Warga Babel Wajib Tahu, Ini Dia Trilobita, Kumbang Unik Penghuni Hutan Pulau Bangka

oleh -417 Dilihat
Kumbang trilobita betina. Foto: Bernard Dupon/Flickr

KILASBABEL.COM – Riski sedang berjalan di kawasan Tahura [Taman Hutan Raya] Bukit Mangkol, mencari flora dan fauna unik. Matanya tertuju pada hewan yang merangkak keluar dari batang kayu.

“Awalnya, saya yakin menemukan spesies baru berusia ratusan juta tahun. Dari bentuknya, terlihat sangat purba,” kata Riski Maulana Pratama [23], Ketua Bujang Squad, sebuah komunitas pemuda yang menjaga lanskap Bukit Mangkol [6.000 hektar], Kabupaten Bangka, sebagaimana dikutip dari mongabay.co.id, Senin (23/10).

Setelah mengambil beberapa foto dan pulang ke rumah, Riski langsung mencari di internet, juga berkonsultasi dengan beberapa peneliti yang pernah ia dampingi saat melakukan penelitian di Bukit Mangkol.

“Ternyata itu bukan spesies purba trilobita hidup, melainkan seekor kumbang trilobita yang berasal dari zaman prasejarah,” terang Riski, yang menceritakan pertemuan pertamanya dengan kumbang trilobite pada pertengahan Maret, 2021 lalu.

Dikutip dari nationalgeographic.com, nama satwa ini terinspirasi dari trilobita, satwa penjelajah laut berperisai baja, merayap, mengerikan, dan telah punah sekitar 500 juta tahun lalu. Namun mereka sama sekali tidak berkerabat, karena kumbang trilobita atau trilobite beetle, merupakan serangga dalam Genus Duliticola atau Platerodrilus, dengan Famili LycidaeTersebar di lantai hutan hujan tropis di wilayah India dan Asia Tenggara.

Di Indonesia, ia senang hidup di balik tumpukan kayu lapuk, atau serasah daun mati di lantai hutan yang lembab di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Sementara di Pulau Bangka, menurut Riski, kumbang trilobita juga pernah ditemukan di sekitar Bukit Menumbing, Kabupaten Bangka Barat.

“Sebagian besar ilmuan menganggap bahwa penelitian mengenai kehidupan trilobite beetle memiliki tantangan tersendiri karena serangga ini masih sangat sulit untuk dijumpai di habitatnya,” dikutip dari situs resmi ksdae.menlhk.go.id.

Aneh, jantan dan betina berbeda

Rupa tubuh kumbang trilobita yang mirip dengan trilobita purba hidup, setidaknya telah membuat para peneliti bingung selama hampir 200 tahun. Selain itu, mereka juga punya tipuan lain, yakni warna beragam; ada yang berwarna ungu, hijau, dan hitam dengan bintik-bintik oranye terang.

“Ditambah lagi, mereka bisa menarik kembali kepalanya seperti kura-kura. Dan, yang paling aneh, pencarian membutuhkan waktu hampir satu abad untuk menemukan kumbang trilobita jantan,” dikutip dari nationalgeographic.com.

Saat pertama kali ditemukan tahun 1800-an, semua kumbang yang tampak seperti trilobita adalah betina. Entah itu yang runcing, pipih, bahkan ungu dan hijau.

Pencarian kumbang jantan ini memakan waktu sekitar 100 tahun, setelah pada 1992, ahli zoologi Swedia, Eric Mjoberg tiba di Kalimantan, dan menemukan fakta bawah kumbang jantan dan betina punya bentuk sangat berbeda.

Dalam makalah penelitian Mjöberg [1925], dijelaskan sejumlah upayanya dalam mencari kumbang trilobita jantan. Namun, setelah bertahun-tahun menjelajahi hutan, mengumpulkan dan menemukan ratusan larva kumbang betina dan memeliharanya hingga dewasa, ia hanya mendapati semuanya mati saat bertelur sebanyak 300-400 butir. Dan kumbang jantan belum juga terlihat.

Mjorberg tidak kehabisan akal. Dia lalu mengumpulkan lebih banyak betina, dan ketika sudah matang secara seksual, ia membawanya ke hutan. Lalu Mjorberg mengikat mereka “dengan tali yang cukup panjang sehingga mereka bisa bergerak dalam lingkaran,” sembari menunggu ada jantan yang terpikat. Namun, tidak ada jantan yang mendekat.

Tidak menyerah, Mjorberg mencoba lagi setahun setelahnya. Kali ini ia mengajak masyarakat untuk mencari kumbang jantan. “Hadiah sebesar $10,00 untuk pejantan pertama sangat merangsang upaya para kolektor,” tulisnya.

Akhirnya, suatu pagi seorang kolektor berlari ke Mojberg dengan membawa sepasang kumbang trilobita yang terbungkus daun pisang. Keduanya sedang berhubungan, perut laki-laki dimasukkan ke dalam lubang perempuan. Bukti pasti bahwa ia telah mendapat kumbang trilobita jantan dan betina.

“Apa yang dia temukan adalah seekor kumbang kecil bersayap hitam yang sama sekali tidak mirip dengan kumbang betina bertanduk spektakuler itu. Ukurannya hanya sepersepuluh dari ukuran tubuhnya,” dikutip dari nationalgeographic.com.

Mengurangi metamorfosis

Dalam penelitian Mjorber, dia mendapati seekor kumbang trilobita jantan, dan fakta bahwa betinanya tidak melakukan metamorfosis secara sempurna, sedangkan jantan berkembang secara normal.

Dengan tidak melakukan metoforfosis secara sempurna, kumbang betina mempertahankan bentuk larvanya yang mirip trilobita purba. Ini memungkinkan betina menabung banyak energi untuk melahirkan bayi besar yang sehat.

“Dan karena kumbang trilobita jantan terlihat sangat berbeda dari kumbang betina, hingga saat ini sangat sulit untuk mengetahui apakah kumbang trilobita jantan dan betina adalah spesies yang sama tanpa analisis DNA dan atau mengetahui mereka sedang kawin,” dikutip dari nationalgeographic.com.

Masih dari sumber yang sama, pada 1993, Alvin TC Wong memergoki sepasang kumbang trilobita sedang berhubungan. Dia mencoba menetaskan telur kumbang itu, tapi mereka mati. “Sehingga tidak terjawab apakah kumbang jantan terlihat berbeda dengan betina sejak lahir, dan bagaimana mereka berubah seiring pertumbuhannya. Masih belum jelas apa yang dimakan kumbang trilobita,” tulisnya.

Sebagai informasi, menurut penelitian Masek et al. [2015], ada empat puluh dua spesies Platerodrilus atau kumbang trilobita yang tercatat. Wilayah jelajahnya terbatas pada tiga hotspot keanekaragaman hayati utama, yakni Indo-Burma, Sundaland, dan Filipina termasuk Palawan.

Platerodrilus tidak terdapat di China [kecuali bagian paling selatan Yunnan di sepanjang perbatasan Laos dan Burma] atau di bagian selatan anak benua India,” tulis penelitian itu.

Asal muasal berbagai spesies dapat disimpulkan di Sumatera, segera setelah pulau tersebut muncul dan pegunungan terangkat 15 juta tahun yang lalu dengan tingkat spesiasi yang lebih rendah sejak saat itu.

“Kami berasumsi bahwa kecenderungan penyebaran yang sangat rendah menjadikan Platerodrilus sebagai indikator berharga yang menunjukkan keberlangsungan hutan hujan yang tidak terputus dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, jika keragaman garis keturunan neotenik ini ingin dilindungi, diperlukan sistem kawasan lindung dengan kepadatan tinggi,” tegas penelitian itu.

 

No More Posts Available.

No more pages to load.