Kasus Anak Bunuh Diri di Indonesia Jadi Fenomena, KPAI Bilang Begini

oleh -423 Dilihat
Anggota KPAI, Diyah Puspitarini. ( Foto : by Tribunnews)

KILASBABEL.COM – Fenomena anak mengakhiri hidup di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Selama lima tahun terakhir, Kementerian Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPPA) mencatat pada 2019 ada sebanyak 54 kasus, pada 2020 ada 84 kasus, pada 2021 ada 22 kasus, pada 2022 ada 15 kasus dan pada 2023 ada 20 kasus.

Berkaitan dengan itu, Anggota KPAI, Diyah Puspitarini menyebut bahwa temuan anak mengakhiri hidup yang dicatat pihaknya berkisar 17-20 kasus di 2023. Selain itu, ia menilai, fenomena tersebut tidak bisa diremehkan dan butuh keterlibatan berbagai stakeholders untuk mencegah anak mengakhiri hidup.

“Kasus tersebut terjadi pada usia rawan (kelas 5 – 6 SD), Kelas 1 atau 2 SMP, kelas 1 atau 2 SMA. Polanya ada di usia rawan dan di usia yang mengalami perubahan dari SD ke SMP dan SMP ke SMA,” jelas Diyah, Senin (13/11).

Bahkan, dirinya mengatakan bahwa kasus anak mengakhiri hidup menjadi menjadi penyebab kematian terbesar ketiga. Diyah mengungkapkan, pertama adalah kecelakaan di jalan raya, kedua, penyakit, dan ketiga kekerasan yang bisa memicu anak mengakhiri hidupnya.

Pencegahan yang Dilakukan KPAI

Untuk menangani fenomena anak mengakhiri hidup, KPAI membuat tiga klaster pencegahan, mulai dari primer, sekunder, dan tersier. Diyah menyebut, pencegahan primer tersebut terkait dengan metode pencegahan yang dilakukan berbagai pihak, mulai dari sekolah hingga masyarakat.

“Dari sekian kasus anak, faktor di rumah juga cukup berpengaruh, memang anak mendapatkan bullying di sekolah, tapi ketika di rumah itu membuat kondisi semakin pelik. Itu sangat berpengaruh,” ujar Diyah.

Ia juga menegaskan, perlu adanya keterlibatan masyarakat untuk melakukan edukasi dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama.

“Karena dalam agama apa pun mengakhiri hidup tidak dibenarkan. Jika tokoh agama terjun, tokoh masyarakat terjun melakukan edukasi dan pendampingan, ini bisa meminimalisir,” tegas Diyah.

Di sisi lain, dirinya mengungkapkan, pencegahan primer juga difokuskan KPAI untuk melakukan edukasi di media sosial.

“Kami concern di media sosial karena beberapa kasus anak yang mengakhiri hidup itu juga terjadi karena melihat info dari media sosial,” ungkap Diyah.

Ia juga menjelaskan terkait dengan pencegahan sekunder seperti melakukan deteksi dini. Diyah mengatakan, hal itu bisa dilakukan di sekolah.

“Semisal anak terkena bullying atau ada perubahan yang drastis, biasanya korban ini bisa dilihat perubahan yang drastis. Itu harus terdeteksi dan guru bisa melakukan pendekatan, kemudian konseling,” jelas Diyah.

Edukasi Aparat Penegak Hukum

Terkait dengan pencegahan tersier, Diyah menyebut bahwa selama ini KPAI sudah melakukan pendampingan. Akan tetapi, ia mengatakan, masyarakat masih malu jika ada anggota keluarganya yang mengakhiri hidup, alhasil tidak melakukan pelaporan ke Polisi.

“Justru seharusnya, masyarakat kita edukasi jika ada kasus tersebut harus dilaporkan supaya ada tindakan,” sebut Diyah.

“KPAI mengedukasi aparat penegak hukum di beberapa daerah, agar setiap kasus anak mengakhiri hidup jangan langsung ditutup kasusnya. Jadi itu tetap harus diautopsi untuk diketahui penyebab kematiannya secara jelas,” jelasnya.

Diyah menegaskan, hal tersebut dilakukan untuk memenuhi hak anak yang sudah meninggal untuk mendapatkan keterbukaan kasus sehingga tidak ada stigma negatif pada anak yang sudah meninggal.

“Pendampingan kepada keluarga korban juga perlu dilakukan untuk menghilangkan stigma negatif dan pendampingan harus dilakukan oleh Depsos atau Dinas Sosial dan UPT,” tegasnya.

 

Sumber : liputan6.com

 

No More Posts Available.

No more pages to load.