu dan selesaikan nanti. Sebagai masyarakat, kita harus bertindak sekarang,” kata direktur senior psikologi terapan dari asosiasi tersebut, Dr Dennis P Stolle, seperti dilansir CNN, Kamis (13/10).
Laporan ini merupakan tindak lanjut dari studi tahun 2021 yang dilakukan oleh American Psychological Association dan ecoAmerica. Ini adalah studi terbaru dari serangkaian studi yang dilakukan oleh kedua organisasi tersebut sejak tahun 2014. Studi ini tidak melibatkan eksperimen baru, melainkan merangkum penelitian yang sudah ada tentang perubahan iklim, kesehatan mental, dan perkembangan anak muda.
Sue Clayton, seorang profesor psikologi di College of Wooster dan penulis utama laporan, menjelaskan bahwa peristiwa cuaca terkait perubahan iklim membuat anak-anak lebih rentan terhadap konsekuensi kesehatan mental. Pasalnya, anak muda mungkin tidak memiliki strategi penanggulangan seperti yang dimiliki orang dewasa.
Jika orang tua mengalami stres akibat kesulitan yang terkait dengan peristiwa lingkungan, seperti panas yang ekstrem atau kebakaran hutan, hal ini juga dapat memengaruhi kesehatan mental anak-anak mereka.
Laporan tersebut juga mengungkap bahwa konsekuensi kesehatan mental bisa dimulai bahkan sebelum seorang anak dilahirkan. Paparan prenatal terhadap bencana cuaca, suhu tinggi, polusi udara, dan kecemasan ibu dapat meningkatkan risiko anak terhadap berbagai masalah perilaku dan perkembangan, termasuk kecemasan, depresi, ADHD, keterlambatan perkembangan, kontrol diri yang rendah, dan gangguan kejiwaan.
“Konsekuensinya dapat memengaruhi perkembangan sistem saraf dan sering kali tidak dapat dipulihkan,” tegas Clayton.
Bagi bayi dan anak kecil, peristiwa cuaca yang terkait dengan perubahan iklim dan paparan laporan berita terkait hal itu, dapat menyebabkan kecemasan, masalah tidur, PTSD, gangguan perkembangan kognitif, dan gangguan depresi berat.
Adapun remaja, tidak hanya rentan terhadap dampak kesehatan mental dari bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim, tetapi juga dapat terpengaruh secara tidak langsung. Peristiwa cuaca, panas, dan polusi dapat mengganggu kehidupan anak: kelas mungkin dibatalkan, rumah mereka mungkin rusak, atau mereka mungkin mengalami kerawanan pangan.
Remaja dan dewasa muda, menurut laporan tersebut, sangat cemas dengan perubahan iklim. Dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang lebih tua, kaum muda lebih cenderung khawatir atau prihatin tentang kegagalan pemerintah atau tokoh-tokoh yang memiliki otoritas untuk bertindak terhadap perubahan iklim.
Menurut laporan, kejadian-kejadian yang berhubungan dengan perubahan iklim dan kekhawatiran akan masalah ini berkaitan dengan risiko kecemasan, depresi, hubungan sosial yang tegang, dan bunuh diri. “Mereka khawatir tentang hal itu karena mereka tahu hal itu akan mempengaruhi masa depan mereka. Bagaimana Anda merencanakan masa depan jika Anda tidak tahu seperti apa masa depan itu?” kata Clayton.
Para peneliti mencatat bahwa tidak semua anak muda mengalami dampak kesehatan mental akibat perubahan iklim dengan cara yang sama. Orang-orang dari latar belakang yang terpinggirkan atau berpenghasilan rendah, termasuk masyarakat adat, masyarakat kulit berwarna, perempuan, dan penyandang disabilitas, lebih mungkin terpapar cuaca ekstrem.
Dibandingkan dengan orang-orang di daerah yang lebih makmur, mereka mungkin juga memiliki keterbasan dalam mengatasi cuaca ekstrem. Sebagai contoh, kata Clayton, masyarakat berpenghasilan tinggi cenderung memiliki lebih banyak tutupan pohon untuk melindungi diri dari panas.
Namun, laporan tersebut juga menekankan cara-cara untuk membatasi dampak perubahan iklim terhadap kesehatan mental anak muda. Di antara rekomendasinya adalah agar sistem sekolah memainkan peran yang lebih besar, termasuk merancang fasilitas yang lebih protektif dan mengajarkan kurikulum tentang perubahan iklim.
Para profesional kesehatan juga dapat melakukan skrining sedari dini dan teratur untuk mengetahui adanya gangguan terkait iklim di kalangan anak muda. Stolle juga mendorong semakin banyak psikolog klinis yang menangani orang-orang yang mengalami kecemasan terhadap perubahan iklim.