Menyoal Calon yang Suka `Bersih-Bersih`; Sebuah Perspektif

oleh -221 Dilihat
Foto : ilustrasi. (net)

Oleh :

Nazwar, S.Fil.I., M.Phil

(Penulis Lepas dari Yogyakarta)

 

KILASBABEL.COM – “MMD adalah sosok yang suka bersih-bersih. Orang kayak saya, bahkan tidak seharga debu siap-siap saja kena “sikat!,” zaman seperti sekarang jangan minta kasihan, mending perbanyak serta perbaiki ibadah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan bersikap pasrah serta berharap hanya kepada-Nya, beneran!!! MMD sudah terbukti, memang! Terbayang kalau jadi Wakil Presiden, si MMD itu…”

Paragraf di atas adalah rencana status di media sosial wa, namun penulis urungkan niat untuk mengupdatenya di jejaring sosial tersebut dan memilih menyusunnya dalam bentuk artikel. Menghindari kesalahpahaman serta memanfaatkan potensi akademik penulis, juga kemungkinan jangkauan pembaca lebih luas menjadi diantara alasan yang melatarbelakanginya.

Mengingat masa lalu, sekitar beberapa tahun, belum lama ini kiranya masih teringat di benak publik peristiwa pembantaian anggota atau laskar FPI (Front Pembela Islam). Kala itu pejabat kelimpungan. Meski tanpa adanya aroma saling menyalahkan, namun jelas beberapa orang terlihat saling tuding, hingga ditetapkan dari pihak kepolisian, yaitu oknum yang gagal profesional dalam menjalankan
tugas.

Persoalan syahid atau jihad tentu bukanlah ranah untuk diperdebatkan, atau sekedar alasan pengabaian terlebih pembenaran atas perlakuan terhadap anak-anak bangsa tersebut, serta tidak juga pada kesempatan ini menjadikan itu tepat sebagai materi bahasan. Namun hal yang mengherankan adalah usaha peristiwa kemanusiaan yang merenggut banyak korban tersebut kini
seolah menguap dan hilang secara sendirinya. Secara perlahan tapi pasti kabar peristiwa tersebut hilang.

Kembali ke pembahasan tema pada paragraf pertama di atas, MMD dipastikan sebagai calon wakil yang akan mendampingi GP sebagai calon presiden, maka menjadi purnalah segalanya. Bagaimana bisa, calon presiden dari daerah yang banyak mengalami masalah yang berkait jiwa manusia.

Jika MMD si raja “sikat” berpasangan dengan GP, mungkin keduanya, atau setidaknya si GP tidak bisa dianggap sebagai eksekutor, tetapi terkait persoalan kemanusiaan juga perlu diajukan pertanyaan terhadapnya; tingginya kasus bunuh diri di Provinsi Jawa Tengah, bukankah juga suatu masalah?

Baik lah, jika keduanya bersoal kasus terkait jiwa atau nyawa manusia, bagaimana bisa ada yang berani mencalonkan atau menunjuk keduanya? Atau sebenarnya justru kita semua kiranya mulai berani mengintrospeksi diri seberapa sehat jiwa kita. Apa yang salah, sistem kah? Atau apa? Para petinggi dikatakan sebagai putra terbaik bangsa, ditunjuknya keduanya sebagai calon presiden dan wakil presiden tidak lepas dari pertimbangan bahwa mereka adalah yang terbaik dari seluruh rakyat di republik ini, lah bagaimana kita sebagai calon rakyatnya?

Bukankah perilaku rakyat mencerminkan perilaku pemimpinnya? Apa sebenarnya yang terjadi, ada apa dengan negeri ini, tatkala persoalan yang sering digaungkan oleh seluruh penduduk dunia untuk ditegakkan, namun diruntuhkan oleh orang-orang yang justru ditunjuk sebagai pemimpin negeri ini?

Sehat kah jiwa bangsa ini? Kematian, baik berupa pembunuhan atau bunuh diri bukan sekedar kasus yang berharga untuk diperjuangkan di mata KOMNAS HAM, iya kalau lembaga tersebut sadar, kalau tidak bagian mana dari negeri ini yang dapat diminta pertanggungjawabannya sebagai pemangku urusan keduniawaan kita, khususnya umat Islam?

Kematian secara tidak wajar adalah persoalan, jika pemimpin tersebut bermasalah dari sisi kemanusiaan, apa yang hendak diperjuangkan, moral, atau mungkin agama atau religiusutas? Menjadi semakin samar dan tidak karuan. Ingat heboh kasus kemanusiaan yang diserangkan pada saat pencalonan awal Prabowo? Lah, apa kabar isu itu sekarang? Di saat isu kemanusiaan sebagaimana yang dikatakan seorang Aktivis Kemanusiaan, bahwa isu kemanusiaan belakang semakin tidak populer.

Namun nampaknya yang disebut penulis dalam suatu artikel dengan patologis sedang menyerang tidak hanya bangsa ini, namun juga dunia secara lebih luas, seperti kasus nobel Aan Suu Kyi, penjajahan Palestina dan masih banyak lagi. Apakah sebaiknya untuk dilakukan? Apa yang hendak ditularkan jika orang-orang seperti mereka atau yang berkaraktrt sama menjadi pemimpin bangsa?

Maka, jika benar diam adalah emas, hendaknya agar mendiamkan persoalan dan “mengamankan” diri adalah cara terbaik selain menjadi apatis, utamanya berkait persoalan negeri ini pada saat sekarang. Dari pada terlibat atau ikut-ikutan terlilit kasus seperti beberapa orang yang sudahsudah, memangnya dapat apa? (*)

No More Posts Available.

No more pages to load.