Oleh :
Muhadam
(Guru Besar Ilmu Pemerintahan pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
KILASBABEL.COM – Ketika rezim pemerintahan daerah di `gergaji` pada 2014, terbentuklah dua rezim baru selain pemda, yaitu pilkada dan desa. Rezim pilkada diatur lewat UU No. 22/2014. Salah satu pasal dalam rezim ini jelas-jelas membatasi meluasnya praktik politik dinasti dalam pemilukada. Pasangan kada dilarang daftar sejauh punya relasi dinasti setingkat ke atas, bawah dan ke samping.
Malangnya, nasib rezim itu lenyap kurang dari dua bulan sejak SBY mengeluarkan Perpu No. 1/2014. Kendati pasal politik dinasti itu sendiri sempat bertahan, namun sebuah keluarga besar di Makassar menguji keajegannya di MK, dan menang. Putusan itu sekaligus menimbulkan efek ne bis in idem bagi perkara yang sama bila ingin dibatasi.
Putusan itu segera meramaikan jagad politik dinasti di daerah. Para gubernur, bupati dan walikota tanpa malu-malu menyiapkan anak, menantu, ponakan dan istri maju sebagai pejabat eksekutif dan legislatif. Semua dipersiapkan melanjutkan trah kuasa menurut tradisi turun-temurun. Alasannya semua pantas dan layak berkompetisi meski masih unyu-unyu.
Politik dinasti bukan saja berbahaya mengkooptasi kekuasaan pada sekelompok orang karena silsilah, namun cenderung mendistorsi demokrasi yang menjadi konsensus bernegara. Membatasinya tidak saja ikhtiar agar konsisten dengan agenda reformasi, juga mencegah kembalinya monarki, aristokrasi bahkan feodalisme purba.
Sepintas, Mahkamah Konstitusi punya alasan objektif membatasi kasus per kasus terkait politik dinasti. Namun tak jarang putusan yang dihasilkan kehilangan horison jangka panjang, terjebak pada daya jangkau sempit, bahkan mengarah pada kepentingan individu yang bersembunyi di balik bayangan mereka yang berpengalaman. Mahkamah dinilai kehilangan integritas dan kenegarawanan.
Kini ancaman politik dinasti sulit dikendalikan di tengah upaya keras kita mengupayakan janji reformasi terpenuhi. Malangnya janji atas hilangnya korupsi, kolusi dan nepotisme tak banyak dicapai. Korupsi meluap ke tubir. Kolusi menggurita dimana-mana. Sementara nepotisme mengental, bahkan memperlihatkan kepercayaan diri lewat yurisprudensi.
Belajar dari pengalaman di berbagai negara dan runtuhnya Orde Baru, nepotisme memberi akses istimewa atas dasar sepersaudaraan, sepersusuan dan kekerabatan, membunuh meritokrasi. Hal ini penting diingat karena kekuasaan sering lupa akan sifat alaminya, mempertahankan dan memperluas. Sifat khas itulah yang mendorong sejumlah rezim di dunia tumbang dengan cara yang tak membanggakan.
Seperti kata Butet (2023), politik dinasti berupaya memproteksi urusan domestik dengan menenggelamkan kepentingan bangsa. Kesannya merendahkan kompetisi dengan cara mengutak-atik perkakas demokrasi agar syarat normatif terpenuhi. Namun perasaan publik tampaknya sulit dikelabui meski dengan argumen normatif yang tersusun logis. Putusan itu dinilai cacat, tak etis bahkan mengandung rencana bulus.
Menguji politik dinasti dalam undang-undang memang bukan perkara gampang. Butuh hakim sekokoh Bao (Justice Bao), penuh integritas dan keberanian. Tugas mahkamah pada dasarnya menjaga hukum yang dibuat rakyat lewat wakilnya, dijalankan pemimpin yang dipilih. Jadi mahkamah hakekatnya menjaga amanah publik lewat hukum, bukan mempreteli aturan, apalagi mengkhianatinya (rule of the law, not rule by the law).
Secara normatif putusan mahkamah mungkin tak sungguh-sungguh keliru, namun bukankah setiap putusan hakim nan arif bijaksana perlu mempertimbangkan moralitas publik. Artinya, perkara politik dinasti tak cukup ditimbang dari objektivitas norma, juga soal perasaan kolektif yang dilanggar lewat putusan yang terkesan unfairness. Akhirnya, politik dinasti mengubah demokrasi menjadi from the father, by the uncle, to the child. (*)